Mohon tunggu...
Retno Tri Wahyuningtyas
Retno Tri Wahyuningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

shutterbug

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rabi'ah Al Adawiyah: Sufi Wanita Pencetus Mahabbatullah

2 April 2022   08:17 Diperbarui: 2 April 2022   08:22 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabi’ah Al Adawiyah. Pemilik asli nama Rabi’ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di kota Basrah, Irak pada tahun 95 H. Rabi’ah merupakan klien atau mawlat dari Klan al-Atik dari suku Qays. Ia juga yang dijuluki Syahidatul ‘Isyqil Ilahi (wanita yang syahid oleh kerinduan ilahi). Dia putri keempat dari empat bersaudara yang dilahirkan di keluarga miskin tanpa sepeser uang pun, bahkan tak ada penerangan saat ia dilahirkan.

Semasa hidupnya, Rabi’ah tak pernah terpesona dengan gemerlapnya dunia karena ia hidup dengan sifat zuhud. Pernah suatu ketika Rabi’ah menolak seseorang yang hendak menafkahinya karena merasa iba. Rabi’ah lalu menjawab, “Sungguh aku malu untuk meminta harta dunia pada sang pemiliknya (Allah), bagaimana mungkin aku memintanya kepada manusia yang bukan pemiliknya.” Hal yang serupa terjadi ketika majikannya melihat cahaya iman saat Rabi’ah sholat malam. Majikannya pun menawarkan kepada Rabi’ah untuk tinggal bersama dan akan memenuhi semua keperluan Rabi’ah, namun ia juga menolaknya. Ia lebih memilih untuk kembali ke kampung halamannya di Basrah dan mengabdikan diri sebagai seorang sufi.

Rabi’ah dikenal sebagai seorang wanita yang zuhud. Ia sangat memprioritaskan untuk kehidupannya di akhirat dan tidak terlena oleh urusan dunia atau. Menurutnya dunia hanyalah fana dan tempat untuk menanam bekal amal sholeh untuk di akhirat nanti. Hal ini yang menjadikan Rabi’ah mengabdikan sepenuh hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah Swt. Selama hidupnya ia sungguh tulus dan ikhlas dalam mencintai Allah sehingga ia menjadi seorang sufi.

Rabi’ah merupakan sufi wanita yang pertama kali mengenalkan konsep cinta mahabbatullah yang telah menjamur di kalangan sufisme. Konsep ini memiliki makna bahwa seseorang yang ingin mendapatkan cintanya Allah harus meninggalkan segala bentuk kehidupan yang menghalangi, merusak, atau memisahkan dirinya dari Allah agar mengabdikan diri kepada sang pencipta.

Ajaran yang paling utama dari sufi wanita ini adalah al-mahabbah, dan menurut banyak pendapat bahwa ia adalah orang yang pertama kali mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang begitu mendalam. Barangkali hal ini ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut penuh kasih sayang. Cinta murni dan tulus hanya kepada Allah merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf dan dituangkan melalui kalimat-kalimat puitis. Sya’ir berikut dapat menerangkan apa yang dimaksud dengan al-mahabbah:

“Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-Mu, Walau mata jasadkku tak mampu melihat Engkau, namun mata hatiku memandangmu selalu.”

Menururt Rabi’ah cintanya terbagi menjadi dua jenis, yaitu cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu, hal ini tertera dalam sya’irnya:

“Aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta,

Cinta rindu dan cinta karena Engkau layak dicinta,

Dengan cinta rindu, ku sibukkan diriku dengan mengingat-ingat-Mu

selalu dan bukan selain-Mu,

Sedangkan cinta karena Kau layak dicinta,

Disanalah Kau menyingkap hijap-Mu,

Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,

Segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini dan itu”

Konsep cinta yang diperkenalkan oleh Rabi’ah memiliki dua makna, cinta yang pertama adalah cinta kepada Allah karena kasih dan sayang-Nya. Sedangkan cinta yang kedua adalah cinta kepada Allah karena memang Allah layak untuk dicintai karena kebesaran-nya. Cinta inii sangat dalam dan luhur karena merupakan sebuah keindahan untuk dapat melihart Tuhan.

Sesuai penafsiran Abu Thalib Al-Makiy dalam Qut al-Qulub, bahwa makna hubb al-hawa adalah rasa cinta yang muncul dari segala kebaikan yang diberikan oleh Allah. Hubb disini bersifat indrawi seperti nikmat material. Walaupun begitu, hubb al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah karena ia memandang sesuatu yang terdapat di balik nikmat tersebut. Sedangkan al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang didorong oleh Allah. Cinta ini tidak mengharapkan balasan apapun dan kewajiban-kewajiban yang dilakukan Rabi’ah timbul karena perasaan cinta ini.

Peran Rabi’ah Al Adawiyah di dunia  tasawuf sangatlah besar dan berpengaruh bagi perkembangan ilmu tasawuf. Rabi’ah termasuk seseorang yang berkepribadian unik karena hubungannya dengan Allah sangatlah kuat serta ilmunya tentang hal-hal suci yang luar biasa. Oleh karenanya Rabi’ah sangat dihormati oleh semua ahli tasawuf pada masanya apalagi ia juga memberikan citra dalam menyetarakan gender dalam jajaran spiritual Islam.

Kehidupan Rabi’ah selalu dipenuhi oleh rasa sedih dikarenakan dosa-dosanya. Ia mengajarkan bahwa dosa sangatlah menyakitkan karena dapat memisahkan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Maka ia mengajarkan bahwa orang yang bertobat haruslah bersungguh-sungguh tidak hanya dengan beristighfar saja. Tobat yang benar adalah tobat yang dilakukan dengan tulus sehingga mendapat ampunan dan rahmat dari Allah Sang Pengampun.

Selain itu, masa mudanya yang penuh dengan penderitaan keras sebagai seorang budak, kehilangan kenikmatan hidup, miskin dan mendapatkan berbagai cobaan. Tetapi ia tak pernah merasa sedih, ia memikulnya dengan sabar dan menganggap semuanya merupakan kehendak dari Allah. Pernah suatu ketika saat Sufyan bertanya kepada Rabi’ah mengenai apa yang dia inginkan kepada Allah, dan Rabiah mengatakan: “Jika aku menginginkan sesuatu sedangkan Allah tidak, maka aku akan bersalah jika menentang-Nya”. Hal ini yang menjadi rahasia terbesar dibalik kesabaran seorang Rabi’ah Al Adawiyah.

Rabi’ah tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-sya’ir Cinta Ilahi yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain Yafi’i asy-Syafi’I (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Shaleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memoar Para Wali).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun