"Ya sudah kalau gitu, aku main sama Nanda aja," timpal Nia pada akhirnya. Arin tidak peduli, baginya, yang paling penting adalah membantu sang nenek mencari kayu bakar dan menjaga adiknya.Â
Kaki mereka terus melangkah meninggalkan sekolah, hingga kini mereka telah sampai di gubug bambu yang ada di ujung jalan.Â
"Aku duluan, Ni," ucap Arin sambil melangkah mendekati gubug itu. Nia mengangguk, kemudian berlalu menuju sang ibu yang sudah menunggu di atas motor. Ia naik ke atas motor. Mereka pun pergi.Â
Langkah Arin terhenti, matanya menatap gubug bambu yang sudah reot dan terdapat banyak lubang yang bisa dilalui kucing. Atapnya yang terbuat dari genteng juga sudah berlubang di mana-mana, sehingga setiap hujan datang, Arin, adiknya, dan sang nenek akan tidur berhimpitan dengan ember penadah air hujan.Â
"Nia!" panggil Arin. Tak mendapat jawaban, Arin mendekati Nia yang sedang berkumpul bersama teman-temannya.Â
"Ngapain kamu ke sini, sih Rin? Udah sana, kamu main aja sama Bila!! Kan rumah kalian sama-sama gubug reot, tuh," ujar Nia, membuat tawa teman-temanya pecah.Â
Arin terdiam, hatinya perih mendapat ucapan pedas dari sahabatnya. Dia tak menyangka teman yang selama ini sudah dianggap keluarga, bisa mengucapkan kata-kata sepedas itu.Â
"Udah lemot, miskin lagi," lanjut Nia. Arin memang sedikit lemot dalam memahami pelajaran, daripada Nia.Â
Arin semakin tertunduk dalam. Matanya mulai memanas, akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya.Â
"Mba Arin," panggilan dari sang adik, membuat Arin tersadar dari lamunan masa lalu.Â
Yap, benar. Itu adalah kali pertama, Arin mendengar hinaan serta cacian yang dilontarkan oleh sahabatnya. Setelah hari itu, Arin sudah kebal mendengar kata-kata yang sama, yang diucapkan oleh teman-teman lainnya.Â