Jika situs Sikenteng berada di dukuh Bedagung, maka perjalanan selanjutnya kami mengunjungi dukuh Sijaha. Pedukuhan di desa Bedagung sendiri terdiri dari 3 dukuh, yaitu Bedagung, Sijaha dan Bulupitu.
 Sijaha berlokasi di ujung selatan desa berjarak 3,7 kilometer dengan dukuh Bedagung, dengan kondisi jalan yang lebih baik daripada jalan pertama masuk desa yang kami lalui.
 Nama Sijaha mengingatkan pada tanaman pohon Jaha (Terminalia Belrica), bisa jadi nama pedukuhan ini diambil dari pohon Jaha. Seperti dalam buku berjudul "Suta Naya Dhadap Waru" karya Iman Budhi Santoso, yang mengurai kedekatan manusia Jawa dengan dunia tumbuhan, sampai sifat dekat ini membuat orang Jawa menamai desanya dengan nama tumbuhan.
 Tak banyak rumah di dukuh Sijaha, mungkin sekitar 25an rumah saja, kami tak tahu pasti. Sesampai di Sijaha, warga antusias menceritakan apa-apa saja yang ada di sana, mulai dari mata pencaharian hingga air terjun yang potensial untuk digarap sebagai tempat wisata.
 Di bawah Masjid kami berbincang dengan warga, seseorang menunjuk ke arah timur di lereng gunung Lumping, terdapat rimbun nyiur pohon kelapa, dengan logat ngapak dia berkata "nah itu dukuh Bulupitu".
 Bulupitu adalah dukuh ketiga di desa Bedagung, letaknya paling menjorok kedalam sunyinya hutan di bawah perbukitan. Kabarnya jalan menuju kesana cukup ekstrem, walaupun kondisi jalannya telah halus.
 Kami mengurungkan niat untuk secara langsung datang ke Bulupitu, melihat matahari telah menggelincir ke barat, hanya dari cerita warga Sijaha kami mendapatkan gambaran dukuh Bulupitu.