Pagi-pagi sekali. Aku naik bus kota menuju rumah ibu dan memilih bangku di sisi kiri baris ketiga dari pintu depan. Mengambil posisi dekat jendela. Kondisi bus yang tak terlalu ramai membuat celoteh-celoteh penumpang lain dengan leluasa menghujani telingaku.
Sepasang remaja putri belasan yang duduk tepat di seberang bangkuku, asyik bercakap-cakap perihal kisah cinta remaja yang tak direstui orang tua karena ibu tiri dari si tokoh wanita adalah mantan kekasih si tokoh pria —kekasihnya.
“Aku kalau jadi dia, mending kabur dari rumah!” celetuk salah seorang remaja putri tersebut yang kemudian hanya disusul manggut-manggut dari teman bicaranya.
Obrolan berlanjut. Tetapi, aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan selanjutnya karena segerombolan ibu-ibu yang duduk tepat di depanku heboh berceloteh tentang seorang haji yang melakukan kebaikan karena ingin dipuji, karena ingin pamer. Kalau aku tidak salah dengar, salah seorang dari ibu-ibu tersebut berbicara dengan nada jengkel.
“Haji kok begitu! Ndak berkah!” begitu kira-kira.
Pandanganku beralih ke seorang perempuan muda yang baru saja naik dan duduk tepat di depan dua remaja putri tadi. Ia berdandan menor sehingga membuatnya terlihat lebih tua dari umurnya sekarang. Ia sibuk dengan ponsel di telinganya dan berbicara begitu keras karena berlomba dengan suara berisik bus, kernet bus, dan penumpang lainnya.
“Aku akan duduk paling depan. Berdandang ala puteri kerajaan. Dan memakai gaun yang sudah kusiapkan dari rumah, Pak!” ucapnya dengan gesture anak muda jaman sekarang.
“Pokoknya, sebisa mungkin aku akan duduk di tempat yang selalu tersorot kamera. Lumayan, Pak. Acaranya enam jam lebih! Live lagi!” lanjutnya antusias.
“Ongkos, dek!” suara kernet bus disusul nada receh di genggaman tangannya mengagetkanku. Aku menyerahkan beberapa lembar uang. Tanpa menjawab kernet tersebut beralih ke penumpang lain.
Bus berhenti di sebuah halte. Aku melihat ke luar jendela. Kulihat ada lima orang pelajar sekolah dasar yang sedang asyik mengobrol dan obrolan mereka terhenti karena bus datang. Tiga anak naik ke bus dan dua anak lainnya tetap tinggal di halte. Mungkin mereka bersekolah di tempat yang berbeda, terlihat dari seragam sekolah yang mereka kenakan.
“Nanti malam ke rumahku, ya! Episode terakhir, lho. Kita nonton bareng!” teriak salah seorang anak yang berada di halte ke arah tiga temannya yang sedang naik bus kota.
“Oke!” kompak mereka menjawab.
Salah seorang dari mereka memilih duduk di sebelahku dan dua lainnya di bangku tepat di belakangku.
“Menurutku, si wanita nanti jadi serigala, deh,” ucap anak yang duduk di sampingku.
“Enggak, ah. Menurutku jadi vampire, deh, bukan serigala,” timpal anak yang lain.
Perdebatan mereka tentang vampire dan serigala berlanjut hingga bus sampai ke tempat tujuan mereka. Sedikit banyak aku mendengar percakapan mereka tadi. Bahwa ada keluarga vampire yang bersekolah di sekolah manusia, dan di sekolah tersebut juga terdapat siluman serigala yang menjadi musuh vampire-vampire tersebut. Mereka berlomba untuk mendapatkan darah suci manusia biasa. Dan seterusnya… dan seterusnya…
Sayup-sayup kudengar ada cerita lain yang menggema di badan bus yang sudah penuh sesak oleh celoteh-celoteh yang tak kumengerti. Seorang nenek, yang belum terlalu tua —kira-kira cucunya baru dua, yang berbicara dengan teman sebayanya di bangku paling belakang. Mereka berceloteh tentang seorang anak pembantu yang bersahabat dengan anak majikannya. Mereka bersahabat hingga dewasa, namun persahabatan mereka terpecah belah karena cinta segitiga. Hingga masing-masing dari mereka memiliki anak, dan masalah demi masalah terus saja muncul.
Aku menepuk-nepuk dada.
Sudah 45 menit aku berada di dalam bus ini tanpa berbicara. Hanya mendengar cerita-cerita yang sama sekali tak kupahami. Aku memang selalu kesepian. Tak ada teman cerita. Ingin rasanya bercakap-cakap namun tak tahu timpalan apa yang harus kulontarkan. Paling-paling aku hanya membaca buku atau tidur. Namun, saat ini aku sedang tak punya koleksi buku baru dan tak sedang mengantuk. Toh, 30 menit lagi aku sampai ke tempat tujuanku. Kuputuskan untuk mengambil headset dari dalam tas dan memasangnya di kedua telingaku. Kuputar musik-musik klasik agar aku bisa sedikit tenang setelah mendengar celoteh tak masuk akal yang membuatku merasa kesepian.
Aku sengaja mengambil cuti kerja untuk pulang ke rumah ibu. Alasannya sederhana. Aku tak suka bepergian jauh saat weekend. Aku tak suka macet. Aku ingin secepatnya bertemu ibu untuk sekadar mengobrol, untuk sekadar tak merasa kesepian.
Bus berhenti di halte yang sudah amat kuhafal. Rumahku tak jauh dari halte dan aku biasa berjalan kaki untuk sampai ke sana.
Tok tok tok.
Ibu membuka pintu, “Lho, sudah sampai. Sini-sini, Nduk, Ibu sudah masak makanan kesukaanmu.”
“Iya, Bu. Ndak macet, jadi bisa cepat-cepat ketemu Ibu,” ucapku setelah mencium tangan Ibu, “Sudah ndak sabar pengen makan masakan Ibu yang ngangenin,” aku menyempurnakan.
Seperti biasa, kami makan berdua. Suara gesekan piring dan sendok mengiringi acara makan kami, ditambah suara televisi yang memang dibiarkan menyala.
“Itu lho, Nduk. Kasihan. Dia itu tinggal di rumah mertuanya. Mertuanya jahat sekali, ndak ada yang sayang sama dia di rumah itu…”
Tolong, aku benar-benar kesepian.
Kuwasen Rejo, 6 Mei 2016
Jumat pagi, Jumat legi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H