Pandangan Abelardus akan Allah dipandang sangat deterministik. Ia berpendapat bahwa Allah dapat melakukan hanya apa yang Ia (kehendaki untuk Ia) lakukan, serta hanya kapan dan bagaimana Ia melakukannya, sebatas apa yang Ia abaikan. Menurutnya, hal ini adalah suatu konsekuensi dari kebaikan Allah, dan Ia bahkan tidak pernah harus memilih antara alternatif-alternatif yang sama baiknya. Demikian berarti bahwa ada suatu alasan atas segala sesuatu yang Allah lakukan atau abaikan, dan bahwa dunia ini, yang adalah hasil dari berbagai pengabaian dan perbuatan yang beralasan, bersifat deterministik. Tetapi tetap ada kebebasan (kehendak) bagi manusia di dunia ini, manusia benar-benar bisa bebas, sementara Allah tidaklah bebas.
2. Sikap Batin
Salah satu pemikiran Abelardus di bidang etika atau moral adalah tentang kemurnian sikap batin. Dalam tulisannya yang berjudul “Kenalilah Dirimu Sendiri” ia mengatakan bahwa suatu tindakan lahiriah selalu bersifat netral. Yang menjadikan suatu tindakan bermoral ataupun tidak adalah maksud atau sikap batin dari orang tersebut, apakah batin orang tersebut menyetujui tindakan yang diambil itu. Oleh karena itu, suatu hal tidak pantas, belum dapat dinilai baik atau buruk, sesuatu yang tidak pantas hanya dipandang sebagai dosa apabila orang tersebut di dalam batinnya menyetujui atau mengiyakannya.
3. Teori pengaruh moral
Ia mengemukakan suatu teori pendamaian yang dikenal sebagai teori pengaruh moral. Dalam pemikiran Abelardus, wafat Yesus di kayu salib menunjukkan Allah yang penuh kasih, merupakan undangan Allah agar manusia mengubah kehidupannya yang penuh dosa menjadi kehidupan yang penuh kasih. Karya Yesus melalui pelayanan-Nya selama Ia hidup di dunia hingga wafat-Nya menjadi teladan moral bagi manusia. Teorinya tetap mensyaratkan bahwa proses rekonsiliasi Allah dengan manusia membutuhkan tanggapan dan penerimaan manusia untuk berdamai dengan Allah, yaitu bertobat dengan kesadaran sepenuhnya dan berbalik kepada Allah. Teori pendamaiannya menganggap bahwa wafat Kristus sebenarnya tidak diperlukan untuk membebaskan manusia dari keterikatan dosa, dan bukan merupakan syarat rekonsiliasi antara Allah dengan manusia, namun Ia memilih untuk melakukannya (menderita dan wafat di kayu salib) untuk mengungkapkan kasih dan persaudaraan dengan manusia dalam penderitaan mereka.
4. Limbo Para Bayi
Mengenai bayi yang meninggal dunia tanpa dibaptis, Petrus Abelardus dalam Commentaria in Epistolam Pauli ad Romanos menekankan kebaikan Allah dan menafsirkan "hukuman paling ringan" yang disampaikan St. Agustinus dari Hippo sebagai rasa sakit akibat tiadanya visiun beatifis ("pandangan yang penuh kebahagiaan"), tanpa harapan untuk mendapatkannya, tetapi tidak ada hukuman tambahan yang diterima bayi-bayi tersebut. Pemikirannya dalam hal ini memberikan kontribusi atas pembentukan teori "Limbo para Bayi" pada abad ke 12-13.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H