Mohon tunggu...
Veronica Rompies
Veronica Rompies Mohon Tunggu... Wiraswasta - hobi ngomong, omongannya ditulis. haha.

Lulus tahun 1998 dari Universitas Darma Persada, Jakarta jurusan Sastra Inggris D3. Memulai bisnis furniture sejak tahun 2000 di Jepara, hingga saat ini.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bangsa Bervirus

31 Mei 2017   21:02 Diperbarui: 31 Mei 2017   21:14 1029
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trilogi SaveNKRI #2

Bangsa kita sedang sakit.

Sepertinya karena terpapar virus yang sudah puluhan tahun, semakin berkembang biak di dalam tubuh negeri ini.   Menggerogoti jaringan organ-organ yang sehat, melemahkan, melumpuhkan... dan perlahan mematikan fungsinya.  Puluhan tahun pula kita hanya diberikan painkiller, obat penghilang rasa sakit, yang tidak akan membunuh virus atau menyembuhkan penyakit, namun membuat kita sejenak merasa sehat.  Virus korupsi dan keserakahan telah menyebar begitu luas dan mendalam.

Pada permasalahan di Nusantara saat ini, bahkan pengkonsumsi painkiller ini merasa lebih sehat dari yang paling sehat.  Padahal, dalam dosis berlebih, pemakaian menahun dan penggunaan yang salah, dapat membahayakan tubuh.  Bahaya yang ditimbulkan bisa lebih besar daripada rasa sakit yang diredamnya.  Virus maupun efek buruk dari painkiller ini bersama-sama menggerogoti tubuh, sehingga daya tahan tubuh semakin melemah.  Ya, korupsi dan penggunaan agama dengan cara tidak tepat, dengan dosis yang berlebih selama bertahun-tahun telah sangat merusak ketahanan tubuh bangsa ini.

Mengerikan saat kita menyadari virus korupsi dan keserakahan ini begitu telah sangat diterima dalam kehidupan kita sehari-hari.  Begitu mudahnya kita bahkan terlibat di dalamnya, disadari maupun tidak.  Bahkan sebagian orang masih banyak yang tega menularkan virus ini kepada anak-anaknya, dan membiasakan mereka untuk hidup bersama virus itu dan pil painkiller secara bersamaan, agar mereka tidak terlalu sadar akan buruknya efek yang ditimbulkan virus itu.

Contoh kecil, sebentar lagi tiba waktunya kenaikan kelas dan kelulusan anak-anak sekolah.  Mari kita perhatikan di sekitar kita, berapa banyak orangtua yang akan tega 'membeli bangku' pada pejabat sekolah, agar anaknya bisa duduk di baris terdepan dalam kelas barunya.  Berapa banyak pula yang akan tega membeli tiket 'jalan belakang' agar anaknya dapat masuk sekolah lanjutan favorit?  Mungkin bisa diingat-ingat kembali, sesaat sebelum ujian kelulusan tahun ini atau tahun-tahun sebelumnya, berapa banyak orangtua memberikan uang pada anaknya, pada guru les, untuk mencari dan membeli soal bocoran ujian?  Sadarkah kita bahwa kegiatan ini adalah termasuk menyebarkan virus dukungan terhadap korupsi?  Jika anak-anak sudah terbiasa sejak dini menganggap kecurangan dan korupsi adalah hal yang wajar, jangan pernah berharap negeri ini akan maju dan tercipta kesejahteraan yang merata.  

Jika dalam pembangunan mental anak sudah mulai terpapar virus, ia akan berkembang dengan menganggap praktek korupsi dan dukungan terhadap korupsi dan segala jenis kecurangan adalah hal yang lumrah, normal.  Ini sudah terjadi pada saat ini.  Anak-anak itu kini telah dewasa, menjadi saya dan anda.  Kita yang terbiasa memilih 'jalan damai' saat tertangkap polantas menerobos lampu merah.  Kita yang terbiasa memberikan 'tips' saat membuat SIM supaya cepat lulus tanpa ujian praktek parkir mundur di lokasi sempit.  Kita yang terbiasa menjanjikan 'komisi' pada penyelenggara tender agar proyek pekerjaan dapat diberikan.  

Lalu, benarkah kita menginginkan generasi penerus kita berjalan di jalur yang sama?  Generasi yang pada kelahiran mereka, kita panjatkan do'a, berikan dan terima ucapan selamat, agar mereka kelak tumbuh menjadi orang yang shaleh dan shaleha, berguna bagi nusa bangsa dan agama.  Kemudian dalam masa pertumbuhan mereka kita sendiri yang memaparkan virus korupsi, dan dalam masa yang sama kita juga mengajari mereka berdoa, agar senantiasa Tuhan memberikan ampunan terhadap kesalahan yang kita perbuat.

Kita mungkin membenci pejabat negara dan sistem birokrasi yang penuh dengan praktek korupsi.  Mengapa?  Apakah karena iri, mereka memiliki kesempatan korupsi dengan nilai lebih tinggi dari kita?  Apakah karena mereka bertindak sebagai penerima uang, dan kita berada di posisi sebaliknya, yang memberikan uang untuk mendapat kemudahan?  Pernahkah terfikir, jika kita berada di posisi yang sama, kita akan melakukan juga apa yang mereka lakukan, memberi tarif pada kemudahan? 

