Mohon tunggu...
Reva Khoirun Nisa
Reva Khoirun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Abelardus

28 Mei 2024   11:46 Diperbarui: 28 Mei 2024   11:58 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Biografi Petrus Abelardus

Petrus Abelardus (1079-1142) adalah seorang filsuf dan teolog Prancis yang terkenal pada Abad Pertengahan. Ia dikenal karena kecerdasannya yang luar biasa, pandangan-pandangannya yang kontroversial, serta kisah cinta tragisnya dengan Héloïse. Petrus Abelardus awalnya dipanggil “Pierre le Pallet”, putra tertua dari keluarga bangsawan Breton. Ayah Petrus, seorang bangsawan kaya bernama Berengar, yang mendorongnya untuk mempelajari seni liberal. Pada saat itu ia unggul dalam seni dialektika (sebuah cabang dari ilmu filsafat), yang menunjukkan kemampuannya dalam menguraikan dan menganalisis argumen-argumen filosofis. Sebagai seorang pendidik, Abelardus mendirikan sekolah yang kemudian menjadi pusat intelektual terkenal di Paris. Ia mengembangkan metode pengajaran yang mendorong diskusi dan debat, serta berkontribusi pada lahirnya universitas-universitas di Eropa. Murid-muridnya, termasuk Héloïse, menjadi tokoh-tokoh berpengaruh di berbagai bidang.  Namun, skandal terbesar dalam hidup Abelardus adalah hubungannya dengan Heloise, seorang muridnya yang cerdas dan bersemangat. Hubungan mereka yang penuh gairah menghasilkan seorang anak, Astrolabe, dan pernikahan rahasia. Ketika hubungan mereka terungkap, pamannya Heloise, Fulbert, marah dan memerintahkan agar Abelardus dikebiri. Pada saat Fulbertus mengungkapkan pada publik mengenai pernikahan tersebut, dan Héloïse menyangkalnya, Abelardus mengirim Héloïse ke biara di Argenteuil, tempat di mana ia dibesarkan, untuk melindunginya dari sang paman. Héloïse kemudian berpakaian seperti seorang biarawati (suster) dan menjalani kehidupan layaknya seorang biarawati, meski ia tidak bercadar. Fulbertus kemungkinan besar meyakini bahwa Abelardus ingin menyingkirkan Héloïse dengan memaksanya menjadi seorang suster, lalu ia mengatur sejumlah orang untuk masuk ke kamar Abelardus pada suatu malam dan mengebirinya. 

Akibatnya, Abelardus memutuskan untuk menjadi seorang rahib di biara St Denis, dekat Paris. Sebelum melakukan rencananya, Abelardus mendesak Héloïse agar mau berkaul sebagai seorang biarawati. Tapi Héloïse menjawab Abelardus, melalui surat, dengan menanyakan mengapa ia harus menjalani kehidupan religius padahal ia tidak mempunyai panggilan untuk itu.  

 Karya-karya terpenting: 

Sic et Non: Mengumpulkan pernyataan-pernyataan yang tampaknya bertentangan dari otoritas Kristen.

Dialectica: Sebuah karya penting dalam logika.

Historia Calamitatum: Sebuah otobiografi yang menceritakan kehidupan pribadinya yang penuh lika-liku.

Theologia Scholarium: Karya teologi yang memperlihatkan pemikiran teologisnya yang mendalam.

Petrus Abelardus menghabiskan bulan-bulan terakhir hidupnya di dunia ini di biara St. Marcel, dekat Chalon-sur-Saone, dan ia meninggal dunia pada tanggal 21 April 1142. Pada awalnya Petrus Abelardus dimakamkan di Biara St Marcel, tetapi jenazahnya kemudian diam-diam dibawa ke "Parakletos" untuk diberikan kepada Héloïse yang kemudian meninggal pada tahun 1163 dan dimakamkan bersama dengannya. 

Pemikiran Petrus Abelardus.

1. Allah dan determinisme

Pandangan Abelardus akan Allah dipandang sangat deterministik. Ia berpendapat bahwa Allah dapat melakukan hanya apa yang Ia (kehendaki untuk Ia) lakukan, serta hanya kapan dan bagaimana Ia melakukannya, sebatas apa yang Ia abaikan. Menurutnya, hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan atau abaikan, dan bahwa dunia ini, yang adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang beralasan, bersifat deterministik. Tetapi tetap ada kebebasan (kehendak) bagi manusia di dunia ini, manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah bebas.

2. Sikap Batin

Salah satu pemikiran Abelardus di bidang etika atau moral adalah tentang kemurnian sikap batin. Dalam tulisannya yang berjudul “Kenalilah Dirimu Sendiri” ia mengatakan bahwa suatu tindakan lahiriah selalu bersifat netral. Yang menjadikan suatu tindakan bermoral ataupun tidak adalah maksud atau sikap batin dari orang tersebut, apakah batin orang tersebut menyetujui tindakan yang diambil itu. Oleh karena itu, suatu hal tidak pantas, belum dapat dinilai baik atau buruk, sesuatu yang tidak pantas hanya dipandang sebagai dosa apabila orang tersebut di dalam batinnya menyetujui atau mengiyakannya.

3. Teori pengaruh moral

Ia mengemukakan suatu teori pendamaian yang dikenal sebagai teori pengaruh moral.  Dalam pemikiran Abelardus, wafat Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh kasih, merupakan undangan Allah agar manusia mengubah kehidupannya yang penuh dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih. Karya Yesus melalui pelayanan-Nya selama Ia hidup di dunia hingga wafat-Nya menjadi teladan moral bagi manusia. Teorinya tetap mensyaratkan bahwa proses rekonsiliasi Allah dengan manusia membutuhkan tanggapan dan penerimaan manusia untuk berdamai dengan Allah, yaitu bertobat  dengan kesadaran sepenuhnya dan berbalik kepada Allah. Teori pendamaiannya menganggap bahwa wafat Kristus sebenarnya tidak diperlukan untuk membebaskan manusia dari keterikatan dosa, dan bukan merupakan syarat rekonsiliasi antara Allah dengan manusia, namun Ia memilih untuk melakukannya (menderita dan wafat di kayu salib) untuk mengungkapkan kasih dan persaudaraan dengan manusia dalam penderitaan mereka. 

4. Limbo Para Bayi

Mengenai bayi yang meninggal dunia tanpa dibaptis, Petrus Abelardus dalam Commentaria in Epistolam Pauli ad Romanos menekankan kebaikan Allah dan menafsirkan "hukuman paling ringan" yang disampaikan St. Agustinus dari Hippo sebagai rasa sakit akibat tiadanya visiun beatifis ("pandangan yang penuh kebahagiaan"), tanpa harapan untuk mendapatkannya, tetapi tidak ada hukuman tambahan yang diterima bayi-bayi tersebut. Pemikirannya dalam hal ini memberikan kontribusi atas pembentukan teori "Limbo para Bayi" pada abad ke 12-13.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun