Melawan gelap demi menyambung hidup dalam kesengsaraan di tengah ibukota, Teguh Parwedi (38) bekerja sebagai badut jalanan. Mengenakan kostum untuk menghibur siapapun yang melintas di depannya. Bergoyang ke kanan dan ke kiri, Melambai-lambaikan tangan untuk mengambil perhatian setiap orang.
Satu tahun sudah menjalani pekerjaan sebagai badut jalanan, Teguh Parwedi yang biasa disapa dengan Gimun korban dari PHK akibat pandemi Covid-19. Demi menyambung hidup ditengah ibukota yang sangat keras ini ia harus menjadi badut jalanan.
Langkah demi langkah ditelusurinya, untuk mencari siapa saja yang akan ia hibur demi mendapatkan upah yang tak seberapa ini. Tidak ada rasa malu yang ia hadapi karena dengan begini ia bisa menyambung hidupnya serta keluarganya.
“Saya tidak ada malu menjalankan ini, saya bukan pengemis, saya bukan copet, bukan jambret, dan yang saya kerjakan halal,” ujarnya saat diwawancarai pada Selasa, (06/07/2021) Malam hari.
Bapak yang memiliki satu anak ini mendapatkan kostum yang ia pakai untuk bekerja dari teman sebayanya. Berawalan dari menceritakan kisah pilunya yang di PHK dari kantor sebelumnya temannya menawarkan untuk menyewa kostum badut pada dirinya. Tanpa berfikir panjang dengan memiliki tanggungan ia pun menerima tawaran tersebut. Biaya sewa yang ia harus bayarkan sebesar 50 ribu.
“Setidaknya saya dalam satu harus membawa pulang uang 100ribu. 50ribu untuk biaya sewa, 50ribu untuk biaya makan sehari-hari. Jika ada lebih saya tabung untuk membayar kontrakan rumah,” ucapnya.
Dengan keringat yang bercucuran dari kepala hingga menetes di kostum yang ia gunakan, Suryadi berkeliling dari jam 07.00 pagi hingga jam 22.00. Berjalan dengan semangat, sesekali langkahnya terhenti untuk menghibur siapapun yang ia temui.
Ia biasanya tiba di rumah pada jam 12 malam. Setelah bekerja ia harus mengembalikan kostum yang ia gunakan ke temannya yang menyewakan kostumnya tersebut. Baru menuju rumah kontrakannya. Tiba di rumah anak dan istrinya sudah terlelap dalam malam.
Hasil jerih payah sebagai badut jalanan, ia bisa menafkahi anak dan istrinya di tengah pandemi saat ini. Tidak ada kata mengeluh, ia selalu bersyukur masih bisa diberikan nikmat serta kehidupan seperti ini.
Menjalakan pekerjaan seperti ini bukanlah keinginannya. Ia ingin mendapatkan pekerjaan lainnya tapi apa boleh buat keadaan sedang tidak memihak kepadanya
“Kendaraan saja saya tidak punya apalagi rumah. Bersyukur masih bisa melihat anak istri saya makan walaupun saya harus berbohong kepada mereka bahwa saya sudah makan. Saya juga tidak ingin dengan keadaan seperti ini. Saya hanya berdoa untuk roda selalu berputar,” ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Pandemi menghantam perekonomian semua orang termasuk Gimun, ia seorang buruh di pasar swalayan yang sekarangpun harus gulung tikar.
Tanpa adanya hari libur, Gimun tiap hari menghasilkan Rp150 ribu per hari. Hujan maupun panas ia hadapi. Di tengah pandemi seperti ini ia juga memerhatikan kondisi tubuhnya. Terkadang ia khilaf dibutakan oleh semangatnya untuk mendapatkan uang tanpa memperdulikan kondisi tubuhnya.
Pengalaman pahit yang ia rasakan sering terjadi. Adanya pemalakan dari preman tempat ia bekerja, hinaan yang dilontarkan dari beberapa orang, serta ia pernah ditimpuki batu oleh beberapa anak remaja. Tetapi hal itu tidak memutuskan semangat Gimun dalam mengais rezekinya.
“Seperti yang saya pegang diawal disini saya halal bekerjanya tidak merugikan orang banyak, buat apa saya takut. Hal-hal yang pait biar saya saja yang tahu anak istri saya tidak usah tau. Saya pun ikhlas kok tidak ada perasaan dendam atau marah terhadap mereka,” ujarnya. RS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H