 Jangan buru-buru bilang tidak, jika kita terbiasa membeli kemudahan, maka praktek jual beli ini pun bukan hal yang aneh.  Hanya saja kini, mungkin kita tidak berada di posisi yang mampu menjual, hanya bisa membeli, itu pun hanya yang murah-murah saja, misalnya seratus - tiga ratus ribu untuk lulus ujian SIM atau lupa bawa SIM.  

Bagaimana jika kita berada di posisi penjual, seperti para pejabat koruptor itu, dan kemudahan yang kita tawarkan bernilai lebih dari 8 digit, masih mampu menolak?  Selain itu, kondisi 'hampir' memaksa kita untuk menjual kemudahan, menjadikannya komoditas.  Jika tidak mau menjualnya, akan banyak sekali ancaman datang dari berbagai penjuru.  Tiba-tiba akan tercipta sebuah drama tentang kita dengan skenario yang ajaib, yang membuat kita dan keluarga harus di-bully di medsos, terancam kehilangan jabatan, hingga masuk bui dengan tuntutan di luar akal sehat.  Kesalahan kita yang terberat adalah, menolak untuk menjual kemudahan dan menolak membeli 'keamanan', maka kita harus disingkirkan.

Ya, memang saya bicara tentang Ahok.  Lihat apa yang terjadi padanya?  Nope, tunggu..., bukan, saya tidak berniat membahas drama yang tercipta sehingga ia bisa masuk bui.  Seperti pada trilogi saveNKRI #1, di sini pun saya ingin sedikit membahas tentang para Ahokers yang menjadi fans beratnya. Yang begitu tergila-gila padanya.  Yang bersikap seolah Ahok adalah sosok yang luar biasa, satu-satunya orang jujur, bersih, hebat, berani, tegas, bla bla bla.

Saya katakan dengan tegas: Anda salah, jika beranggapan seperti itu.

Ahok adalah pemimpin dari para pelayan masyarakat di DKI.  Ia bekerja karena dipilih dan dibayar.  Tidak ada kehebatan yang luar biasa yang ia lakukan.  Ia hanya bertindak tegas, memecat anak buahnya yang tidak melayani dengan benar.  Ia hanya bertindak jujur dan menolak melakukan korupsi.  Ia memerangi praktek marking up pada badan-badan yang menjadi tanggung jawabnya.  Ia hanya memberdayakan warga kelas bawah agar mereka bisa menjadi pasukan warna-warni yang bergaji layak.  Memberikan kehidupan yang layak bagi penghuni bedeng liar di bantarain sungai yang kumuh, mengubahnya menjadi ruang terbuka yang indah dan dapat dinikmati warganya.  Tidak ada yang istimewa dari semua hal itu, ia hanya melakukan tugasnya dengan benar.

Apakah melakukan tugas dengan benar sudah menjadi hal yang sangat istimewa saat ini?  Sehingga ia menjadi begitu fenomenal, mengundang entah berapa banyak airmata dan tentu saja pertengakaran antara pendukung dan pembencinya.  Melakukan tugas dengan benar, berlaku jujur, tegas terhadap pelaku kesalahan, menolak melakukan kesalahan, adalah hal standard yang sebenarnya Anda dan Saya bisa lakukan.  Jika hal standard seperti itu menjadi hal yang sangat fenomenal, maka saya terpaksa curiga, bahwa kita telah terlalu lama terpapar virus, sehingga saat melihat orang yang sehat, kita berfikir itu suatu hal yang luar biasa.  Kita lupa, bahwa kita sangat mampu untuk berbuat seperti itu.  Kita lupa, bahwa seharusnya yang tidak biasa adalah yang melakukan tindakan kecurangan, yang korupsi, yang tidak jujur.  

Kita.  Anda dan Saya.  Kita bisa memutuskan rantai perkembangan virus itu.  Kita bisa menyembuhkan penyakit ini, jika tidak hari ini, mungkin tahun depan.  Jika tidak tahun depan, mungkin 5 atau 10 tahun ke depan.  Tapi ada langkah yang kita ambil saat ini.  Jika kesembuhan total itu bisa tercipta hanya pada saat anak-anak kita tumbuh dewasa, setidaknya kita bisa berharap negeri ini pada saatnya nanti akan menjadi sehat.  

Kelak pada masa itu, painkiller tidak dibutuhkan lagi karena negeri ini tidak lagi sakit.  Di mana berbuat jujur, bekerja sesuai dengan kewajibannya, tidak korupsi, adalah perbuatan yang normal, yang tidak aneh.  Di mana tidak melakukan kejahatan bukan karena sekedar takut hukum, namun karena kesadaran bahwa pada dasarnya manusia tidak suka kejahatan, dijahati dan menjahati.  Ayat-ayat suci, tidak lagi dijadikan alat murahan untuk menutupi penyakit-penyakit menular.  Agama tidak lagi dijadikan komoditas politik untuk menggerakan massa, karena rakyat yang telah menemukan kesadarannya tidak akan mudah diperalat.  

Save NKRI, bukan tugas presiden, atau pejabat negara.  Kita Indonesia. Anda dan Saya.  Kita putuskan rantai penyakit yang telah menjangkiti Ibu Pertiwi bertahun-tahun lamanya.  

Selamat Ulang Tahun Pancasila, tetaplah kuat, tetaplah gagah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun