"Hana, bantu tante untuk menepati janji tante!" Wanita berkerudung biru itu memohon padaku.Â
Haruskah aku menerimanya? Atau menolaknya?. Aku bimbang. Di umurku yang baru saja masuk 20 tahun pada bulan juni lalu, aku belum berfikir untuk menikah.Â
"Hufftt." Kuhela nafas panjang. Setelahnya aku menatap semua orang yang berada di ruang tamu satu persatu.Â
"Bismillah, aku mau," jawabku setelah menimbang-nimbang.Â
Semua orang nampak bahagia begitu tau keputusanku. Raut tegang yang sedari tadi menyelimuti wajah mereka, sirna sudah, tergantikan dengan raut bahagia.Â
"Terima kasih, Na," ucap Tante Qila sembari memelukku erat.Â
"Sama-sama Tan."
Setelah itu, aku di pakaikan cincin oleh Tante Qila. Katanya sebagai pertanda dan pengikat, bahwa aku sudah di lamar oleh seseorang.Â
"Ayo kita bahas tanggal pernikahannya," seru seorang lelaki berperut buncit, yang nampak sangat bersemangat sedari awal aku melihatnya.Â
"Ayo," timpal Bapak.Â
Para tetua desa langsung berunding menentukan tanggal pernikahanku dengan Agha, anak Tante Qila, yang entah seperti apa rupanya, aku belum pernah melihatnya.Â