Angin pagi menyapu wajah ayunya dengan lembut, membawa aroma segar dedaunan dan embun yang masih melekat di rerumputan. Di sebuah sudut kecil kota, terdapat sebuah lapangan badminton yang menjadi saksi bagaimana kerasnya Sandra berlatih setiap minggunya. Di sanalah Sandra, gadis remaja berusia 18 tahun itu pertama kali bertemu dengan pria yang sangat ia cintai.
Senyumnya merekah begitu dia memasuki pintu stadion yang cukup besar terbuka menyambut setiap orang yang hendak berlatih di sana. Sudah satu bulan lebih pria itu tidak hadir karena cedera lutut, tapi akhirnya rindu yang lama terpendam itu pupus juga. Matanya bersinar sangat cantik ketika ia mendapati seseorang yang selama ini menarik perhatiannya akhirnya hari ini datang berlatih.
"Hai, bagaimana kabarmu?" Sapa Sandra menghampiri pria yang bernama Salman itu.
"Seperti yang kamu lihat, aku sudah baik-baik saja." Balasnya sambil menatap mata Sandra dengan mata yang teduh sambil tersenyum manis.
"Syukurlah, aku ikut senang melihat kamu pulih dengan cepat." Balas Sandra sambil menata barang-barang bawaannya. "Kalau gitu aku pemanasan dulu ya."
"Iya, terima kasih ya." Ucap Salman mengiringi langkah kaki Sandra yang perlahan meninggalkannya.
Setiap jengkal langkahnya tak pernah melunturkan senyumnya, ini menunjukkan bahwa pertemuan itu telah menjadi hormon pembangkit kebahagiaan dan semangat baru untuknya hari ini. Dengan penuh semangat, Sandra berlari kecil memutari lapangan berukuran 20 x 28 meter itu. Wajahnnya tampak dua kali lebih bahagia dari sebelum ia bertemu dengan Salman.Â
Setelah 5 menit berlari kecil mengelilingi lapangan, Sandra dan teman-temannya kembali merapat ke lapangan utama untuk melanjutkan latihan fisik. Semua tampak bahagia tak terkecuali Salman dan Sandra. Sesekali mereka saling beradu pandang dan saling melempar senyum.
Saat tangannya mulai menggerakkan raketnya, datang seorang pelatih muda bernama Reyhan menghampiri Sandra. Â Wajahnya tampak kaget dan tidak menyangka bahwa Reyhan akan memegang tangannya dari arah belakang.Â
"Tangannya harus direntangkan semaksimal mungkin ke atas saat kamu mau memukul ke arah forehead." Ucap Reyhan sambil terus mengarahkan tangan Sandra agar dapat memukul shuttle kock lebih bertenaga dan tepat.
"Baik Kak Reyhan." Balas Sandra tersenyum sambil menengok ke arah Reyhan yang masih ada di belakangnya.
Di sudut yang berlawanan, Salman terpaku menatap menyaksikan Sandra dan Reyhan sedang beradu pandang di depan matanya. Salman lebih banyak diam di tepi lapangan menyaksikan teman-temannya berlatih, mengingat kondisi fisiknnya yang belum pulih betul. Namun terlepas dari semua itu, ia tampak kesal dan tidak nyaman. Matanya nanar, dan gerak-geriknya tampak resah dan tidak tenang, sesekali ia berdiri tapi tak lama ia duduk kembali.Â
"San, main sama kita yuk." Ucap Salman saat Sandra baru saja kembali ke tempat duduknya.
"Kamu latihan bareng Alisa dulu ya, aku masih capek." Balas Sandra dingin.
"Maaf ya Salman, aku sengaja bersikap seperti ini. Aku lelah, rasanya selama ini hanya aku yang memberikan perhatian untuk kamu. Kamu membuat bingung, kadang baik, kadang dingin. Jadi aku harus melakukan ini, aku harus membuat kamu semakin terluka agar aku tahu bagaimana perasaanmu untukku sebenarnya." Ucap Sandra dalam hati sambil terus memandangi Salman yang berjalan menuju lapangan bersama dengan Alisa, Ibrahim  dan Ruvi.
Dengan gerakan yang masih lamban, Salman memainkan raketnya dan terus berusaha mengejar kemanapun shuttle kock berlari. Tidak sebahagia seperti sebelumnya, Salman tampak lemas dan tak bersemangat. Ia berkali-kali berusaha mencuri pandang  ke arah Sandra yang sedang menontonnya bermain dari tepi lapangan. Di saat itu, Sandra justru berpura-pura tidak memperhatikan Salman.
Melihat itu, Salman terlihat sedih. Salman bermain sambil terus berusaha mencerna keadaan yang sedang ia hadapi saat ini. Ia bingung, dengan perubahan sikap Sandra yang begitu cepat. "Sandra kenapa sih? Apa Sandra suka sama Kak Reyhan. Kenapa dia jadi nyuekin aku setelah Reyhan datang?" Ucapnya dalam hati.
Plakkk...
"Sorry, Sal." Ucap Ibrahim kepada Salman ketika shuttle kocknya mengenai wajah Sandra yang sedang meminum air putih dari botolnya.
"Kenapa minta maaf sama aku? Seharunya kamu minta maaf sama Sandra dong." Ucap Salman berusaha bersikap normal.
"Ya, dia kan pacar kamu." Ucap Ibrahim hanya dengan gerakan bibir.
"Bukan pacar, awas ya sampai dia dengar." Balas Salman juga dengan gerakan bibir.
Salman terlihat salah tingkah akibat ulah sahabatnya itu. Ia bahkan berkali-kali gagal mengambil shuttle kock yang ada di bawah kakinya. Tangannya seakan tak bisa digerakkan dengan baik. Sementara itu, Sandra tampak kebingungan sembari sesekali tersenyum dingin melihat tingkah aneh Ibrahim itu.Â
"Aneh banget sih, kenapa juga dia minta maaf sama Salman?" Omel Sandra lirih.
Dalam labirin emosi yang rumit, Salman dan Sandra terjerat dalam jaring ego yang mereka bangun sendiri. Pertemuan yang penuh semangat di lapangan badminton itu telah berubah menjadi pertarungan tak terucapkan antara perasaan dan keinginan untuk mempertahankan diri masing-masing. Ketidakpastian di mata Salman dan rasa bingung di hati Sandra menciptakan jurang yang semakin lebar di antara mereka.
Meskipun tanpa mereka sadari cinta mereka telah tumbuh di lapangan itu. Namun sayangnya ego yang semakin menguat menjadi dinding yang tak terlihat, menjadi pemisah di antara keduanya. Salman dengan hatinya yang penuh pertanyaan, terus merenungkan apa arti sebenarnya dari perubahan sikap Sandra, sementara Sandra, terjebak dalam permainan kebingungan dan penolakan, mencari titik terang dalam dirinya sendiri.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H