Mohon tunggu...
Retya Elsivia
Retya Elsivia Mohon Tunggu... -

Saya yang masih belajar merangkai kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mentawai, "The Paradise Island"

2 Januari 2018   11:14 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:20 973
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aaaaaa, i couldn't be more excited @Pantai Goiso Oinan

Mentawai adalah salah satu pulau yang terletak di sisi Barat pulau Sumatera Barat. Pulau ini ibarat pintu gerbang yang selalu menyambut dan memberikan ucapan selamat datang untuk setiap deburan ombak Samudera Hindia. Dengan letak posisi geografis tersebut, Mentawai merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terhadap bencana gempa dan tsunami.

Well, tulisan kali ini kurang lebih akan menceritakan tentang perjalanan saya (baca: liburan) selama di Pulau Mentawai. 

Jika saya bercerita bahwa saya akan pergi ke Mentawai atau memposting foto dengan tag location Kepulauan Mentawai tak jarang keluarga, teman dan sahabat akan membalasnya dengan 'ha? Kamu di Mentawai?', ha? udah di Mentawai aja?, dan sederet ha? dan ha? lainnya, meskipun terkadang ada terselip pesan untuk selalu hati-hati disana. See? Saya sering mencium benih-benih keraguan disana. Memangnya Mentawai itu seperti apa sich kok sebegitu bangetnyaaaa? Okay let's start it (hanya bagi yang kepo).

Yes I'm ready to go to Paradise Island!!! @ Samudera Hindia
Yes I'm ready to go to Paradise Island!!! @ Samudera Hindia
Sebenarnya ini kali kedua (bukan lagu Raisa loh ya :p) saya melakukan perjalanan singkat ini ke Mentawai. Singkat memang tetapi tak mengurangi esensi dari setiap pengalaman yang didapatkan. Saya bertolak dari Padang pada pukul 06.00 WIB dengan menggunakan kapal Mentawai Fast. Mentawai Fast merupakan salah satu armada yang bisa digunakan untuk melakukan perjalanan dari Padang ke Mentawai. 

Pemilihan kata 'Fast' disini bukan hanya sekedar embel-embel belaka, tetapi memang terbukti lebih fast daripada armada laut lainnya. Kita hanya menghabiskan waktu selama 3,5 jam untuk menempuh pulau ini, sementara kapal lain mungkin bisa menghabiskan waktu sekitar 10-12 jam. Untuk kapasitasnya, Mentawai Fast mampu menampung kurang lebih 250 orang penumpang. Kapal ini terdiri dari 2 lantai, lantai bawah digunakan untuk kursi penumpang yang didesain senyaman mungkin dengan fasilitas full AC sementara lantai atas digunakan untuk kursi leyeh-leyeh sembari menikmati perpaduan suasana angin, laut dan langit dalam udara yang terbuka. Dari lantai 2 kita bisa melihat kapal yang bergerak kencang membelah lautan.

 Kalau beruntung, kita bisa lihat lumba-lumba yang menari-nari di lautan. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 250.000/orang untuk satu kali perjalanan. Mentawai Fast tidak beroperasi setiap hari, untuk keberangkatan dengan tujuan Padang-Tua Peijat tersedia pada hari Senin, Rabu, Jum'at dan Minggu.

Suasana dalam kapal lantai bawah
Suasana dalam kapal lantai bawah
Kepulauan Mentawai terdiri dari tiga buah pulau besar yaitu Siberut, Sipora dan Sikakap. Saya memutuskan untuk mengunjungi Pulau Sipora yang menjadi ibukota Kabupaten. Pertama kali ke Mentawai, saya membayangkan pulau ini kurang lebih sama dengan daerah tempat tinggal saya. Sama-sama daerah Kabupaten, sama-sama kota kecil dan sama-sama berada di daerah Pesisir. Tapi ternyata saya keliru. Mentawai benar-benar memiliki kekhasan daerah sendiri yang tidak bisa untuk dibandingkan. 

Pertama dari jalannya, pulau Sipora hanya memiliki satu jalan lurus tanpa persimpangan kiri dan kanan (kalaupun ada itu tidak banyak), biasanya penduduk setempat akan mengacu pada satuan kilometer sebagai penunjuk tempat. 

Jadi mereka cukup simple menyebutkan alamat rumah seperti 'saya tinggal di KM 6'. Titik kilometer 0 sendiri dimulai dari pelabuhan yang terletak di Tuapeijat. Disinilah pusat kota Pulau Mentawai. Jalanannya pun menggunakan beton bukan aspal seperti yang kita lihat di daerah kebanyakan. Sepanjang kiri dan kanan kita dapat melihat pemandangan hijau dengan rumah-rumah semi-permanen dari penduduk setempat. 

The unforgetable memories in Awera Island
The unforgetable memories in Awera Island
Mayoritas penduduk Mentawai berasal dari Pulau Nias (ayo coba googling peta dulu kenapa bisa dari Nias ya :P). Layaknya orang Nias kebanyakan, perawakan orang Mentawai putih-putih, cantik dan ganteng, meskipun mereka sangat kental dengan dialek bahasa Mentawai. Untuk mata pencaharian utama masyarakat adalah berkebun dan berladang. Mereka sangat tangguh dan tak mengenal lelah harus masuk membelah hutan dan berjalan jauh selama berjam-jam. 

Biasanya saat pagi hari kita sering menjumpai kaum ibu-ibu yang berjalan menuju ladang lengkap dengan pakaian 'kebesaran' dan sepatu boat sambil menggendong keranjang rotan di punggung. Untuk kaum laki-laki, mayoritas dari mereka adalah perokok aktif dan suka sekali minum kopi dengan takaran gula yang 'luar biasa' manis. Alasannya adalah karena dengan mengkosumsi gula dalam jumlah banyak dapat memberikan tenaga dan energi yang lebih pada tubuh sehingga mereka dapat lebih setrong saat bekerja.

perpaduan biru laut dan langit yang sempurna di Awera
perpaduan biru laut dan langit yang sempurna di Awera
Meskipun Mentawai secara administratif masuk dalam wilayah Sumatera Barat, tetapi disana saya selalu merasa tidak sedang berada di Sumatera Barat. Pertama karena faktor bahasa. Wilayah Sumatera Barat menggunakan bahasa Minangkabau sebagai bahasa daerah. Jadi meskipun saya ke Solok, ke Payakumbuh atau ke Pesisir Selatan, saya tetap paham dan dapat berinteraksi dengan penduduk setempat melalui penggunaan bahasa Minangkabau. 

Meskipun dialek masing-masing bahasa berbeda seperti contoh orang Payakumbuh yang lebih banyak menggunakan vocal /o/, sehingga mereka akan menyebut 'godang' untuk kata 'gadang' yang artinya 'besar'. Nah kalau bahasa Mentawai ini azeli beda bangettt. Saya sama sekali tidak bisa berinteraksi dengan penduduknya. Contohnya saja untuk bahasa Minang 'terima kasih' yang lazimnya saya dengar selama ini adalah 'tarimo kasih' atau 'mokasih', tetapi kalau bahasa Mentawai adalah 'sura' sabeu'. Ini jauh banget bedanya. 

Saya harus memiliki kapasitas memori dengan spesifikasi prosessor yang tinggi untuk bisa menyadap pembicaraan dari bahasa yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Seperti bahasa asing? ya kira-kira seperti itulah. Unik sih and it's never too late to learn Mentawai language. Noted it!

aaaaaa, i couldn't be more excited @Pantai Goiso Oinan
aaaaaa, i couldn't be more excited @Pantai Goiso Oinan
Faktor kedua adalah masalah kepercayaan. Sejauh saya berjalan mengitari satu kota ke kota di Sumatera Barat tetap mayoritas agama penduduknya adalah Islam. Memang nilai-nilai Islam masih tertanam kukuh dan melekat di hampir setiap jiwa penduduk Sumatera Barat. Situasi ini akan berbeda jika kita berkunjung ke Pulau Mentawai karena mayoritas penduduknya beragama Kristen. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun