Mohon tunggu...
Retno Setyowati
Retno Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - Psikolog Klinis

- Psikolog Klinis - Plant lovers

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Kabar Duka Bukan Akhir Segalanya

6 Januari 2021   13:25 Diperbarui: 6 Januari 2021   13:36 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

KABAR DUKA BUKAN AKHIR SEGALANYA

Terjadi sebuah percakapan  singkat antara pasangan suami istri di ruang perawatan pasien covid19.  Meskipun dialog itu hanya sebentar namun membuat suasana menjadi tegang dan kurang menyenangkan. Suami yang telah dirawat sebelumnya hanya pasif tanpa berkata-kata apapun ketika sang istri dengan nada marah  tampak tidak bisa menerima saat hasil tes PCR miliknya  menunjukkan  confirm covid 19.

Istri beranggapan  suaminyalah yang menulari dan hal tersebut membuatnya jadi takut apabila nanti akan dikucilkan oleh lingkungan sosialnya, pikirannya menjadi  blocking tidak tahu harus bertindak apa.

Sementara itu pada kesempatan yang berbeda, ada pernyataan dari si suami yang mengatakan bahwa ia selalu taat menerapkan 3 M (memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak) bahkan secara berkala melakukan rapid tes atau uji swab mengingat aktivitas pekerjaannya sering keluar kota. Jadi ia juga tidak yakin bahwa dirinyalah yang membawa virus tersebut.  Namun demi menghindari konflik berkepanjangan ia memilih untuk diam tidak meladeni istrinya yang sedang emosional.

Dalam situasi tersebut tampak beberapa tenaga kesehatan berusaha untuk menenangkan kedua belah pihak namun sepertinya tidak berhasil. Akhirnya mereka saling diam dan larut dalam pikiran masing-masing sambil mengikuti arahan dari petugas terkait dengan perawatan yang harus mereka jalani.

Fenomena seperti pada kasus diatas sebenarnya juga terjadi di beberapa tempat yang lain.  Sering kita mendengar berita dimana ada seorang yang dinyatakan sudah  confirm covid19 namun tidak percaya karena tidak bergejala dan merasa baik-baik saja.

Dibutuhkan usaha dan edukasi yang cukup panjang untuk menjelaskan kepada golongan masyarakat ini. Kembali pada contoh kasus tadi, apabila ditelaah lebih lanjut tampak kalau  sepasang suami istri ini kedua-duanya masih berada dalam fase belum bisa menerima.

Berdasarkan pengalaman penulis yang kebetulan juga konselor HIV/AIDS, fase seperti ini sering dijumpai ketika pasien HIV pertama kali diberitahu bahwa dirinya positif terkena virus HIV. Itu sebabnya kenapa pada kasus penanganan HIV/AIDS ada proses konseling atau biasa disebut VCT  ( Voluntere Counseling and Testing ) sehingga mereka akan lebih siap mentalnya jika hasilnya reaktif dan harus menjalani pengobatan seumur hidup serta menghadapi stigma yang mungkin timbul.

SEBERAPA SIAP MENERIMA  BERITA TIDAK MENYENANGKAN  ?

Ada pepatah bijak yang mengatakan bahwa hidup seperti roda yang berputar, kadang diatas dan kadang dibawah. Begitu juga dengan manusia, ada kalanya merasa senang namun ada saatnya juga merasa berduka. Seberapa siap kita dalam menerima kabar buruk ?

Menurut  Kubler Ross (1998) yang juga merupakan seorang dokter jiwa,  ada 5 tahapan dalam menghadapi kedukaan yang dialami oleh seseorang yaitu :

1. Denial (Penyangkalan)
Wajar bagi  orang yang pertama kali mendengar berita tak menyenangkan untuk menyangkalnya.  Pada kasus pasien Covid 19 pasien biasanya merasa tidak terima dengan diagnosis yang disampaikan oleh dokter dan berharap bahwa diagnosis tersebut salah. Mereka merasa tidak mungkin tertular karena tidak ada gejala. Situasi ini kadang menuntun pasien untuk melakukan second opinion dengan periksa ke tempat lain dengan harapan hasil diagnosa yang pertama tidak benar.

2. Anger (Marah)

Reaksi marah muncul karena pasien mulai frustasi karena hasil diagnosa tidak berubah meskipun sudah mencari second opinion. Merasa marah kenapa bisa terpapar covid 19, merasa Tuhan tidak adil bahkan beranggapan ini adalah sebuah konspirasi.

3. Bargaining (Tawar menawar)

Seiring dengan berjalannya waktu, pasien dapat menerima diagnosisnya, tetapi dengan  syarat tertentu. Contohnya ada  pasien yang ingin sembuh tapi tidak mau minum obat, tidak mau isolasi.

4. Depression (Depresi)
Titik terendah yang dilewati dalam proses penerimaan suatu kabar buruk adalah depresi. Di mana pasien menyadari sepenuhnya apa yang terjadi dengan dirinya dan kemungkinan-kemungkinan di masa depan yang menanti mereka.  

Perlu dijadikan catatan bahwa pada saat berada di fase ini pasien sedang menjalani isolasi maka perlu mendapatkan pendampingan secara khusus. Saat sedang sendiri ada kemungkinan mereka akan lebih sering mengembangkan pikiran yang bersifat negative sehingga perlu dikuatkan.

5. Acceptance (Penerimaan)
Pada fase ini fungsi psikis kembali optimal, begitu pula dengan fungsi sosial sehingga meraka akan jauh lebih kooperatif dan patuh dalam menjalani pengobatan.

TENAGA KESEHATAN JUGA MANUSIA

Jauh sebelum virus covid19 ini ada para tenaga kesehatan (nakes) seperti dokter, perawat, psikolog sebenarnya sudah sering berhadapan dengan reaksi  emosi pasien yang berbeda-beda saat mereka berhadapan dengan pasien-pasien yang didiagnosa penyakit kronis. Namun saat pendemi ini situasi menjadi sangat berbeda, karena secara manusiawi juga para nakes sebagai garda depan pun sebenarnya mereka juga mengalami reaksi emosi yang bermacam-macam saat diharuskan merawat pasien covid 19.

NAIKKAN IMUN, JANGAN LAMA-LAMA BERSEDIH

Rasa sedih yang muncul saat menerima kabar buruk  itu juga merupakan anugerah dari sang pencipta, namun sebaiknya dikelola jangan sampai berlarut-larut.  Dalam Angsamerah (2014) dikatakan bahwa  berita yang kurang menyenangkan mengenai kondisi kesehatan seseorang merupakan suatu bentuk stressor emosional.

Stressor ini bila tidak dikenali dan ditangani, maka dapat menyebabkan permasalahan lanjutan dalam mengikuti pengobatan. Respon pengobatan bisa saja tidak menunjukkan hasil yang optimal karena masalah psikologis terkait penerimaan terhadap suatu kondisi penyakit.

Itu sebabnya sangat penting bagi Tenaga Kesehatan atau bagi pasien sendiri untuk memahami dia sedang berada ditahap mana. Dengan mengenali sumber stresnya maka kondisi mentalnya akan cepat pulih dan otomatis sitem imunnya juga akan naik.  Jangan lupa untuk selalu berdoa dan memohon kepada Allah SWT agar setiap langkah yang kita lalui senantiasa membawa berkah dan mendapat perlindunganNya. 

REFERENSI

Kubler-Ross, E. (1998). Kematian Sebagai Kehidupan: On Death and Dying. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

blog.angsamerah.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun