Oleh Rizky Emirdhani Utama
Belakangan ini masyarakat Indonesia diramaikan dengan Undang-undang (UU) kontroversial yang dikenal sebagai Omnibus Law atau Undang-undang Cipta Kerja.Â
Undang-undang ini merupakan gagasan dari Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak Ir. Joko Widodo. UU ini dibentuk sebagai jalan keluar dari permasalahan rumitnya perizinan dan tumpeng tindihnya peraturan di Indonesia yang sering kali menyulitkan datangnya investasi. Pada Omnimbus Law ini terdapat 3 (tiga) klaster undang-undang yaitu UU Lapangan Kerja, UU Perpajakan, dan UU Pemberdayaan Masyarakat. Undang-undang ini, kedepannya, akan turut menggantikan sebagian atau seluruhnya dari undang-undang yang sebelumnya sudah ada.
Dalam konteks Omnibus Law ini, negara tidak bisa melepaskan perumusan dan pengesahannya dari prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi mengandung arti dijunjung tingginya hak setiap orang untuk berpendapat, untuk memiliki ideologi tertentu, dan untuk memiliki identitas tertentu serta menghargai setiap pendapat yang keluar dari pikiran setiap orang.Â
Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Sebab, apabila mengutip teori dari Ralph Milliband, jika suatu negara tidak berhati-hati dalam merumuskan kepentingan public maka negara hanya akan menjadi alat untuk melayani kelas-kelas yang dominan saja dalam sebuah negara.
Asas -asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut itu meliputi juga asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ/Lembaga dan materi muatan yang tepat, asas dapatnya dikenali, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual. Dalam perencangan Omnibus Law pemerintah harus dapat menjaminkan perancangan ini dengan skema yang sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Hal itu sebagai pencegahan agar tidak terjadinya kemunduran demokrasi.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah harus melibatkan publik dalam setiap tahapan penyusunannya. Luasnya ruang lingkup Omnibus Law menuntut pihak pembuat UU menjangkau dan melibatkan lebih banyak pemangku kepetingan yang terkait. Selain itu, DPR dan pemerintah juga harus transparan dalam memberikan setiap informasi perkembangan proses perumusan Omnibus Law. Partisipasi dan transparansi ini yang mutlak diperbaiki berkaca dari proses legislasi yang menimbulkan kontroversi belakangan seperti perumusan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Revisi Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
Hal lain yang tidak kalah penting, pemerintah dan legislatif selama penyusunan juga harus memetakan regulasi yang berkait secara terperinci serta komprehensif. Penyusunan harus dikawal secara ketat serta progresif dengan melakukan harmonisasi yang baik secara vertical denga didukung oleh peraturan yang lebih tinggi maupun dengan tingkatan horizontal dan peraturan yang sederajat. Poin terakhir yang patut diperhatikan adalah proses preview sebelum undang-undang tersebut masuk dalam tahapan pengesahan. Preview ini yang nantinya akan diprioritaskan untuk menilai dampak yang akan timbul paska undang-undang ini sudah disahkan.
Omnibus law pada bidang politik yang dituntut tidak semata-mata berjangka pendek atau mudah berubah-ubah, misalnya kurang dari lima tahun waktu sekali. Regulasi pemilu disertai materi muatan kepartaian dan pemetaan pilkada secara sinergis diharapkan dapat menciptakan sistem presidensil yang efektif.Â
Harapan demikian tetap dipegang, meskipun disadari bahw a sistem politik bukan faktor ambisius determinan sebagai subjek yang dapat menentukan keseluruhan proses politik, karena meliputi faktor-faktor yang kompleks, termasuk latar belakang sejarah suatu bangsa. Dalam rangka membuat peta jalan bagi sistem politik yang semakin matang demokrasinya bagi Indonesia yang merupakan negara bersifat kepulauan dan beragam latar belakang komunitas yang mendiami wilayahnya, maka kondisi riil menjadi hal paling mendasar. Segala kemungkinan bisa dapat terjadi dalam benturan kepentingan terhadap penataan sistem politik demokrasi, karena masih ada unsur romantisme untuk kembali ke masa autoritarian sebelum reformasi 1998 dan bahkan pertentangannya dengan konstitusi bisa saja disampaikan.
Jika disbandingkan Indonesia dengan negara-negara lain di dunia, bahwa sudah ada beberapa negara yang sudah menjalankan serta menerapkan omnibus law, contohnya seperti di negara Amerika. Peraturan induk dan utama yang dibuat merupakan peraturan terbesar di Amerika yaitu peraturan Transportation Equity Act for the 21st Century (TEA-21). UU tersebut adalah Undang -- undang pengganti dari Intermodal Surface Transportation Efficiency Act (ISTEA). Hal -- hal yang diatur dalam TEA-21 ini mengenai jalan raya federal, keamanan jalan raya, transit dan program transportasi lain. Didalam TEA-21 ini terdapat sekitar 9012 section yang terdiri 9 BAB. Peraturan ini sudah konperhensif dalam mengatur terkait transportasi dan jalan raya di Amerika secara lengkap sehingga tidak bergantung dengan peraturan yang lainnya.
Bentuk lain dari Omnibus Law di Amerika juga terdapat dalam Omnibus Trade and Competitiveness Act of 1988 (OTCA). OTCA ini disusun dalam rangka untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan Amerika Serikat pada saat itu. OCTA tersusun atas 10 BAB, 44 Subbab, dan 10013 Pasal.Â
Undang -- undang ini dilahirkan sebagai otoritas untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan timbal balik (Uruguay Round) melakukan revisi secara luas dari Undang -- undang Perdagangan, penyesuaian bantuan, dorongan ekspor, harmonisasi tarif, kebijakan perdagangan internasional, perdagangan pertanian dan telekomunikasi, perdagangan teknologi internasional, kebijakan daya saing, investasi asing, Undang-Undang Praktik Korupsi Asing, pengadaan pemerintah, kebijakan paten, Sematech, dan defisit anggaran. Dengan adanya OTCA ini maka semua aturan tersebut di dalam satu payun undang-undang.
Pada akhirnya, dalam kebutuhan menjawab permasalahan dari konsep Omnibus Law itu sendiri tidak dapat didefinisikan secara umum dan sederhana sebagai satu undang-undang yang dapat merevisi puluhan undang-undang lainnya. Omnibus Law ini sendiri bukanlah undang-undang utama/induk dan juga bukanlah undang-undang dengan kodifikasi.Â
Konsep Omnibus Law ini sendiri terkait persoalan teknisnya yaitu untuk membentuk rancangan undang-undang yang dapat mengatur banyak hal yang dipersatukan dengan kesamaan tujuan. Mengatur hal-hal khusus tertentu (tematik) dengan mengubah beberapa ketentuan serta aturan di banyak undang-undang lain yang masih terkait dengan tujuan utama. Tujuan jangka panjang ini untuk dapat memudahkan kinerja dari badan legislatif agar dapat membahas secara bersamaan serta dapat dalam satu waktu ketika pengambilan keputusan.
Terkait masalah serta tantangan dari penerapannya di Indonesia, konsep omnibus akan dihadapkan oleh beberapa tantangan, yaitu teknik peraturan peraturan perundang-undangan, penerapan asas peraturan perundang-undangan, dan potensi terjadinya resentralisasi. Selain itu, dengan diberlakukannya undang-undang ini akan membawa perhatian lebih kepada permasalahan transparansi. Selain dikarenakan kurang melibatkan banyak pihak yaitu tujuan dari penyerdehanaan regulasinya lebih condong kepada investor atau pengusaha. Untuk itu, perlu kesepakatan dan kesepahaman antara pembentuk undang-undang baik terkait format dan mekanisme pembahasan substansialnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H