Februari merupakan bulan yang cukup istimewa dikalangan banyak orang, terutama anak-anak muda. Sebab pada bulan ini (tepatnya tanggal 14) dan sepanjang bulan inilah dunia merayakan hari valentine atau hari kasih sayang.Â
Berbagai peringatan, kegiatan, dan tradisi diadakan di seluruh dunia. Pada perayaan inilah biasanya seseorangan mengungkapkan kasih sayangnya kepada pasangannya melalui berbagai hadiah maupun Tindakan-tindakan yang bersifat romantis.
Tetapi dibalik hingar bingar peringatan akan kasih sayang yang terus dilakukan setiap tahunnya, dunia masih memiliki persoalan yang terus menerus muncul dan sepertinya masih akan tetap ada sepanjang kehidupan manusia. Masalah itu adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan dalam berelasi (yang belum terikat dalam rumah tangga).
Adanya peringatan akan kasih sayang yang dilakukan setiap tahunnya di hari valentine, bahkan ajaran-ajaran agama yang disampaikan di banyak kesempatan lain nyatanya tidak pernah cukup untuk membuat manusia terhindar dalam tindakan kekerasan dalam kehidupan berelasi yang seharusnya dan sewarjarnya dibentuk atas dasar cinta kasih. Jadi kenapa kekerasan ini masih bisa terjadi ketika hubungan terbentuk (Seharusnya) dalam dasar cinta kasih?
Jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya merupakan sebuah pertanyaan juga. Sudahkah kita yakin bahwa dalam hubungan yang kemudian terjadi kasus kekerasan itu benar-benar dilandasi atas dasar cinta kasih? Atau jangan-jangan semenjak awal hubungan sudah terbentuk atas hal yang keliru?
Ketika kita mau berefleksi atas bagaimana sebuah hubungan terbentuk, kenyataanya ada banyak faktor yang bisa memengaruhinya. Tidak semua bisa berjalan sesuai rencana. Contoh-contoh nyata seperti misalnya ketika seseorang dengan "terpaksa" menikah karena perjodohan oleh orang tua, atau ketika mereka (pasangan) terpaksa menikah karena terjadi kehamilan yang tak direncanakan. Dengan kasus-kasus seperti itu bukankah kemudian dasar relasi atau dasar ikatan pernikahan yang dibentuk menjadi bisa dipertanyakan?
Memang, awal yang "salah" tidak seharusnya kita nilai selamanya akan salah. Kita tidak bisa dan tidak sepatutnya menghakimi bahwa kekeliruan sedari awal tidak akan pernah bisa diperbaiki kedepannya.Â
Penulis yakin setiap kita beragama pasti setuju bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan ceritanya sendiri-sendiri, Tuhan pula yang kita yakin mengijinkan setiap kejadian terjadi. Pun kita pasti juga percaya Tuhan Maha pengampun, dan sangat mampu mengubah hidup manusia bahkan 180 derajat.
Akan tetapi mereka yang harus melakukan ikatan secara terpaksa oleh keadaan atau "kondisi yang tidak direncanakan" itu bukankah akan memiliki potensi lebih besar dibanding orang-orang yang menjalin hubungan secara "benar" untuk masuk pada kondisi yang tidak dikehendaki termasuk kemungkinan terjadinya kekerasan itu?
Kondisi itu bisa dianalogikan seperti ketika kita harus melakukan perjalanan panjang, pergi ke tempat yang jauh.Â
Ketika kita menjalaninya dengan sebelumnya melakukan Persiapan yang matang, pasti perjalanan akan berjalan dengan lancar dengan melalui rencana-rencana dan rute-rute yang sudah disiapkan sebelumnya.Â
Tetapi mereka yang harus berangkat secara mendadak, lebih besar kemungkinan ditengah jalan akan mengalami hambatan, entah itu barang tertinggal yang seharusnya dibawa, sampai mungkin bisa saja tersesat karena tidak mempersiapkan rute dan rencana perjalanan secara matang.
Balik lagi ke pembahasan. Relasi yang terbentuk dengan baik, melalui persiapan-persiapan matang, dengan kemantapan hati dan tentu saja didasari akan cinta kasih, penulis yakin kemungkinan dalam perjalanan hubungannya akan menghadapi hambatan terutama terkait kekerasan akan lebih kecil, bahkan tidak terjadi. Kasih menjadi syarat penting yang harus dimiliki kedua belah pihak untuk membangun relasi.
Penulis akan berbagi sedikit bagaimana sebuah "kasih" diartikan dan dihidupi. Arti "kasih" ini berasal dari kutipan ayat dalam Alkitab, namun penulis yakin kita semua bakal setuju dengan nilai-nilai ini (apapun kepercayaan anda). Kutipannya demikian:
"kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi ia bersukacita karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu."
Penulis yakin dalam kepercayaan lainnya, bagaimana kasih diartikan juga hampir sama, meskipun dengan Bahasa-bahasa yang sedikit (atau banyak) berbeda, tetapi secara prinsip penulis yakin pasti sama atau serupa. Melalui pengertian "kasih" yang penulis kutip diatas, jika kita merefleksikannya dengan baik kalimat per kalimat, dan ketika hal-hal itu diterapkan dalam hubungan, hampir tidak ada alasan seseorang harus dan sampai melakukan kekerasan terutama terhadap pasangan dan atau keluarganya.
Mari kita bedah sedikit dari pengertian kasih diatas dan menghubungkannya dengan kenapa kekerasan dalam rumah tangga bisa dihindari. Dalam kalimat yang pertama, kita mendapati bahwa ketika orang hidup dengan kasih, ia akan memiliki kesabaran, kemurahan hati, dan tidak cemburuan. Bukankah setidaknya dua dari tiga hal ini yang sering sekali jadi awal dari terjadinya kekerasan? Ketika orang tidak memiliki kesabaran dalam menghadapi masalah, perbedaan pendapat kecil dengan pasangan bisa jadi masalah besar. Pun juga sering terjadi karena ada kecemburuan yang berlebih kepada pasangan yang mungkin sebenarnya tidak melakukan apa-apa, terlalu overthinking kalau bahasa kerennya.
Dalam kalimat kedua dan ketiga tentang pengertian kasih, orang yang hidup dalam kasih sudah semestinya tidak memegahkan diri, tetap rendah hati (tidak sombong), menjadi orang yang sopan dan tidak akan berusaha menang sendiri. Ini juga sering jadi "minyak" dalam hubungan yang memicu api perselisihan, bahkan bisa melibatkan pihak lain seperti tetangga.Â
Kesombongan dan sifat yang selalu ingin dominan kepada pasangan sering kali membuat hal-hal yang dilakukan pasangan (yang pikirnya seharusnya dia yang melakukannya) bukan dianggap sebagai bantuan tetapi malah menjadi kesalahan bagi pasangannya, merasa kewenangannya dilangkahi dan berujung dalam pertengkaran.
Kalimat berikutnya dikatakan orang yang hidup dalam kasih tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (pendendam). Yang harus penulis garis bawahi disini adalah kata "pemarah". Tidak menjadi pemarah bukan berarti sama sekali tidak boleh marah ya.Â
Marah ketika menemukan hal yang menyimpang dari pasangan adalah wajar dan itu merupakan sebuah bentuk peringatan dan perhatian kepada pasangan untuk tidak semakin terjerumus dalam penyimpangannya. Tetapi menjadi pemarah berarti ketika sedikit-sedikit marah hanya karena menemukan hal-hal yang tidak sesuai kemauan atau ekspektasi dia.
Kemarahan berlebihan jelas jadi jalan awal masuknya tindak kekerasan. Ditambah lagi jika menjadi orang yang pendendam, satu hal yang terjadi bisa menjadi permasalahan berkali-kali karena terus menerus diungkit dan bisa jadi tindak kekerasan berulang karena "kekecewaan" berulang, meskipun sumber masalahnya hanya terjadi sekali. Karena tidak pernah bisa memaafkan, dia hanya akan berkutat pada masalah yang sama terus menerus, sia-sia kan ya waktu hidupnya.
Dalam pengertian berikutnya tentang kasih juga kita bisa belajar tentang apa yang harus jadi konsumsi pribadi kita dengan pasangan, tidak malah kita umbar ke orang lain yang juga sering jadi pemicu perselisihan, juga bagaimana supaya kita bisa saling memiliki kepercayaan, membangun harapan bersama, dan bagaimana bisa melalui setiap masalah Bersama pasangan dengan saling mendukung, bukan saling menyalahkan.
Semakin jelas bahwa ketika seseorang, atau semua pihak bisa menerapkan kasih dalam kehidupannya, terutama kehidupan berelasinya, atau kehidupan dalam berumah tangganya, kemungkinan masalah yang seharusnya tidak jadi perlu terjadi, Â "pertengkaran" yang berlebihan, sangat bisa dihindari dan tentu saja tidak kekerasan dalam berelasi juga pada akhirnya bisa dihindari.
Jadi maukah kita semua, baik kita yang sedang tidak berpasangan, mencari pasangan, maupun yang sedang berusaha dan dalam tahap menjalin relasi, dan tentu saja kita yang sudah terikat dalam ikatan rumah tangga untuk menerapkan kasih dalam kehidupan kita? Menerapkan kasih dalam kehidupan berelasi kita? Maukah kita untuk bisa hidup dengan KDRT tetapi bukan dalam arti kekerasan dalam rumah tangga, melainkan hidup dengan kasih dalam rumah tangga?
Semoga Tulisan ini bisa menjadi refleksi bagi penulis sendiri dan anda semua yang membacanya untuk dapat mempersiapkan maupun menjalani relasi dengan bekal yang lebih baik dan lebih siap lagi, sehingga angka kekerasan dalam rumah tangga dalam masyarakat kita semakin bisa ditekan. Meskipun konsep yang penulis jabarkan disini berasal dari salah satu kepercayaan tertentu, tetapi penulis yakin konsep ini sangat relevan, dan sangat bisa diterapkan bagi semua kalangan tanpa harus melihat golongan.Â
Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H