Pemandangan anak-anak bermain bola di jalanan atau lorong-lorong sempit seharusnya memicu refleksi serius. Mengapa di negara yang menganggap sepak bola sebagai olahraga paling populer, fasilitas bermain masih menjadi barang langka, terutama di kawasan perkotaan?
Menurut buku Sports in Society: Issues and Controversies (2009) karya Coakley, akses terhadap fasilitas olahraga berkualitas merupakan faktor kunci dalam pengembangan atlet muda. Lingkungan yang mendukung, termasuk lapangan yang memadai, memungkinkan anak-anak dan remaja untuk mengasah kemampuan mereka secara optimal. Namun, bagaimana mungkin kita bisa berharap melahirkan generasi pemain sepak bola yang kompetitif jika anak-anak harus bermain di lorong ruko atau di antara deru kendaraan?
Ketika melihat peringkat Timnas Indonesia di posisi 127 FIFA pada Desember 2024, saya tidak terkejut. Dengan populasi terbesar keempat di dunia menurut World Population Review, kita seharusnya memiliki potensi besar untuk mencetak pemain-pemain kelas dunia.
Namun, fakta ini seolah menjadi paradoks di tengah program naturalisasi yang menjadi andalan PSSI untuk menaikkan peringkat timnas. Prestasi yang kita raih tampaknya lebih banyak ditopang oleh pemain asing yang dinaturalisasi daripada hasil pembinaan yang berkelanjutan.
Bank Tanah dan Harapan untuk Lapangan RakyatÂ
Harapan saya sedikit terangkat ketika secara tak sengaja menonton cuplikan wawancara wartawan Kompas.com, Yoga Sukmana, dengan Kepala Badan Bank Tanah, Parman Nataatmadja. Dalam wawancara itu, sebuah gagasan menarik muncul: penyediaan lahan untuk pembangunan lapangan sepak bola rakyat.
Ada dua poin penting dari rencana tersebut yang layak diapresiasi. Pertama, lahan yang disediakan untuk fasilitas ini akan berstatus Hak Pakai Lahan (HPL). Pendekatan itu dilakukan untuk memastikan lahan tetap digunakan sesuai tujuan awal, yaitu sebagai fasilitas olahraga, dan mencegah alih fungsi menjadi kawasan komersial.
Langkah ini sesuai dengan temuan Deininger dan Feder dalam penelitian yang diterbitkan di Land Use Policy (2001), yang menyatakan bahwa pengelolaan hak atas tanah yang baik mampu mencegah konflik dan mendukung pemanfaatan lahan secara berkelanjutan. Dalam konteks Indonesia, di mana konflik agraria sering terjadi dan alih fungsi lahan menjadi isu serius, pendekatan ini adalah sebuah terobosan.
Poin kedua yang tidak kalah penting adalah bahwa pengelolaan fasilitas ini harus melibatkan asosiasi sepak bola daerah, atau Asprov PSSI. Dengan melibatkan pihak yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang sepak bola, diharapkan fasilitas ini tidak hanya dibangun, tetapi juga dikelola secara profesional.
Badan Bank Tanah mencatatkan perolehan tanah sepanjang tahun 2024 seluas 14.637,2 Ha, meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2023 yang hanya mencapai 7.518 Ha. Hingga kini, total aset persediaan tanah Badan Bank Tanah mencapai 33.115,6 Ha, tersebar di 45 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, 13 daerah telah mulai memanfaatkan tanah tersebut untuk berbagai keperluan.
Melihat langkah ini, saya teringat buku Soccernomics (2009) karya Simon Kuper dan Stefan Szymanski, yang memberikan contoh nyata dari Brasil, negara dengan populasi 211 juta jiwa---terbesar ketujuh di dunia. Di permukiman-permukiman kumuh Brasil, keberadaan lapangan-lapangan sederhana menciptakan lingkungan bermain yang memungkinkan anak-anak mengasah keterampilan sepak bola secara intensif.