Mohon tunggu...
Robby Milana
Robby Milana Mohon Tunggu... -

Pihak kelurahan mencetak KTP saya dengan nama lengkap Robby Milana. Saya benar2 cuma orang biasa aja. Orang bilang, akar rumput. Saya gemar membaca, menulis, mendengar, dikritik dan menelaah apa saja yg singgah di indera-indera tubuh saya. Tidak ada hal yg istimewa dlm diri saya, kecuali saya selalu merasa gelisah menjadi warga Indonesia yg ingin negerinya selalu dihargai negara lain karena kualitas, bukan karena "gaya"-nya.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ilahi yang Ditinggalkan

18 Maret 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Judul asli tulisan ini adalah "Allah", ditulis oleh Goenawan Mohamad.

ORANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Maka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbataskan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai --jika kita pakai kiasan hari ini-- seraut pohon bonsai.

Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung.

Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran.

Di hadapan Firaun, begitulah dikisahkan, Musa memberi jawab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, "Dan apakah Tuhan alam dunia itu?" Pertanyaan itu, "Ma rabbu al-alamina?", cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban Musa justru berbeda dan sangat kena.Musa hanya mengatakan bahwa "Tuhan" adalah "Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari segala yang ada di antaranya."
Musa tak memberikan sebuah definisi, sebab Tuhan yang didefinisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi rapat-rapat dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsi --atau lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu kesimpulan. Kita bisa menafsirkannya sebagai usaha untuk menunjukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang hadir di ufuk Timur, di mana cahaya bersinar, dan juga di arah Barat, tempat gelap berangkat. Dengan kata lain: Tuhan adalah Rabb-i : "Pemilik," "Tuan," dan "Pengasuh" --dari segalanya: dari yang tampak dan tak tampak, dari yang bersama terang dan yang menemui kelam.

Itu sebabnya Ia "Esa." Di sini, "Esa" --yang dalam bahasa Indonesia ditambahi dengan kata "Maha" --berbeda dari "satu." "Satu" adalah sebuah bilangan, sementara yang ilahiah tak dapat dihitung. Ia bukan seperti bulan dan matahari.

Ia bukan juga Tuhan dalam Also Sprach Zarathustra: Tuhan yang digambarkan Nietzsche sebagai sosok "tua berjanggut muram" yang "cemburu" dan berkata, "Hanya ada satu Tuhan! Kalian tak boleh punya tuhan lain selain aku!" Dalam Zarathustra, setelah pernyataan itu diucapkan, tuhan-tuhan lain pun mati --bukan karena dibinasakan, tapi karena tertawa geli.

Bagi saya, karikatur Nietzsche ini tak bisa menangkap sikap mereka yang hanif, yang percaya bahwa Ilahi adalah tunggal. Kaum monotheis tak datang untuk mengurangi jumlah. Mereka tak hendak meringkas persoalan. Justru sebaliknya. Yang Maha-agung adalah tunggal karena Ia begitu akbar dan sulit diutarakan. Ia adalah dasar dan juga sumber dari sebuah daya yang menggetarkan --sebuah daya yang menyebabkan segala hal muncul ke dalam terang, "ada."

Siapa saja yang tergetar oleh daya itu dan mencoba menyebut sumber yang ada di baliknya dengan sebuah nama, dengan sebuah kata, ia akan merasa tak sanggup. Chairil Anwar mengeluh dalam sebuah sajak yang ia beri nama Doa: "Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh."

"Kau" yang "penuh seluruh" itu tak mungkin Tuhan yang diperkecil. Ibn 'Arabi, sufi dan pemikir besar Spanyol pada abad ke-12, menyebutnya sebagai "Yang Mutlak" (haqq). Artinya, "Yang paling tak dapat ditentukan dari semua yang tak dapat ditentukan," "ankar al-nakirat."  Ia gaib segaib-gaibnya, Ia "Yang paling tak dapat diketahui dari semua yang tak diketahui." Ia tak dapat diketahui karena Ia melampaui semua kualifikasi yang berlaku di dunia manusia.

Tapi manusia sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Kadang-kadang mereka perlakukan Tuhan sebagai penguasa dalam sebuah wilayah, raja dengan batas yg tegas. Kini banyak yang mengira bahwa ketika Quran turun dan menyebut nama itu, "Allah," Islam hendak memperkenalkan sesosok tuhan lagi ke dalam pantheon yang telah sesak.

Seakan-akan "Allah" bukanlah nama yang dipakai oleh orang Arab di zaman pra-Islam, baik yang jahiliah maupun yang hanif, baik yang politheistis maupun yang Kristen. Seakan-akan "Allah" semata-mata Tuhan-orang-Islam yang bertakhta di sebuah kerajaan yang beradat-istiadat tersendiri.

"Tuhan mereka berbeda dengan Tuhan kami," kata kaum Fundamentalis Kristen yang melihat dunia Islam dengan waswas. Seakan-akan Tuhan-orang-Kristen, Tuhan-orang-Yahudi, dan sederet tuhan yang lain, bersaing --persis seperti Tuhan yang cemburu dalam sajak Zarathustra.

Mungkin sebab itu para rasul perlu datang lagi. Tapi bisakah? Saya coba renungkan lagi Fusus al-Hikam (ditulis pada tahun 1229), melalui Sufism and Taoism, uraian yang tekun dan terang dari Toshihiko Izutsu, ilmuwan Jepang yang jadi penafsir utama Ibn 'Arabi.

Saya kini kian tahu kenapa Tuhan adalah Yang Mutlak. Tapi kita agaknya hidup di dunia yang dikuasai oleh ahl 'aql wa-taqyid wa-hasr, mereka yang mendekati Yang Gaib seraya mengikat, membatasi, dan mengekang. Tuhan pun diperkecil.

Pada akhirnya Ia hanya Ilahi yang ditinggalkan.

Tuhan yang seperti itu hadir di mana-mana, tapi seakan-akan variasi dari sebuah patung polisi lalu lintas: sesosok berhala di tepi jalan, untuk mengingatkan, menakut-nakuti, mengawasi. Tuhan bukan lagi sumber dari rahmah al-imtinan' yang dilukiskan Ibn 'Arabi: rahmat yang menjangkau siapa saja dan apa saja tanpa mengharapkan apa saja --rahmat yang bahkan bukan sebagai pahala bagi mereka yang berbuat baik.

Dengan Tuhan yang tanpa rahmat seperti itu, kita pun hidup di masa yang ditandai Fehl Gottes: "gagalnya Tuhan datang," kata Heidegger. Meskipun nama-Nya disebut terus-menerus, "dunia telah menjadi tanpa penyembuhan, tak suci." Sebaris sajak Chairil mungkin mengungkapkan hal itu: "Caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di malam hari."

Adakah di sini kita berbicara tentang sekularisme? Saya kira tidak. Mungkin kita justru berbicara tentang suasana ketika "Yang suci" telah jadi banal, ketika "Yang kudus" diletakkan sebagai rutin hidup sehari-hari, dan mengurus tetek-bengeknya. Pada saat itu memang "Tuhan" ramai-ramai dipasarkan dan dipamerkan. Tapi ia diletakkan di sebuah kotak, seperti seraut pohon bonsai.

Repost tulisan lama Goenawan Mohamad. Pernah terbit pada 2 November 2003. Repost ini cuma sbg "dokumentasi" pribadi saya akan ketertarikan pd tulisan ini. Tulisan yg bukan hanya sarat makna dan menarik, namun jg mencengangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun