Mental health, rangkaian kata yang sedang trend saat ini di antara kalangan muda. Banyak pula digunakan untuk sebuah excuse untuk kondisi apapun. Menghadapi pelajaran, ujian, teman-teman, pacar atau bahkan pekerjaan bagi banyak fresh graduate yang memasuki dunia kerja.Â
Gangguan mental sejak beberapa tahun lalu memang jadi isu menarik bagi banyak remaja, hingga mereka yang menuju usia dewasa. Â
Jika dulu gangguan mental menjadi hal yang memalukan, kini dianggap keren oleh banyak anak muda, dalam prosesnya menuju dewasa. Â
Psikiater saya sempat cerita tentang remaja SMA yang datang padanya, kebetulan memang terdiagnosa bipolar. Â
Setelah melalui pengamatan dalam beberapa kali konsultasi, dengan hati-hati ia mengatakan hasil diagnosanya.
"Mba, setelah mengamati beberapa gejala yang anda alami, saya pastikan ini adalah gangguan bipolar, ya." Â Ia mengatakan itu dengan lembut agar mengurangi efek kaget dan mungkin kekecewaan yang akan timbul. Namun, remaja yang mendengar ucapannya malah tidak bisa menyembunyikan senyum, kemudian langsung mengambil HP-nya untuk update status di beberapa akun sosmed miliknya.
Sayangnya, jarang yang benar-benar memperhatikan kesehatan mentalnya dengan pergi ke psikolog atau psikiater. Â
Mereka lebih memilih sedikit membaca dari internet, mengikuti quiz mental health, lalu melakukan self diagnose dan menggunakan alasan itu untuk sehari-hari. Seringkali tujuan utamanya sangat bodoh agar terlihat keren. Â
Kedua, mencari perhatian lebih, ketiga sebagai alasan untuk ketidakmampuannya atau kemalasannya menyelesaikan tanggung jawab.
Gangguan Mental, Hidup Jadi Lebih MudahÂ
Saat menyatakan diri, terkena gangguan mental ia akan merasa berhak untuk rebahan di kasur berlama-lama, marah-marah, menangis, tertawa sesukanya. Â
Seperti jargon yang banyak kita dengar, "orang gila mah bebas". Â Lalu jika orangtua menegur, mereka akan update status di medsosnya.
"Orangtuaku tidak peduli dengan mental health, rasanya pengen mati aja," disertai foto pergelangan tangan dengan cutter tergeletak di sampingnya.
Demikian gambaran kondisi banyak remaja saat ini, mereka tumbuh dengan kebutuhan perhatian berlebih. Â
Beberapa orang dewasa melihat generasi muda saat ini banyak yang cengeng, bukan fighter sebagaimana remaja di tahun 80-90an.Â
Mungkin, alih-alih menganggap para remaja ini generasi cengeng, ada baiknya sebagai orang dewasa, sebagai orangtua, kita berfikir lebih jauh. Apa yang menyebabkan anak kita seperti itu. Dengan mengerti penyebabnya, akan jauh lebih mudah untuk mengatasi masalah.
Sejak maraknya media sosial, mendapatkan perhatian dari followers menjadi satu hal yang membuat ketagihan. Memenuhi kebutuhan itu, sekarang aneka filter untuk mempercantik foto maupun video yang kita posting semakin banyak pilihannya. Â
Foto dan video editing pun bisa dengan mudah dilakukan tanpa harus repot-repot belajar caranya. Semua untuk memenuhi kebutuhan perhatian dan pujian. Curhat, mempertontonkan masalah pribadi juga sama besarnya dalam menarik perhatian pengguna medsos. Efeknya pun sama, membuat ketagihan. Â
Ketagihan ini, kemudian keluar dari dunia online, dalam kehidupan nyata perilaku seperti ini pun terjadi. Salah satunya dengan self diagnosed mental health issue. Asik dengan perhatian berlebih, berkembang menjadi alasan untuk melakukan tindakan apapun:
"Aduh, aku lagi manik nih... maap ya... kalo aku rese banget hari-hari ini"
"Aku lagi depresi, maklumin ya kalo aku marah-marah terus"
"OCD ku kumat, nih"
"Anxiety bikin aku gak bisa kelarin tugas"
"Aku tuh kena PTSD gara-gara dia putusin aku, sampe sekarang belum sembuh"
"Ya gimana lagi, aku kan kena ADHD jadi emang ga bisa konsen selesein tugas"
Seolah tidak ada habisnya para remaja ini membutuhkan perhatian. Mengapa? Â Apa yang salah dengan didikan orangtua? Apakah kurangnya perhatian yang kita berikan pada mereka? Â
Sebagai orangtua mudah menjawab, "Ah, dulu saya remaja gak pernah tuh minta diperhatiin gitu. Ga ngerjain tugas, dipukul guru, ngadu sama ibu di rumah malah tambah dicubit sampe biru. Nyatanya aman-aman aja."
Gangguan Mental, Atau Hanya Alasan?
Saat kita remaja, medsos belum ada. Kita tidak dimanjakan oleh internet. Jika sekarang internet memberikan banyak kemudahan, maka bimbing, dampingi anak agar menggunakannya sebagai kemudahan dalam mencapai sukses.Â
Jika saat tidak difasilitasi intenet di masa muda saja kita bisa sukses saat ini, maka dengan kemudahan yang dimiliki anak seharusnya justru kesuksesan yang lebih besar dapat lebih mudah diraih. Bukan sebaliknya, justru melemahkan.Â
Kondisi ini, kini menjadi rancu antara benar-benar membutuhkan bantuan psikolog bahkan psikiater, atau sekedar memenuhi kurangnya perhatian orangtua.Â
Kesabaran, kebijaksanaan dan pengetahuan orangtua dibutuhkan. Belajarlah lebih dalam, kenali gejala gangguan mental yang sesungguhnya.Â
Informasi yang valid banyak didapat di internet, carilah situs-situs yang memang kompeten untuk membahas hal ini. Sehingga kita benar-benar tahu, bagaimana kondisi anak kita yang beranjak dewasa.Â
Bagaimana jika orangtua ragu, melalui informasi yang sudah dikumpulkan dari beberapa sumber, kita masih ragu apakah anak mengalami gangguan kesehatan mental atau tidak? Segeralah datang ke psikolog. Jika kita ragu, tandanya ada kemungkinan walaupun kecil, bahwa anak kita membutuhkan pertolongan expert.Â
Layanan psikolog dapat ditanggung BPJS dengan mengikuti prosedur yang diminta. Maka biaya konsultasi seharusnya bukan menjadi alasan untuk mengajak anak kita ke psikolog atau psikiater.Â
Ya, memang banyak orangtua yang enggan mengajak anak bahkan dirinya sendiri, untuk pergi konsultasi ke psikolog maupun psikiater. Tabu. Bahkan masih ada yang menyebut mereka sebagai "dokter gila" yang khusus menangani orang gila.
Maka kalau sampai orang lain tau ia konsultasi dengan psikolog atau psikiater, orang lain akan menganggapnya gila.Â
Banyak orangtua yang merasa lebih baik untuk membawa anak mereka konsultasi, dan menggunakan tenaga ahli supranatural maupun keagamaan untuk mengembalikan kesehatan mental anak mereka.Â
Cari Bantuan dari Psikolog atau Psikiater
Namun, ketahuilah para orangtua, ada banyak sekali gangguan mental yang tidak bisa disembuhkan melalui kegiatan supranatural, melalui nasehat-nasehat, melalui quote-quote motivasi atau bahkan omelan atau ancaman. Misalnya gangguan bipolar.Â
Ada gangguan pada kimia otak, yang membuat kelenjar di otak tidak bisa mengendalikan pengeluaran zat dopamin sebagaimana seharusnya pada otak orang tanpa gangguan ini.Â
Bipolar disorder, bukan sekedar permasalahan psikologis harus ditangani dengan obat. Psikiaterlah yang dapat menangani permasalahan ini.Â
Maka nasehat, "Atur pikiranmu untuk bisa sembuh dari penyakit bipolarmu" adalah sama dengan mengatakan, "Pakai jarimu untuk memijat otot yang sakit di tanganmu" yang dikatakan pada orang yang tangannya sedang diberi gips karena patah.Â
Sembuhkan dulu tangan yang patah dengan bantuan medis, masalah nanti setelah gips atau perban dilepas, kita boleh ajarkan untuk menggerakkan kembali jari-jari yang mati rasa, ajarkan agar hati-hati dan menghindari menggunakan tangan yang pernah patah tersebut untuk tidak mengangkat beban berat dulu. Kemudian berlatih secara bertahap untuk menggunakannya dengan normal.
Apakah kita pernah membawa anak kita pergi konsultasi ke dokter, berobat, saat ia demam tinggi selama lebih dari 3 hari?Â
Pernah membawa anak kita ke dokter kulit saat ada ruam, gatal dan nyeri di kulitnya tidak kunjung sembuh? Pernah ya?Â
Atau mungkin anda berfikir, sebaiknya kita menasehati saja anak yang demam ini," Banyak bersyukur nak, jangan mengeluh terus, paksakan diri makan yang banyak, olah raga, jangan hanya tiduran di kamar, pasti bisa sembuh."Â
Ya, jika hanya demam karena telalu capek, pilek, bisa jadi kita benar. Tapi apakah kita tau, jika anak kita demam berdarah, misalnya? Bisakah sembuh dengan nasehat? Bagaimana dengan anak yang kulitnya gatal dan perih tadi? Apakah kita hanya menasehatinya untuk lebih menjaga kebersihan, mandi pakai sabun, mandi di laut sebagai terapi air garam. Padahal, ternyata itu adalah gejala kanker kulit.Â
Sembuh kah anak kita dengan nasihat untuk menjaga kebersihan? Atau kita akan mengetahui saat semuanya sudah sangat terlambat, dan sel kanker sudah metastase ke organ lain?Â
Pada banyak gangguan mental, ada resiko yang dapat menyebabkan penderitanya bunuh diri bahkan hanya terpicu oleh sesuatu yang anda, orang sehat mental anggap tidak masuk akal. Misalnya membaca komen buruk di medsos, menonton tv, atau teringat sesuatu yang sudah lama berlalu. Ya, sebahaya itu. Maka jangan hakimi mereka menggunakan pemikiran dari mental yang sehat.
Jangan samakan kemampuan tangan kita yang mampu mengangkat galon air, dengan kemampuan orang yang kedua tangannya baru mengalami penyambungan tulang karena patah.Â
Kita bisa melihat dengan jelas saat ketidakmampuan itu pada organ tubuh, tapi pada mental yang tidak sehat, kita tidak selalu bisa melihatnya dengan langsung.
Ini Adalah Bagaimana Depresi Terlihat
Kurang lebih demikian terjemahan dari judul aslinya. Bukan hal yang mudah membedakan senyum mereka dengan kita semua. Kita tidak selalu tahu, apa yang terjadi dalam pikiran mereka. Jangan sampai kita mengetahui, saat merusak diri dengan narkoba, atau bahkan bunuh diri menjadi pilihan terakhir mereka.Â
Alasan mental health issues yang sedang trending saat-saat ini, jangan sampai mengecoh orangtua sehingga lalai memperhatikan kondisi anaknya hanya karena menganggap itu sebagai alasan semata. Belajarlah lebih banyak, mungkin anak anda benar membutuhkan bantuan ahli.
Salam sehat mental.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H