Mohon tunggu...
Retty Hakim
Retty Hakim Mohon Tunggu... Relawan - Senang belajar dan berbagi

Mulai menulis untuk portal jurnalisme warga sejak tahun 2007, bentuk partisipasi sebagai warga global.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Selama Bumi Berputar, Senjakala hanya Menanti Fajar

11 Januari 2016   17:28 Diperbarui: 11 Januari 2016   17:47 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Semburat merah oranye yang menghias ufuk Barat adalah pemandangan indah yang seringkali dinantikan orang. Tidak ada orang yang menyesalkan menghilangnya mentari karena mereka tahu bahwa mentari hanya bersembunyi. Esok, mentari akan tampil kembali dengan semburat fajar yang sama memukaunya. Senjakala atau bukan, mengapa tidak menikmatinya saja?

“Jalani saja, semua itu adalah proses. Proses yang berjalan dalam waktu. Yang bisa kita lakukan hanya menjalani dengan sebaik-baiknya,” demikian pesan Dan Gillmor ketika tahun 2007 saya menanyakan bagaimana nasib jurnalisme warga tanpa kejelasan pola pendekatan bisnis pendukungnya. Sekitar tahun 2010 dalam sebuah seminar di Universitas Terbuka, saya pernah membahasnya dalam tulisan “Akan Matikah Jurnalisme Warga?

Dan Gillmor, yang menjadi pendiri dan juga Direktur Knight Center for Digital Media Entrepreneurship, sebelumnya adalah jurnalis media konvensional yang masuk ke ranah jurnalisme warga. Bayosphere, yang didirikannya Mei 2005 harus terhenti perjalanannya pada Januari 2006. Tapi dunia terus berputar…

Beberapa portal jurnalisme warga sudah gulung tikar, tetapi nyatanya Kompasiana semakin sesak dikunjungi pengunjung sehingga seringkali tercermin dari kesulitan-kesulitan berinteraksi di portal jurnalisme warga yang bernaung di bawah payung Kompas ini. Dalam istilah Pepih Nugraha, sebuah sekoci yang menempel di kapal besar yang melaju membelah lautan.

Bre Redana dalam tulisannya di Kompas mengatakan (baca selengkapnya di sini):

Di mana pun di dunia, jurnalisme berangkat dari semangat coba-coba, didasari kebutuhan untuk mengembangkan fondasi kultural bagi perkembangan masyarakat. Semangat tersebut menyemaikan atmosfer kerja yang setengahnya beraura misi suci, menegakkan kebenaran, mengembangkan compassion, mengeksplorasi truth alias kasunyatan. Para pelakunya adalah figur-figur otodidak, yang pada perkembangannya sebagian memiliki kewibawaan intelektual melebihi doktor.

Jadi ketika Pepih Nugraha mengatakan dalam tulisannya di blog Kompasiana:

Sebagai "orang koran", saya berkepentingan menjaga eksistensi Harian Kompas yang bermediakan kertas. Benar bahwa saya mengembangkan online dan bahkan media sosial Kompasiana, tetapi bukan berarti saya turut melemahkan, atau kasarnya kalau itu terjadi, mempercepat kematian "media kami".

Saya melihat Kang Pepih, panggilan akrab Pepih Nugraha di Kompasiana ini, juga berangkat dari semangat coba-coba yang berusaha menyediakan sekoci-sekoci penyelamatan kalaupun sampai kapal besar harus karam.

Semangat coba-coba itu bukan timbul dari pesimisme akan masa depan media cetak, namun sepertinya justru berangkat dari kesadaran akan perlunya fleksibilitas dan evolusi untuk mengikuti kebutuhan zaman. Semangat coba-coba yang berusaha memperkuat kapal. Bagaimanapun, sekoci akan menjadi alat untuk sampai ke tujuan dan tidak terbenam ke dasar samudra.

Di sisi lain, ketergesaan media-media baru juga menjadi keprihatinan banyak orang. Tetapi, suatu proses evolusi yang seharusnya bisa menjadi media pembelajaran, bisa terhenti secara prematur bila para penyandang dana takluk pada kondisi yang “terlihat” dan melepaskan nilai-nilai idealisme mereka. Mungkin itu yang dimaksudkan Bre Redana dalam perkataannya, "Inikah senjakala surat kabar? Sekadar mengingatkan para juragan: di balik cakrawala senja, nilai-nilai di atas tetap diperlukan manusia.”

Nilai-nilai yang menjaga agar kebenaran bisa ditegakkan, compassion bisa dikembangkan. Bukankah jurnalisme warga sebenarnya juga berawal dari nilai yang sama? Menyuarakan suara yang tidak terdengar! Esensi mendasar ini yang tidak boleh ditinggalkan, bagaimanapun rupa perubahan yang terjadi.

Bagi sebuah kapal, senjakala hanyalah fenomena alam. Perjuangan menentang badai terjadi di pagi hari, sore hari dan juga di malam hari. Senjakala sama indahnya dengan fajar pagi, selama badai yang menggerus nilai-nilai itu bisa tersingkirkan. Bersama-sama mengalahkan badai akan lebih mudah daripada membiarkan diri karam sebelum badai berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun