Mohon tunggu...
Retno Handoko
Retno Handoko Mohon Tunggu... -

Aku ingin terbang naik becak. Maka ketika aku tengah berada di awang-awang, becak itu akan segera mengingatkanku; bahwa aku dan becak adalah dua hal yang berketergantungan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tidak Seperti yang Sudah-sudah

21 Oktober 2011   12:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Malam ini aku menutup buku, matikan lampu
lalu menetap di sampingmu, dipeluk jenuh bantal
di kanan, di ruang antara kita yang tiada

ketika kupejam, ruang adalah gelap
hanya sorotan sekilas lampu-lampu teater
dan kau di situ. Tertidur.
yang kudengar alunan nafas dangkal

Ketika skenario cinta dimulai, aku pergi dulu.
Melangkah dari trotoar, melesat di antara mobil
hingga ke taman yang paling ujung
sekedar memastikan, kau masih di tepi jalan.

kau tidak begitu senang.
sebab kau begitu jauh, aku tiada
dengan telanjang kaki, kau terpaku di dasar air
padahal ini bulan Oktober, terlalu basah untuk mencari hujan.

Namun, kau sudah dikepung hujan ketika kujumpa
angsa berputar-putar, berbaur dikaki-kakimu.
Kau tergopoh, membenam dihujan, mencoba menggapai
tangan-tangan yang terjulur

kau berenang, lalu menyelam ke bawah
kau tenggelam. Begitu gelap.
Kau duduk di salah satu ujung meja
aku duduk di ujung lainnya, mendengarkan;
hujan yang kau telan tanpa suara

tanganmu tetap di pangkuan
aku menatap gelas-gelas, mencoba memecahkan mereka
dengan kedua binar mata

Aku beringsut ke pojok, di dapur
kaki-kakiku mencoba memijak ubin dimana kau
berjingkat-jingkat, menghindari bayangan

aku tergeletak, kau terjaga dengan wajah menerobos dinding
ada gema di celah pintu. Lalu hening.

aku bermimpi: kapal berlayar kandas di pulau kecil;
kayu-kayu penopang hancur dipunah ombak
para awak berhambur tarik sekoci
tinggal kau, aku dan beberapa mimpi yang tidak pernah selesai

Di aula kosong, kita merancang ulang bangunan lama
beberapa kita tinjau, meski tak jua mengerti;
tentang suara yang hilang di udara dingin
kita mulai bekerja, menata satu-satu
tanpa membongkar yang lama. Sia-sia.

Kau tuang di dalam foto: kau dengan sepose manja; sepatu besar,
topi besar, kacamata hitam, tepi pantai.
aku yang menjepret foto itu tanpa harus mengerti

Saat ini masih belum malam, tapi ruangan menyala
dengan cahaya bulan yang menembus jendela.
Gorden menutup sebagian, hingga mencipta siluet-siluet janggal

Waktu semakin enggan bersahabat. Aku lelah, hanya duduk
bersantai, di beranda menunggu nafas
yang kutitip padamu kemarin.
Kau yang terbaring, menggenggam tangan
ketika itu, aku merasa sudah begitu lemah genggaman kita

tidak seperti yang sudah-sudah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun