Jalan terjal menanjak dengan aspal yang telah mengelupas yang membelah hutan adalah sambutan pertama ketika kami mengunjungi desa Bedagung, salah satu desa dibawah kecamatan Paninggaran kabupaten Pekalongan provinsi Jawa Tengah. Satu-satunya akses jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor adalah melalui gang di samping Tempat Penampungan Getah (TPG) Gondang.
 Walaupun sebenarnya lokasi desa Bedagung tidak terlampau jauh dari gang TPG Gondang yaitu sekitar 3 kilometer saja, akan tetapi kondisi jalan banyak mengalami kerusakan membuat pikiran was-was dan merasa "koq tidak sampai-sampai".
 Gapura selamat datang dengan balutan lumut menjadi penanda bahwa pemukiman telah dekat. Sesampainya di pemukiman, kami menuju sebuah situs budaya yang oleh warga dikenal sebagai Candi Watu Dandang atau Sikenteng. Perjalanan menuju Sikenteng hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki.
 Sepanjangan perjalanan dari kami memarkiran kendaraan menuju Sikenteng, banyak bangunan kandang milik warga, sesekali kami bertemu warga hilir mudik dari ladang.
 Sesampainya di sungai, kami melihat bangunan tak berdinding yang telah termakan usia dibawah pohon besar, Yap kami telah sampai di situs Sikenteng.
 Sikenteng adalah nama dari tempat yang agaknya disakralkan warga, nama ini kemungkinan diambil dari keberadaan 2 buah batu lumpang yang umum disebut sebagai " kenteng". Selain 2 buah lumpang, di situs ini juga dijumpai pipisan dan gandik.
Â
 Belum diketahui pasti berasal dari era mana benda-benda ini dibuat, yang pasti telah ada tinggalan kebudayaan di desa Bedagung ini. Bisa jadi wilayah desa Bedagung telah dihuni sejak masa lampau.
 Jika situs Sikenteng berada di dukuh Bedagung, maka perjalanan selanjutnya kami mengunjungi dukuh Sijaha. Pedukuhan di desa Bedagung sendiri terdiri dari 3 dukuh, yaitu Bedagung, Sijaha dan Bulupitu.
 Sijaha berlokasi di ujung selatan desa berjarak 3,7 kilometer dengan dukuh Bedagung, dengan kondisi jalan yang lebih baik daripada jalan pertama masuk desa yang kami lalui.
 Nama Sijaha mengingatkan pada tanaman pohon Jaha (Terminalia Belrica), bisa jadi nama pedukuhan ini diambil dari pohon Jaha. Seperti dalam buku berjudul "Suta Naya Dhadap Waru" karya Iman Budhi Santoso, yang mengurai kedekatan manusia Jawa dengan dunia tumbuhan, sampai sifat dekat ini membuat orang Jawa menamai desanya dengan nama tumbuhan.
 Tak banyak rumah di dukuh Sijaha, mungkin sekitar 25an rumah saja, kami tak tahu pasti. Sesampai di Sijaha, warga antusias menceritakan apa-apa saja yang ada di sana, mulai dari mata pencaharian hingga air terjun yang potensial untuk digarap sebagai tempat wisata.
 Di bawah Masjid kami berbincang dengan warga, seseorang menunjuk ke arah timur di lereng gunung Lumping, terdapat rimbun nyiur pohon kelapa, dengan logat ngapak dia berkata "nah itu dukuh Bulupitu".
 Bulupitu adalah dukuh ketiga di desa Bedagung, letaknya paling menjorok kedalam sunyinya hutan di bawah perbukitan. Kabarnya jalan menuju kesana cukup ekstrem, walaupun kondisi jalannya telah halus.
 Kami mengurungkan niat untuk secara langsung datang ke Bulupitu, melihat matahari telah menggelincir ke barat, hanya dari cerita warga Sijaha kami mendapatkan gambaran dukuh Bulupitu.
 Ibarat emas yang masih terkungkung dalam bebatuan, itulah desa Bedagung. Bentang alamnya tak kalah dengan panorama di negara Selandia Baru maupun Switzerland.
 Pun budayanya, dimana di Bedagung terdapat tradisi cukur rambut bajang, yang jika dilihat sekilas mirip dengan tradisi cukur rambut gimbal di Dieng yang setiap tahunnya berhasil memikat ribuan wisatawan untuk menyaksikannya.
 Tentu saja yang paling kami harapkan adalah perbaikan akses jalan menuju desa Bedagung, karena sebagus apapun sebuah wisata, tanpa aksesibilitas yang layak, tak akan dilirik oleh calon wisatawan.
 Semoga desa ini tetap lestari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI