Judul asli tulisan ini adalah "Allah", ditulis oleh Goenawan Mohamad.
ORANG sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Maka berabad-abad yang lalu, di kota-kota yang berbataskan gurun, di mana langit luas dan malam dihuni cerita dan rahasia, para rasul datang memperingatkan. Mereka mengecam berhala. Mereka mengecam doa yang membayangkan Tuhan sebagai --jika kita pakai kiasan hari ini-- seraut pohon bonsai.
Berhala atau bonsai: sesuatu yang memikat justru karena diletakkan di sebuah kotak yang tetap, seakan-akan hidup, tapi sebenarnya hanya Tuhan yang diperkecil oleh manusia, sesembahan yang jauh dari hakikat Dia yang maha-agung.
Orang-orang muslim punya sebuah cerita dari Quran.
Di hadapan Firaun, begitulah dikisahkan, Musa memberi jawab yang tak diharapkan ketika raja Mesir itu bertanya, "Dan apakah Tuhan alam dunia itu?" Pertanyaan itu, "Ma rabbu al-alamina?", cenderung menantikan sebuah definisi. Tapi jawaban Musa justru berbeda dan sangat kena.Musa hanya mengatakan bahwa "Tuhan" adalah "Tuhan dari Timur dan dari Barat, dan dari segala yang ada di antaranya."
Musa tak memberikan sebuah definisi, sebab Tuhan yang didefinisikan sama halnya dengan Tuhan yang dibatasi rapat-rapat dalam bahasa. Jawaban Musa sebenarnya sebuah deskripsi --atau lebih tepat, sebuah penggambaran yang tak berakhir di satu kesimpulan. Kita bisa menafsirkannya sebagai usaha untuk menunjukkan, dengan kiasan, bahwa Tuhan adalah keagungan yang hadir di ufuk Timur, di mana cahaya bersinar, dan juga di arah Barat, tempat gelap berangkat. Dengan kata lain: Tuhan adalah Rabb-i : "Pemilik," "Tuan," dan "Pengasuh" --dari segalanya: dari yang tampak dan tak tampak, dari yang bersama terang dan yang menemui kelam.
Itu sebabnya Ia "Esa." Di sini, "Esa" --yang dalam bahasa Indonesia ditambahi dengan kata "Maha" --berbeda dari "satu." "Satu" adalah sebuah bilangan, sementara yang ilahiah tak dapat dihitung. Ia bukan seperti bulan dan matahari.
Ia bukan juga Tuhan dalam Also Sprach Zarathustra: Tuhan yang digambarkan Nietzsche sebagai sosok "tua berjanggut muram" yang "cemburu" dan berkata, "Hanya ada satu Tuhan! Kalian tak boleh punya tuhan lain selain aku!" Dalam Zarathustra, setelah pernyataan itu diucapkan, tuhan-tuhan lain pun mati --bukan karena dibinasakan, tapi karena tertawa geli.
Bagi saya, karikatur Nietzsche ini tak bisa menangkap sikap mereka yang hanif, yang percaya bahwa Ilahi adalah tunggal. Kaum monotheis tak datang untuk mengurangi jumlah. Mereka tak hendak meringkas persoalan. Justru sebaliknya. Yang Maha-agung adalah tunggal karena Ia begitu akbar dan sulit diutarakan. Ia adalah dasar dan juga sumber dari sebuah daya yang menggetarkan --sebuah daya yang menyebabkan segala hal muncul ke dalam terang, "ada."
Siapa saja yang tergetar oleh daya itu dan mencoba menyebut sumber yang ada di baliknya dengan sebuah nama, dengan sebuah kata, ia akan merasa tak sanggup. Chairil Anwar mengeluh dalam sebuah sajak yang ia beri nama Doa: "Betapa susah sungguh, mengingat Kau penuh seluruh."
"Kau" yang "penuh seluruh" itu tak mungkin Tuhan yang diperkecil. Ibn 'Arabi, sufi dan pemikir besar Spanyol pada abad ke-12, menyebutnya sebagai "Yang Mutlak" (haqq). Artinya, "Yang paling tak dapat ditentukan dari semua yang tak dapat ditentukan," "ankar al-nakirat."Â Ia gaib segaib-gaibnya, Ia "Yang paling tak dapat diketahui dari semua yang tak diketahui." Ia tak dapat diketahui karena Ia melampaui semua kualifikasi yang berlaku di dunia manusia.
Tapi manusia sering menyembah Tuhan yang diperkecil. Kadang-kadang mereka perlakukan Tuhan sebagai penguasa dalam sebuah wilayah, raja dengan batas yg tegas. Kini banyak yang mengira bahwa ketika Quran turun dan menyebut nama itu, "Allah," Islam hendak memperkenalkan sesosok tuhan lagi ke dalam pantheon yang telah sesak.