Mohon tunggu...
Reski Suci Utami
Reski Suci Utami Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister

Hobi: Menyanyi, Masak, Membaca

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Masyarakat dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

2 November 2024   22:06 Diperbarui: 2 November 2024   22:21 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini berita terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin marak terjadi baik berita dari media cetak maupun dari media online seperti Instagram, TikTok, Facebook, maupun Twitter. Mulai dari kekerasan yang dilakukan kepada anak, istri, maupun orang tua kandung. Kekerasan yang dilakukan bisa bermacam-macam seperti kekerasan verbal dan non verbal. 

Dan kekerasan dalam bentuk apapun yang dilakukan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, yang dapat dijerat tindak pidana.

Korban KDRT merupakan orang yang mendapat perlakuan buruk, baik secara ancaman maupun kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga. Sehingga KDRT ini bukan hanya kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri saja melainkan juga bisa dari istri kepada suami, orang tua kepada anak, bahkan anak kepada orang tua.

Sebenarnya apa siih yang dimaksud Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT itu?

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan tindakan kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga. 

Kejadian ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 1 (3) tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). UU PKDRT mengatur berbagai bentuk kekerasan, di antaranya: Kekerasan fisik, Kekerasan psikis, Kekerasan seksual, Penelantaran rumah tangga.

Sedangkan menurut Walker (2009), kekerasan dalam konteks hubungan, sebagai pola perilaku yang digunakan oleh satu pasangan untuk mengendalikan atau menguasai pasangan lainnya. Walker menyoroti bahwa kekerasan ini tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga emosional, psikologis, dan seksual. Walker juga menjelaskan terkait siklus kekerasan yaitu, (1) ketegangan yang meningkat, sering kali disertai oleh intimidasi. 

(2) kekerasan, pada fase ini terjadi tindakan kekerasan fisik atau emosional yang nyata. (3) jangka tenang atau penyelesaian, setelah kekerasan terjadi pelaku sering kali merasakan penyesalan yaitu dengan memberikan janji untuk berubah, dan menciptakan situasi yang tampaknya normal Kembali.

Kekerasan terjadi karena karena masih banyak suami yang masih belum memahami terkait hak dan kewajibannya sebagai kepala keluraga dimana suami seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi istri maupun anak-anaknya. Istri sering kali dianggap sebagai "objek" sehingga seharusnya suami yang berfungsi sebagai kepala keluarga justru bersikap jauh dari harapan keluarganya.

Seperti yang kita ketahuai bahwa KDRT akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia, banyak penyebab yang melatar belakangi terjadinya KDRT. Dan sudah banyak juga upaya-upaya yang dilakukan, tetapi banyak pula kendala yang dihadapi dalam upaya penanganan tersebut sehingga penanganan KDRT ini  mengalami beberapa kendala untuk diminimalisir. 

KDRT di Indonesia adalah isu yang serius dan memerlukan perhatian kolektif dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah. Upaya yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi terjadinya KDRT. Berikut beberapa teori terkait KDRT dari beberapa tokoh.

Hamberger (2004) membahas bahwa domestic abuse (kekerasan dalam rumah tangga) sebagai pola perilaku yang digunakan oleh satu pasangan untuk mengendalikan atau mendominasi pasangan lainnya. Pada buku ini juga dijelaskan bahawa kekerasan dalam rumah tangga bentuknya bisa bermacam-macam seperti, (1) kekerasan fisik yaitu tindakan yang melibatkan serangan fisik, seperti pemukulan, penendangan, atau penggunaan senjata. 

(2) kekerasan emosional yaitu tindakan yang merugikan kesehatan mental dan emosional pasangan, seperti penghinaan, manipulasi, dan intimidasi. 

(3) kekerasan seksual yaitu perilaku yang melibatkan paksaan atau pemaksaan dalam konteks hubungan seksual tanpa persetujuan. (4) kekerasan ekonomi yaitu kontrol terhadap sumber daya finansial pasangan, seperti mencegah mereka mengakses uang atau bekerja.

Smith (2014) mengeksplorasi bagaimana kekerasan dalam rumah tangga sering kali berkaitan dengan dinamika kekuasaan. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terkait dengan upaya untuk mempertahankan kontrol dan dominasi dalam hubungan, di mana pelaku menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan pasangan.

Dari teori diatas, seharusnya keluarga adalah tempat untuk kita bisa diberikan rasa nyaman dan aman, namun ternyata masih banyak orang yang justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dimana masalah sosial ini termasuk masalah yang ranahnya pribadi bukan untuk konsumsi publik. 

