Mentawai adalah salah satu pulau yang terletak di sisi Barat pulau Sumatera Barat. Pulau ini ibarat pintu gerbang yang selalu menyambut dan memberikan ucapan selamat datang untuk setiap deburan ombak Samudera Hindia. Dengan letak posisi geografis tersebut, Mentawai merupakan salah satu daerah yang sangat rentan terhadap bencana gempa dan tsunami.
Well, tulisan kali ini kurang lebih akan menceritakan tentang perjalanan saya (baca: liburan) selama di Pulau Mentawai.Â
Jika saya bercerita bahwa saya akan pergi ke Mentawai atau memposting foto dengan tag location Kepulauan Mentawai tak jarang keluarga, teman dan sahabat akan membalasnya dengan 'ha? Kamu di Mentawai?', ha? udah di Mentawai aja?, dan sederet ha? dan ha? lainnya, meskipun terkadang ada terselip pesan untuk selalu hati-hati disana. See? Saya sering mencium benih-benih keraguan disana. Memangnya Mentawai itu seperti apa sich kok sebegitu bangetnyaaaa? Okay let's start it (hanya bagi yang kepo).
Pemilihan kata 'Fast' disini bukan hanya sekedar embel-embel belaka, tetapi memang terbukti lebih fast daripada armada laut lainnya. Kita hanya menghabiskan waktu selama 3,5 jam untuk menempuh pulau ini, sementara kapal lain mungkin bisa menghabiskan waktu sekitar 10-12 jam. Untuk kapasitasnya, Mentawai Fast mampu menampung kurang lebih 250 orang penumpang. Kapal ini terdiri dari 2 lantai, lantai bawah digunakan untuk kursi penumpang yang didesain senyaman mungkin dengan fasilitas full AC sementara lantai atas digunakan untuk kursi leyeh-leyeh sembari menikmati perpaduan suasana angin, laut dan langit dalam udara yang terbuka. Dari lantai 2 kita bisa melihat kapal yang bergerak kencang membelah lautan.
 Kalau beruntung, kita bisa lihat lumba-lumba yang menari-nari di lautan. Biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp. 250.000/orang untuk satu kali perjalanan. Mentawai Fast tidak beroperasi setiap hari, untuk keberangkatan dengan tujuan Padang-Tua Peijat tersedia pada hari Senin, Rabu, Jum'at dan Minggu.
Pertama dari jalannya, pulau Sipora hanya memiliki satu jalan lurus tanpa persimpangan kiri dan kanan (kalaupun ada itu tidak banyak), biasanya penduduk setempat akan mengacu pada satuan kilometer sebagai penunjuk tempat.Â
Jadi mereka cukup simple menyebutkan alamat rumah seperti 'saya tinggal di KM 6'. Titik kilometer 0 sendiri dimulai dari pelabuhan yang terletak di Tuapeijat. Disinilah pusat kota Pulau Mentawai. Jalanannya pun menggunakan beton bukan aspal seperti yang kita lihat di daerah kebanyakan. Sepanjang kiri dan kanan kita dapat melihat pemandangan hijau dengan rumah-rumah semi-permanen dari penduduk setempat.Â
Biasanya saat pagi hari kita sering menjumpai kaum ibu-ibu yang berjalan menuju ladang lengkap dengan pakaian 'kebesaran' dan sepatu boat sambil menggendong keranjang rotan di punggung. Untuk kaum laki-laki, mayoritas dari mereka adalah perokok aktif dan suka sekali minum kopi dengan takaran gula yang 'luar biasa' manis. Alasannya adalah karena dengan mengkosumsi gula dalam jumlah banyak dapat memberikan tenaga dan energi yang lebih pada tubuh sehingga mereka dapat lebih setrong saat bekerja.
Meskipun dialek masing-masing bahasa berbeda seperti contoh orang Payakumbuh yang lebih banyak menggunakan vocal /o/, sehingga mereka akan menyebut 'godang' untuk kata 'gadang' yang artinya 'besar'. Nah kalau bahasa Mentawai ini azeli beda bangettt. Saya sama sekali tidak bisa berinteraksi dengan penduduknya. Contohnya saja untuk bahasa Minang 'terima kasih' yang lazimnya saya dengar selama ini adalah 'tarimo kasih' atau 'mokasih', tetapi kalau bahasa Mentawai adalah 'sura' sabeu'. Ini jauh banget bedanya.Â
Saya harus memiliki kapasitas memori dengan spesifikasi prosessor yang tinggi untuk bisa menyadap pembicaraan dari bahasa yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Seperti bahasa asing? ya kira-kira seperti itulah. Unik sih and it's never too late to learn Mentawai language. Noted it!