KDRT di Indonesia adalah isu yang serius dan memerlukan perhatian kolektif dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintah. Upaya yang komprehensif dan berkelanjutan diperlukan untuk mengurangi terjadinya KDRT. Berikut beberapa teori terkait KDRT dari beberapa tokoh.
Hamberger (2004) membahas bahwa domestic abuse (kekerasan dalam rumah tangga) sebagai pola perilaku yang digunakan oleh satu pasangan untuk mengendalikan atau mendominasi pasangan lainnya. Pada buku ini juga dijelaskan bahawa kekerasan dalam rumah tangga bentuknya bisa bermacam-macam seperti, (1) kekerasan fisik yaitu tindakan yang melibatkan serangan fisik, seperti pemukulan, penendangan, atau penggunaan senjata.Â
(2) kekerasan emosional yaitu tindakan yang merugikan kesehatan mental dan emosional pasangan, seperti penghinaan, manipulasi, dan intimidasi.Â
(3) kekerasan seksual yaitu perilaku yang melibatkan paksaan atau pemaksaan dalam konteks hubungan seksual tanpa persetujuan. (4) kekerasan ekonomi yaitu kontrol terhadap sumber daya finansial pasangan, seperti mencegah mereka mengakses uang atau bekerja.
Smith (2014) mengeksplorasi bagaimana kekerasan dalam rumah tangga sering kali berkaitan dengan dinamika kekuasaan. Kekerasan dalam rumah tangga sering kali terkait dengan upaya untuk mempertahankan kontrol dan dominasi dalam hubungan, di mana pelaku menggunakan berbagai strategi untuk menundukkan pasangan.
Dari teori diatas, seharusnya keluarga adalah tempat untuk kita bisa diberikan rasa nyaman dan aman, namun ternyata masih banyak orang yang justru mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Dimana masalah sosial ini termasuk masalah yang ranahnya pribadi bukan untuk konsumsi publik.Â
Karena alasan inilah yang menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa mereka tidak bisa ikut campur dalam urusan KDRT, padahal hal ini sudah masuk ranah hukum sehingga memerlukan sikap yang bijaksana dari lingkungan masyarakat untuk mengontrol masalah KDRT tersebut.
Salah satu yang menyebabkan KDRT terus terjadi adalah karena kurangnya kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang apa itu KDRT dan bagaimana bentuk-bentuk KDRT. Selama ini masyarakat menganggap bahwa KDRT adalah perbuatan yang dilakukan secara fisik saja, padahal KDRT juga bermacam-macam bentuknya seperti kekerasan emosional, verbal, finansial atau ekonomi.Â
Pada kekerasan emosional ini korban di manipulasi, dihina, dan dikucilkan sehingga menyebabkan luka psikologis dan trauma sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyembuhkannya.
Di Indonesia sendiri kasus KDRT ini menunjukkan bahwa banyak perempuan mengalami kekerasan dalam hubungan mereka, baik dari pasangan maupun anggota keluarga lainnya. Dan kemungkinan masih bisa lebih tinggi lagi karena banyak kasus yang tidak dilaporkan.Â
Alasan mengapa korban KDRT tidak berani melaporkan antara lain: 1) rasa takut akan konsekuensi, kemungkinan pelaku takut akan konsekuensi yang dihadapi seperti takut akan dipenjara dan kehilangan hak asuh anak, 2) control dan manipulasi, pelaku mungkin menggunakan kontrol psikologis terhadap pasangan mereka, seperti memberikan ancaman agar korban takut  untuk melapor.Â