Di rezim ini, pedang hukum suka tebang pilih. Aparat hanya sigap terhadap lawan politik penguasa, sementara bagi orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan, mereka bak warga negara istimewa. Kasta mereka terlalu tinggi untuk bisa digapai oleh tangan hukum yang tak lagi berwibawa.
Padahal dulu Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian telah memastikan pihaknya bakal memproses laporan tersebut. Penyidik akan melakukan penyelidikan untuk menemukan dugaan tindak pidana dari pidato Megawati.
"Kalau ada pidana dilanjutkan menjadi penyidikan. Penyidikan untuk menemukan tersangka dan mengajukan ke kejaksaan," ujar Tito kala itu.
Tetapi setelah dua tahun lamanya, penyelidikan itu tak jelas ujung pangkalnya. Entah dikerjakan entah tidak, yang pasti tak ada lagi kelanjutannya.
Kondisi itu membuat 25 orang ulama dari Madura melaporkan kembali Megawati ke Polda Jawa Timur. Diwakili oleh Mohammad Ali Salim, para tokoh agama itu membuat laporan terkait pidato yang diduga menodai agama itu.
Laporan tersebut diterima dan ditandangani oleh Kepala Siaga A SPKT Polda Jawa Timur Komisaris Polisi Daniel Hutagalung dan diberikan nomor TBL/1447/XI/2017/UM/JATIM pada Rabu (8/11/2017).
Dalam laporan itu, Megawati disebut telah melanggar pasal 156 KUHP tentang menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia.
Kini kita hanya bisa berdoa dan berharap, agar penegak hukum kembali menemukan nyali sehingga berani memproses laporan itu. Polisi hendaknya mampu menunjukkan jika mereka bukan budak politik penguasa. Buktikan bahwa negeri ini memang menganut paham equality before the law. Perlihatkan kalau memang hukum di negeri ini masih berdaya dan berwibawa, bukan hanya sebagai kacung penguasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H