Sebenarnya urusan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) pada awalnya tidak menarik perhatian saya. Buat saya, setiap orang punya hak untuk menjalani kehidupan mereka sendiri. Saya menghormati teman-teman saya yang punya kebutuhan dan kecenderungan berbeda dari yang lain, tetapi saya tidak suka bila ada yang mencoba mempengaruhi orang lain untuk masuk dalam cara hidup mereka. Heboh LGBT yang merambat pada tersadarnya orangtua akan permainan heboh dalam pesta ulang tahun tujuh belas tahun membuat saya tersadar kalau saya juga kecolongan. Karena itu saya berterima kasih pada LGBT.
Benar, saya kecolongan! Saya tidak berbicara mengenai LGBT. Untuk kasus LGBT saya masih tetap pada prinsip saya bahwa setiap individu punya hak untuk menjalani kehidupannya sesuai dengan panggilan jiwanya. Tetapi saya kecolongan karena berkali-kali mengantarkan anak pertama saya ke pesta ulang tahun temannya tanpa pernah tahu apa yang terjadi di pesta tersebut.
Foto heboh pesta ulang tahun yang beredar di Whatsapp Group sempat membuat perdebatan sengit di beberapa kelompok yang saya ikuti. Karena umpatan di WA group yang menyudutkan LGBT, ada seorang teman yang tinggal di luar negeri dan memang mengaku gay menjadi marah. Beberapa teman keluar dari WA group itu. Entah sebagai tanda protes, atau memang ingin mengakhiri pertemanan. Kejadian ini saya ceritakan ke anak saya. Bagai disengat halilintar, saya terperanjat mendengar pengakuannya, "Memang di sebagian besar pesta ulang tahun ada game heboh seperti itu. Itu untuk membuat heboh. Untungnya saya tidak pernah terpilih maju." Saya beruntung karena kejadian ini membuka komunikasi saya dengan putra saya mengenai berbagai bahaya paparan pornografi dan pornoaksi bagi remaja dan bagaimana menghadapinya.
Karena perdebatan dalam hal ini lebih ke arah menyudutkan teman-teman LGBT sebagai penyebar virus “games heboh” yang bertujuan mengarahkan anak masuk ke lingkaran LGBT, maka sebagian orang melupakan dasar yang sangat penting. Tidak penting apakah itu mengajarkan ciuman lelaki dan lelaki atau perempuan dan perempuan, karena kalau mereka membuat acara ciuman lelaki dan perempuan maka sebenarnya kondisinya adalah sama. Para penggagas permainan dalam “Games Heboh” ini mengajarkan pornoaksi pada anak-anak remaja yang baru saja melampaui masa akil balik mereka.
Usia 17 tahun harus dimaknai sebagai berakhirnya masa kanak-kanak dan langkah awal memasuki dunia orang dewasa. Tetapi pemaknaan ini tidak berarti dirayakan dengan permainan yang mengekploitasi imajinasi seksual remaja tidak pada tempatnya. Kedewasaan justru adalah waktu mereka belajar lebih mandiri dan bertanggung jawab, termasuk dalam hal seksual.
Jadi, masalah permainan di pesta ini bukan masalah LGBT, tetapi justru masalah prinsipil yang berhubungan dengan nilai-nilai agama dan kebudayaan Timur kita. Dari foto yang sempat beredar di dunia maya, saya menanyakan pada anak saya kebenarannya. Ada juga adegan anak lelaki mengempit buah pisang di pahanya dan anak perempuan diminta memakannya. Entah apa yang ada di benak anak-anak itu ketika mereka tertawa. Yang jelas ada seorang atau sekelompok dewasa muda yang membawa mereka masuk melanggar garis kepatutan yang ditanamkan dalam pendidikan agama mereka.
Saya tidak mau membicarakan isi permainan tersebut. Saya beruntung karena kehebohan ini membuat saya tahu apa yang terjadi dalam pesta-pesta yang semula saya pikir aman karena disalenggarakan oleh teman-teman anak saya yang saya kenal cukup baik, dari keluarga yang cukup baik juga.
Event organizer (EO) yang mengadakan permainan heboh ini bukan sekedar satu nama, beberapa EO berbeda ikut menyediakan permainan ini, begitu pengakuan anak saya. Jadi yang perlu diperhatikan oleh orangtua adalah kenyataan bahwa anak-anak yang seharusnya masih polos dipapar dengan kegiatan yang tidak seharusnya ada di negara yang sangat memperhatikan kehidupan beragama ini.
Pikiran polos mereka diajak mengembara ke dunia yang, bahkan bagi sebagian orang dewasa, mungkin tidak pernah terpikirkan.
Kadang bagi anak-anak, pornografi itu semata-mata berhubungan dengan ketelanjangan seseorang. Mereka sama sekali tidak mengerti bahwa permainan pikiran yang membuat ketelanjangan menjadi pornografi. Permainan bisa menjadi sekedar permainan bila unsur pikiran tidak bermain. “Katanya itu supaya pestanya jadi heboh,” jelas anak saya. Kenapa bisa heboh?
Intrusi dunia maya ke dalam kehidupan generasi muda masa kini memang membutuhkan perhatian yang lebih besar dari orangtua dan para pendidik. Pendidikan seksual semakin penting untuk mengajarkan mereka menghargai dirinya, dan menjaga dirinya dari nilai-nilai yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan kebudayaan yang dimilikinya.
Ini bukan mengenai kecenderungan seksual seseorang, walaupun kegiatan itu bisa menjadi trigger, atau pencetus kecenderungan berbeda. Mereka berada dalam masa perkembangan hormonal yang tinggi, dan bahaya bahwa pengalaman awal yang mungkin bukan apa-apa bagi penyelenggara justru menjadi pemicu bagi anak-anak tertentu.
Saya kasihan pada orangtua yang berjerih usaha mencari dana untuk membuatkan pesta 17 tahun yang berkesan bagi anaknya dan teman-temannya, sementara tak menyadari apa yang sedang terjadi.
Saya sedih memikirkan betapa anak-anak terpapar pada hal-hal yang tidak sepantasnya masuk dalam kamus seksual mereka.
Saya prihatin memikirkan betapa besar kemungkinan paparan video porno beredar di antara anak-anak tanpa kami orangtua menyadarinya.
Hal ini bukan masalah LGBT, ini masalah nilai-nilai sosial yang perlu kita jaga sementara kita memasuki pasar global.
Seorang teman lain yang tinggal di luar negeri tidak terima kalau saya mengatakan bahwa permainan ini kemungkinan diadopsi dari Barat. Menurutnya, anak-anaknya di luar negeri tidak pernah mengikuti pesta seperti itu. Mungkin, memang bukan waktunya mencari darimana asalnya, tapi yang perlu adalah mencari jalan keluar agar anak-anak boleh bertumbuh dan berkembang dengan sewajarnya. Bagaimana, kami sebagai sebagai orangtua yang peduli, membekali anak-anak bukan hanya dengan kecerdasan intelektual melainkan juga dengan kecerdasan spiritual, kecerdasan moral, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial dalam memasuki kedewasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H