Saya termasuk yang tidak sepakat istilah Radikal dilekatkan kepada tindakan-tindakan aksi kekerasan, terorisme, atau perlawanan yang menciptakan kerusakan.
Apalagi diasosiasikan kepada umat Islam yang seringkali (dan ini juga salah kaprah) dinilai konservatif, fundamentalis, atau bahkan ekstrem. Padahal ketiga istilah itu saja punya akar makna yang berbeda.
Pemerintah belakangan ini menegaskan semakin gencar memerangi Radikalisme yang dianggap menjadi musuh negara nomor satu karena mengancam keutuhan dan dasar negara; NKRI dan Pancasila.
Radikalisme menjadi agenda utama pemerintah yang penting dimeratakan, dibandingkan sektor lain, kepada seluruh rakyat Indonesia agar tidak terpapar dengan paham tersebut.
Radikalisme adalah monster menakutkan dan mengancam. Seandainya ia adalah ideologi, maka ia mesti ditumpas di tiap kepala seseorang.
Mengapa persepsi ini dipelihara terus menerus bahkan ditelan mentah-mentah oleh media massa sehingga menimbulkan bias?
Ada buku bagus berjudul Radical Marketing karangan Sam Hill dan Glenn Rifkin (1999), apakah itu juga sama seperti Radikal yang dipersepsikan pemerintah?
Toh itulah 'definisi' yang diciptakan pemerintah atas apa yang disebut dengan Radikalisme, kan?
Wakil Ketua MPR Zulkifli Hasan pernah mengatakan untuk menguatkan ideologi Pancasila dalam diri setiap warga negara, maka harus dilakukan upaya Radikalisasi.
"Harus ada radikalisasi (Pancasila). Ini boleh ada radikalisasi Pancasila oleh bupati, gubernur, termasuk wartawan, juga di kampus dan semua kita," kata Zulhas, sapaan akrabnya, yang ketika itu masih menjabat Ketua MPR seperti dilansir Rmol.id, Jumat (1/6/2018).
Coba lihat, betapa serampangannya makna Radikal dicomot siapa saja dan dimaknai sesuai kepentingannya.