Mohon tunggu...
Veronica Rompies
Veronica Rompies Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Lulus tahun 1998 dari Universitas Darma Persada, Jakarta jurusan Sastra Inggris D3. Memulai bisnis furniture sejak tahun 2000 di Jepara, hingga saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Bukan Teroris!

15 Mei 2018   06:30 Diperbarui: 15 Mei 2018   07:14 2457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun, keimanan tidak serta merta membuat seseorang menjadi pintar, bukan?  Iman = Percaya.  Mereka beriman, mereka percaya, namun siapa yang mereka percaya adalah orang-orang yang menyebarkan doktrin radikalisme.  Ustad-ustad yang memiliki kepentingan titipan, yang mampu meramu ayat-ayat dalam Al Quran sehingga tercipta faham yang jauh dari intisari agama Islam itu sendiri.

Teroris-teroris agama adalah golongan yang sangat bodoh dalam beriman.  Mereka tidak pernah menyadari apa yang mereka korbankan hanya digunakan untuk kejahatan.  Nyawa para Mujahid ini berguna sebagai satu jalan merebut kekuasaan dan segala yang menyertainya!  

Apakah masih kurang contoh negara-negara yang kini hancur karena konflik agama?  Konflik agama diciptakan karena efektif, murah, dan pasukan-pasukannya berani mati.  Cukup dengan janji surga.  

Tidak ada satupun pasukan berani mati ini berfikir bahwa mereka dimanfaatkan oleh segelintir pihak-pihak yang selalu lapar, untuk melancarkan jalan memenuhi nafsu serakah mereka.  Mereka dibentuk dengan terstruktur, dipelihara, ditanamkan kebencian yang tumbuh subur setiap saat, untuk dapat digunakan saat diperlukan.

Para teroris itu, mereka adalah saudara kita juga.  Sebangsa, setanah air.  Mereka bisa teman kerja kita, tetangga, bahkah sanak famili.  Mereka korban doktrinasi yang dibentuk secara diam-diam.  Paham-paham radikal masuk dengan halus di sekolah, di kampus, di organisasi yang mereka ikuti.  Bahkan kini lebih mudah lagi dengan adanya Grup-grup di media sosial yang mudah diikuti bahkan oleh anak-anak remaja.    

Waspada, Kawan.  Jangan sampai terlanjur kita melihat orang-orang yang kita kenal, kita cintai, jatuh ke dalam jurang doktrinasi radikal dan kita terlambat mengetahuinya.  Sebab jika mereka telah jatuh ke sana, sangatlah sulit untuk mengembalikan mereka untuk berorientasi hidup di dunia nyata, cita-citanya hanyah mati syahid, yang tentunya bukan untuk agama dan tuhannya, namun untuk keserakahan sekelompok orang-orang rakus yang tidak pernah merasa kenyang.

Anak saya, 12 tahun kelas 7 SMP.  Pernah menerima broadcast message dari salah satu grup whatsapp yang diikutinya.  Kata-kata bercanda khas anak ABG, disertai dengan permintaan untuk share dan forward ke 5 atau 10 grup lain kalau tidak maka akan jomblo seumur hidup.  Isi pesannya sederhana, "Apakah kamu mau membela Agama Allah Swt dalam segala kondisi lalu masuk surga, atau kamu lebih memilih masuk neraka bersama Yesus?"  

Kini ia selalu menghapus pesan sejenis itu hanya dengan membaca beberapa kata pertama.  Bagaimana dengan anak anda?  Adik? Keponakan?  Sejauh mana usaha pencucian otak kecil-kecilan ini telah berusaha meracuni anak-anak kita?  

Salam NKRI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun