Indonesia sendiri memiliki sejarah keislaman yang unik dan khas. Islam menyebar di Indonesia dari berbagai wilayah, seperti Timur Tengah dan India. Walisongo juga tercatat sebagai tokoh-tokoh yang berkontribusi terhadap penyebaran islam di Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia, banyak berkembang gerakan islam partisan, mulai dari yang bersifat organisasi massa, organisasi mahasiswa sampai partai politik. Keberadaan DI/TII, NU, Muhammadiyah, HTI, Ikhwanul Muslimin, HMI, PMII, PII, KAMI, KAMMI, JT, FPI, Masyumi, PKB, PPP, PKS dan gerakan lainnya yang masuk definisi islam partisan adalah gerakan berbasis kader.Â
Gerakan-gerakan tersebut sejatinya memberikan kontribusi positif bagi Indonesia dalam bidang peningkatan kualitas SDM, pendidikan, penelitian, pengabdian dan bidang lainnya. Namun, seringkali ketokohan dari pendiri gerakan-gerakan tersebut disalahartikan oleh oknum yang jumlahnya tidak sedikit, sehingga menjadi fanatisme yang memuakkan, seperti: mengutamakan kepentingan golongan di atas kepentingan banyak orang, tidak mendengarkan yang bukan kader, tidak mau bekerjasama dengan gerakan lain, bahkan mendiskreditkan gerakan lain. Â Fanatisme ini secara politis dan non-politis berdampak terhadap kualitas persatuan Indonesia dan termarjinalkannya orang-orang yang tidak tergabung sebagai kader. Jutaan umat islam di Indonesia yang seharusnya inklusif, malah menjadi eksklusif dengan dalih "pandai-pandai memilih teman", "mereka sesat", "mereka belum dapat hidayah", "mereka berbeda dengan kami" dan dalih ekslusivitas lainnya. Padahal, Nabi Muhammad SAW mengajarkan untuk saling bersaudara dan guyub (QS 49:10). Betul kata Soekarno bahwa musuhmu adalah bangsamu sendiri. Maka, kita bisa membantah pernyataan Soekarno dengan menyadari wujud fanatisme dan menghindarinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H