Pembangunan wisata tersebut (maldivikasi) sangatlah ironis jika dikaitkan dengan kondisi Pulau Panggang saat ini, mengingat kompleksitas permasalahan multidimensinya, seperti tingginya kepadatan penduduk yang menyebabkan persaingan yang tinggi pada sektor pendidikan dan pekerjaan, limbah rumah tangga dan instalasi pengolahannya yang masih menjadi masalah lingkungan, meningkatnya harga kebutuhan pokok yang dirasakan setiap rumah tangga terutama ibu-ibu, meningkatnya harga solar yang berdampak terhadap nelayan untuk mencari nafkah dan menghidupi rumah tangganya serta kasus kematian massal ikan budidaya akibat dinamika musim dan limbah dari daratan Jakarta Utara berdasarkan penelitian dari LIPI oleh Rositasari et al. (2017).
Penduduk Pulau Panggang sejatinya lebih membutuhkan kehadiran pemerintah untuk menata/memperluas Pulau Panggang atau distribusi ke pulau yang jarang penduduk untuk menjamin adanya "papan" bagi setiap rumah tangga sebagai indikator kinerja pemerintah dalam mengupayakan kehidupan yang layak, dibandingkan dengan maldivikasi yang tidak relevan dan tidak solutif untuk saat ini. Keberadaan Pulau Pramuka saja sudah mendukung gagasan kawasan pariwisata nasional oleh Presiden RI, belum ditambah dengan Pulau Karya, Pulau Panggang dan pulau untuk wisata lainnya.Â
Keberadaan wisata pada pulau-pulau tersebut saja sudah meningkatkan ekonomi penduduk dan bahkan masih bisa dioptimalkan lagi melalui penataan yang berorientasi lingkungan dan peningkatan kepuasan pengunjung wisata. Apakah maldivikasi itu tidak terkesan mubadzir, disaat pulau-pulau wisata yang ada saja sudah mampu menopang kehidupan penduduk dan masih bisa dioptimalkan lagi? Tentunya pemerintah yang diisi oleh insan-insan akademis (mendapatkan nikmat ilmu berupa akses pendidikan tinggi, seperti program sarjana, magister dan doktoral) tentu lebih mampu menjawab pertanyaan tersebut, dibandingkan dengan insan-insan yang hanya mengeyam bangku SMA, SMP, SD atau bahkan tidak sama sekali.
Di sisi lain, maldivikasi di perairan Semakdaun (laut berekosistem karang) tentunya akan membutuhkan reklamasi agar konstruksi dapat berdiri di atas laut. Hal ini secara gamblang dijelaskan oleh Bupati setempat saat mempresentasikan video master plan maldivikasi Perairan Semakdaun tersebut. Rencana pembangunan "maldive" Indonesia tersebut jelas berupa pembangunan konstruksi di atas laut. Hal ini akan menghancurkan ekosistem karang seluas 315 ha, memusnahkan ikan dan secara langsung menghambat penduduk Pulau Seribu, terutama Pulau Pramuka, Pulau Karya dan Pulau Panggang yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan. Sangat ironis jika pasca maldivikasi, muncul berita bahwa Pulau Panggang susah ikan. Hal ini akan menjadi beban berat bagi kepemimpinan pemerintah di saat itu.
MZ, salah satu tokoh masyarakat di Pulau Panggang, menolak rencana maldivikasi ini karena dinilai sangat-sangat merugikan kehidupan generasi saat ini umumnya dan generasi penerus khususnya. Di sisi lain, penduduk Pulau Panggang menunjukkan sikap yang beragam, berupa penolakan, penerimaan maupun ketidakpedulian (apatis). Urgensi dari isu ini sejatinya bukan terkait setuju, tidak setuju atau apatisnya penduduk, tetapi lebih kepada tidak transparannya kronologis rencana ini hingga menjadi video master plan utuh yang dapat di akses dalam https://www.youtube.com/watch?v=axMEfZdBkGs, kurangnya partisipasi penduduk dalam sosialiasi, kajian dan diskusi terkait rencana ini serta apakah manfaat maldivikasi ini diterima oleh penduduk Pulau Seribu (terutama penduduk Pulau Pramuka, Pulau Karya dan Pulau Panggang sebagai pulau berpenghuni terdekat dengan perairan Semakdaun)?