Partai Nasdem kembali mendapat sorotan. Untuk kesekian kalinya, partai politik besutan Surya Paloh ini diduga memanfaatkan Kejaksaan Agung, lembaga yang dipimpin oleh mantan kadernya, Mohammad Prasetyo, untuk tujuan politik. Entah benar atau tidak, yang jelas, sudah silih berganti parpol mengajukan keberatan terkait dugaan ini.
Di penghujung tahun 2017 lalu, PDI Perjuangan mengaku sudah menjadi korban politik Kejaksaan Agung jelang pemilihan kepala daerah. Modusnya, jaksa menjerat calon kepala daerah yang diusung parpol berlambang banteng ini.
Ketua DPP PDIP Bidang Hukum dan HAM Trimedya Pandjaitan mengakui Kejaksaan telah memanfaatkan intelijen untuk mencari kesalahan calon-calon kepala daerah dari PDIP. Hal itu terbukti dari sejumlah kader PDIP yang menjadi kepala daerah yang ditekan oleh Kejaksaan.
Hal serupa juga dialami parpol lain, seperti Golkar dan Demokrat. Karena itu, banyak petahana kepala daerah dari parpol tersebut yang 'lompat pagar' ke Nasdem, agar selamat dari jeratan persoalan hukum di Kejaksaan.
Dugaan politisasi hukum oleh Kejaksaan ini sebenarnya juga pernah dibeberkan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Emil, sapaan akrabnya, menceritakan alasan kenapa ia menerima pinangan Nasdem untuk diusung dalam pilkada.
Menurut dia, permintaan itu terpaksa dipenuhi, karena Nasdem memiliki media, televisi, surat kabar dan media online, serta Kejaksaan. Jika ditolak, akan lebih banyak mudharotnya. Secara tersirat, Emil hendak mengatakan jika salah satu senjata yang dimiliki Nasdem adalah Kejaksaan.
Politisasi Kejaksaan ini sudah pernah disampaikan langsung ke Jaksa Agung dalam rapat kerja di Komisi III DPR. Namun, Prasetyo membantahnya. Ia mengaku tidak pernah tebang pilih ataupun melakukan politisasi dalam penegakan hukum suatu perkara.
Meski begitu, protes dari parpol tetap saja masih terjadi. Baru-baru ini, Demokrat kembali merasa kadernya dibajak Nasdem, yakni Ketua DPD Demokrat Sulawesi Utara, Vicky Lumentut. Pembajakan itu diduga dilakukan dengan memanfaatkan instansi Kejaksaan.
Tuduhan itu bukan tanpa dasar. Vicky yang merupakan Wali Kota Manado, saat ini tengah tersandung tindak pidana korupsi bantuan penanganan banjir di Manado tahun 2014. Kasusnya ditangani Kejaksaan Agung.
Ketika ia tiba-tiba bergabung dengan Nasdem, sulit untuk tidak menduga hal tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan kasus hukum yang tengah menderanya.
Apalagi, Wasekjen Demokrat, Andi Arief, langsung menuding kepindahan Vicky itu akibat ada tekanan dari Kejaksaan Agung. Ia bahkan menyebut jaksa Agung telah melakukan abuse of power, dan menggelari Prasetyo sebagai ketua DPD Nasdem Provinsi Kejaksaan.
Jika semua tuduhan ini benar adanya, maka sudah menjadi keharusan Prasetyo untuk secepatnya diganti. Kejaksaan harus kembali dibersihkan dari ambisi politik yang berujung kepada perilaku koruptif.
Ke depan, Presiden jangan pernah lagi memilih seorang politikus untuk menduduki jabatan pimpinan lembaga penegakan hukum. Sebab institusi hukum tidak boleh bertransformasi menjadi kendaraan politik. Karena jika itu dibiarkan terjadi, maka negara ini akan berada di ambang kehancuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H