Sobat Kompasiana, menulis pada dasarnya merupakan suatu aktivitas untuk menuangkan ide, gagasan atau pikiran dalam bentuk tulisan. Tentunya dalam keseharian kita tak jauh dari aktivitas ini. Entah  menulis dalam rangka pencatatan sehari-hari, sekolah, pekerjaan, maupun hobi. Ada hal yang menarik dalam menulis ini ternyata dapat bermanfaat sebagai media katarsis. Lantas, menulis yang seperti apa yang bisa dijadikan media katarsis? Mari kita simak penjelasan berikut ini.
Katarsis dalam konteks psikologi dimaknai sebagai pelampiasan emosi secara kuat yang disertai dengan wawasan kognitif dan perubahan yang positif. Katarsis berdasarkan perspektif psikoanalisa merupakan ekspresi dan pelepasan emosi yang ditekan. Pelepasan emosional ini terkait dengan kebutuhan untuk meredakan konflik yang dialami secara tidak disadari. Dengan demikian katarsis dapat membantu melampiaskan emosi secara sehat, biasanya dengan cara dilakukan melalui aktivitas fisik atau aktivitas pereda stres lainnya. Emosi meluap yang ditekan ibarat sebuah ember yang penuh, tentunya butuh media penampungan lainnya.
Aktivitas menulis merupakan salah satu bentuk katarsis selain berbicara dengan teman (istilah sekarang "curhat"), mendengarkan musik, rekreasi, melakukan aktivitas seni, beribadah dan olahraga. Menulis seperti apa yang dapat dikatakan sebagai bentuk katarsis dan menjadi alat kesehatan mental yang efektif? Ya, menulis yang dimaksud disini adalah menulis ekspresif. Menurut situs halodoc.com, menulis ekspresif (baik menulis jurnal keseharian ataupun fiksi) adalah sebuah proses yang melibatkan penulisan tentang peristiwa traumatis atau stres, sehingga dapat membantu untuk mendapatkan perspektif baru sekaligus menghilangkan emosi stres. Seseorang yang mengalami kondisi situasi emosi yang menekan akibat dari stres, tentunya akan merasakan ketidaknyamanan. Emosi negatif ini memerlukan sarana atau media pelepasan, agar dirinya bebas dari ketidaknyamanan tersebut. Itulah kenapa menulis ekspresif dapat bermanfaat menjadi media katarsis dan menimbulkan efek terapeutik (menyembuhkan) secara psikologis. Menurut jurnal penelitian oleh Novi Qonitatin dkk (2011) tentang "Pengaruh Katarsis dalam Menulis Ekspresif sebagai Intervensi Depresi Ringan pada Mahasiswa" telah menunjukkan bahwa terapi menulis ekspresif sebagai media katarsis memiliki pengaruh meringankan terhadap depresi ringan.
Selain itu, menulis ekspresif semakin banyak dikenal sebagai salah satu metode intervensi terapi untuk pendampingan terapi kesehatan fisik maupun mental. John F. Evans (2012) dalam bukunya "Expressive Writing, Psychology Today" mengatakan bahwa menulis ekspresif lebih mementingkan perasaan daripada kejadian, ingatan, benda, atau orang-orang yang ada di dalam sebuah kisah. Seperti penulisan naratif, tulisan ekspresif bisa memiliki alur cerita yaitu awal, tengah, dan akhir. Menulis ekspresif bukanlah tentang apa yang terjadi, melainkan bagaimana perasaan tentang apa yang telah atau sedang terjadi. Menulis ekspresif dapat membantu seseorang untuk mengarahkan perhatian kepada hal-hal yang bersifat positif, bersikap tepat terhadap pengalaman atau kejadian traumatis yang dialami, serta mampu melihat masalah dan pemicu masalah dari sudut pandang lain. Apabila seseorang mampu melihat masalah dari sudut pandang lain, tentunya akan mengelola emosi secara lebih baik apabila dihadapkan kepada situasi sejenis. Pemikiran yang kacau ketika seseorang mengalami stres, dapat terorganisir secara lebih baik. Seseorang dapat terbantu untuk tidak terlalu fokus terhadap kejadian traumatis pemicu stress yang dialaminya, sekaligus membuat seseorang mampu mengatur emosinya secara lebih baik lagi. Tidak hanya melepas kekecewaan dan perasaan yang menekan saja, saat menulis ekspresif seseorang juga diarahkan untuk dapat menggunakan logika penalaran atau fungsi kognitifnya. Seseorang juga akan dapat lebih memaknai atas berbagai kejadian traumatis dan membawanya menuju kesadaran akan masa depan yang lebih baik.
Bagaimana caranya menulis ekspresif agar dapat menjadi media katarsis? Berikut tips menulis ekspresif :
1. Menyiapkan waktu, tempat dan kondisi yang paling tepat agar efektif dalam menulis ekspresif. Dalam menulis ekspresif perlu suasana yang tenang, damai, dan bebas dari gangguan siapa pun, karena saat menulis bisa saja terbawa emosi menangis atau marah. Jangan dipaksakan apabila kondisi mental belum siap untuk menulis. Tunggu sampai benar-benar siap untuk menuangkan segala emosi dan pikiran.
2. Menuliskan beban emosi terdalam yang dirasakan secara jujur. Tuliskan bagaimana perasaan atas masalah yang dihadapi. Hubungkan dengan ingatan, impian, atau topik-topik yang telah dihindari beberapa waktu belakangan.
3. Menulis secara bebas. Tulis apa saja yang ingin ditulis, meskipun ungkapan emosi negatif seperti marah, dan semacamnya. Tidak ada aturan baku yang harus dipatuhi dalam menulis untuk katarsis. Tidak perlu peduli berbagai kaidah tata bahasa seperti ejaan, tanda baca, pedoman pembuatan kalimat, dan aturan penulisan lainnya. Tulis saja secara mengalir segala pikiran dan perasaan, semua rasa, kecewa, maupun duka. Dengan catatan, tentunya jenis menulis seperti ini tidak untuk dipublikasikan ya Sobat Kompasiana, hanya sebagai media katarsis. Tulisan ekspresif sifatnya privasi dan rahasia, maka hasil tulisan dapat disimpan di tempat, file atau folder yang aman yang tidak diketahui orang lain.
4. Merefleksikan kembali apa yang sudah ditulis. Sebulan setelah 4 hari selesai menulis ekspresif, tulisan dapat dibuka dan dibaca kembali untuk direfleksikan. Baca ulang apa yang sudah ditulis sampai merasa puas membacanya. Saat melakukan refleksi, fungsi kognitif harus mulai ditonjolkan, agar dapat melihat masalah secara lebih jernah dan positif. Tulisan bahkan dapat dipilah dan dipilih, ada bagian yang bisa diedit apabila dirasa perlu dipublikasikan atau diberitahukan ke orang lain. Kalau tulisan di kertas tidak akan disimpan dan dipublikasikan, agak sedikit ekstrim bakarlah tulisan kertas itu sebagai simbol pelepasan emosi yang telah selesai. Kemudian Akan muncul perasaan lega, karena sudah menuliskannya.
5. Menulislah secara teratur dan konsisten. Ambil waktu menulis ekspresif misalnya 15 - 20 menit perhari, selama 4 hari berturut-turut. Hal Ini akan membuat semua emosi yang menekan dapat  tersalurkan secara lebih optimal daripada kalau hanya sekali menulis, membuat tidak bisa tuntas mengeluarkan pikiran dan perasaan. Namun, durasi waktu tersebut bersifat fleksibel menyesuaikan kemampuan masing-masing. Apabila menulis selama 15-20 menit dirasakan terlalu berat, mulai saja menulis dengan durasi 5 menit terlebih dahulu. Kemudian upayakan untuk menambah durasi penulisan dari hari ke hari secara bertahap sampai pada durasi 15 atau 20 menit.