Karena alasan inilah yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa mereka tidak bisa ikut campur dalam urusan KDRT, padahal hal ini sudah masuk ranah hukum sehingga memerlukan sikap yang bijaksana dari lingkungan masyarakat untuk mengontrol masalah KDRT tersebut.

Salah satu yang menyebabkan KDRT terus terjadi adalah karena kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang apa itu KDRT dan bagaimana bentuk-bentuk KDRT. Selama ini masyarakat menganggap bahwa KDRT adalah perbuatan yang dilakukan secara fisik saja, padahal KDRT juga bermacam-macam bentuknya seperti kekerasan emosional, verbal, finansial atau ekonomi. 

Pada kekerasan emosional ini korban di manipulasi, dihina, dan dikucilkan sehingga menyebabkan luka psikologis dan trauma sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya.

Di Indonesia sendiri kasus KDRT ini menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami kekerasan dalam hubungan mereka, baik dari pasangan maupun anggota keluarga lainnya. Dan kemungkinan masih bisa lebih tinggi lagi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan. 

Alasan mengapa korban KDRT tidak berani melaporkan antara lain: 1) rasa takut akan konsekuensi, kemungkinan pelaku takut akan konsekuensi yang dihadapi seperti takut akan dipenjara dan kehilangan hak asuh anak, 2) control dan manipulasi, pelaku mungkin menggunakan kontrol psikologis terhadap pasangan mereka, seperti memberikan ancaman agar korban takut  untuk melapor. 

Selain itu pelaku juga dapat memanipulasi situasi sehingga korban merasa bersalah, 3) saling ketergantungan, dimana korban merasa bergantung secara emosi atau finansial, 4) minimnya dukungan dari lingkungan, ketidak mendukungan lingkungan atau komunitas dalam melaporkan kejadian KDRT, sehingga tidak ada tempat untuk keluh kesah yang dicurahkan oleh korban, 5) ketidakberdayaan, kemungkinan beberapa pelaku merasa bahwa jika melaporkan kejadian KDRT ini akan semakin memperburuk keadaan sehingga mereka lebih memilih diam.

Menurut saya, peranan masyarakat dalam mencegah terjadinya KDRT sangat penting untuk mengurangi terjadinya KDRT dalam suatu keluarga. Ada beberapa peran masyarakat dalam mencegahan KDRT, yaitu:

  • Meningkatkan kesadaran, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran terkait apa itu KDRT dan apa saja bentuk-bentuknya. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mengikuti sosialisasi maupun edukasi.

  • Membangun norma sosial, masyarakat perlu bersama-sama membentuk atau menciptakan norma sosial yang menolak segala bentuk kekerasan seperti KDRT. Dengan demikian pelaku KDRT akan berfikir dua kali sebelum melakukan kekerasan.

  • Mendukung korban, masyarakat perlu untuk mendukung korban. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan rasa aman kepada korban seperti memberikan tempat tinggal sementara atau sekedar mendengarkan keluh kesah mereka.

  • Melaporkan kejadian, masyarakat harus segera melaporkan kepihak berwajib jika mengetahui adanya kasus KDRT.

Selain peran masyarakat dalam mencegah KDRT, ada juga peran masyarakat dalam penanganan KDRT, yaitu:

  • Memberikan bantuan pertama, yaitu masyarakat dapat memberikan bantuan secara medis jika korban mengalami luka-luka, memberikan tempat tinggal sementara, maupun membantu untuk melaporkan ke pihak berwajib.

  • Menjadi pendamping atau saksi, yaitu dengan mendampingi korban dalam proses hukum maupun proses psikis. Selain itu masyarakat juga dapat memberikan saksi kepada pihak berwajib agar korban merasa ada dukungan dari orang lain.

  • Membangun jaringan dukungan, masyarakat dapat membangun jaringan dukungan untuk para korban KDRT. Hal ini berfungsi sebagai fondasi yang kuat bagi korban untuk bangkit dari trauma psikis dan memulai hidup baru yang lebih baik. Sehingga dalam jaringan dukungan ini dapat memberikan tempat rasa aman kepada korban KDRT.

  • Berpartisipasi dalam program pencegahan, masyarakat bisa berpartisipasi dalam program-program yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun Lembaga swadaya masyarakat terkait pencegahan Kekerasan dalam rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun