Penistaan demi penistaan terhadap agama dipertontonkan di depan keseharian kita dengan arogansi luar biasa. Para pelakunya berseliweran sambil mencibir nurani publik yang terluka.
Mereka merasa aman berlindung di balik kekuasaan, sementara hukum mulai kehilangan sensivitasnya. Mereka merasa aman, bahkan kuat, menyuruk di belakang kekuasaan yang cenderung bersekongkol.
Sudah dua tahun berselang sejak Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dilaporkan ke polisi atas dugaan penistaan agama yang dilakukannya saat berpidato pada hari ulang tahun PDI Perjuangan, Selasa (10/1/2017).
Sayang, hingga kini Korps Bhayangkara tak juga bernyali mengusut pimpinan partai politik penguasa itu. Inikah yang mereka gembar-gemborkan sebagai hukum yang berkeadilan? Hukum yang tumpul kepada penguasa, meski ia telah melukai hati mayoritas rakyat Indonesia dengan ucapan penghinaannya?
Kita mungkin masih ingat, pidato Megawati saat hari ulang tahun PDIP Januari 2017 lalu. Kala itu ia menyebut ada pemimpin kelompok yang menganut ideologi tertutup, memosisikan diri mereka sebagai pembawa self-fulfilling prophecy, para peramal masa depan.
"Mereka dengan fasih meramalkan yang pasti akan terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, padahal, notabene mereka sendiri belum tentu melihatnya." Begitu katanya.
Banyak yang menduga apa yang dimaksud Megawati itu adalah ajaran rukun imam yang diyakini umat Islam, yakni percaya terhadap hari akhir. Kata-kata itu dinilai telah menyakiti perasaan umat Islam, sehingga sejumlah orang melaporkan Megawati ke polisi dan mendesak kasus ini diusut.
Salah satunya adalah Baharuzaman, humas LSM Aliansi Anak Bangsa Gerakan Anti-Penodaan Agama. Laporan Baharuzaman diterima Bareskrim Polri dengan nomor polisi: LP/79/I/2017/Bareskrim pada Senin (23/1/2017). Dalam laporan itu, Megawati diduga telah melanggar pasal 156 dan 156 (a) KUHP tentang penodaan agama.
Pada hari yang sama, sejumlah orang di Padang, Sumatera Barat, yang tergabung dalam Forum Masyarakat Minang (FMM), mendesak polisi segara menangkap Megawati. Pasalnya, pidato putri proklamator itu berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Meski dia merupakan pemimpin partai berkuasa, tetapi FMM meminta polisi harus berani memproses. Menurut mereka, rakyat tidak butuh pemimpin seperti itu, yang suka menimbulkan perpecahan dan membenturkan umat Islam dengan kelompok atau partai politik tertentu.
Namun apa dikata, namanya juga sedang berkuasa, polisi pun tidak berani mengusiknya. Megawati melenggang bebas dari konsekuensi ucapannya yang telah melukai hati sebagian besar rakyat Indonesia. Memang hal ini sudah bisa diduga sejak awal.