Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengatasi Banjir, Beranikah Anies Baswedan Mempertaruhkan "Harga Diri"?

22 Februari 2021   16:00 Diperbarui: 22 Februari 2021   16:08 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau banjir di Kelurahan Semanan dan Duri Kosambi, Jakarta Barat, Kamis (2/1/2020).(KOMPAS.com/NURSITA SARI)

Curah hujan yang sangat tinggi menyebabkan munculnya musibah banjir di sejumlah wilayah Indonesia, tak terkecuali DKI Jakarta yang memang sudah memiliki masalah klasik terkait banjir. Bahkan kalau penulis tidak keliru, masalah banjir yang ada di area Jakarta sudah ada bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, semenjak Jakarta masih bernama Batavia dan masih dalam pendudukan kolonial.

Ada cukup banyak faktor penyebab kenapa DKI jakarta terus memilik masalah klasik banjir. Misalnya saja daerah jakarta yang merupakan dataran rendah dengan permukaan tanah yang terus menurun, padatnya bangunan di Jakarta yang berarti minimalnya daerah resapan air.

Sungai juga berkontribusi masalah klasik banjir di DKI Jakarta masih belum benar-benar teratasi. Sungai-sungai di Jakarta (dalam keadaan normal) tergolong kecil untuk bisa menampung debit air yang berpotensi melewati daerah jakarta pun sungai-sungai itu juga cukup berkelok yang sedikit banyak mengurangi kecepatan arus air yang bisa dialirkan.

Dengan kondisi sungai yang kecil itu ternyata diperparah dengan penataan pemukiman di jakarta yang menyebabkan munculnya pemukiman yang "menduduki" daerah bantaran sungai, bahkan menjorok ke sungai itu sendiri sehingga mempengaruhi (lebih tepatnya mengurangi) lebar sungai yang sudah sempit dulu dari awalnya menjadi semakin sempit.

Belum lagi berbicara kesadaran masyarakat dalam membuang sampah di sungai yang tentunya bisa menumpuk di banyak lokasi, termasuk menumpuk di pilar-pilar penyangga rumah warga yang menduduki bantaran sungai sehingga sedikit banyak juga menghambat aliran air.

Banyak cara sudah coba dilakukan oleh pemda DKI Jakarta dari waktu ke waktu untuk menyelesaikan, atau setidak-tidaknya mengurangi masalah banjir ini. Berbagai metode sudah dicoba diterapkan dari perencanaan tata kota, pembuatan pintu air beserta pompa penyedot banjir sampai melakukan normalisasi sungai.

Untuk yang terakhir ini (terkait normalisasi) ternyata ditemui kendala terkait keberadaan pemukiman warga yang secara langsung dan tidak langsung membatasi upaya normalisasi yang coba dilakukan, baik dalam  mengembalikan kedalaman maupun lebar awal sungai serta pembuatan tanggul penahan di sisi sungai.

Memang keberadaan pemukiman di bantaran sungai ini sudah sejak lama. Kelengahan atau mungkin pembiaran sejak dulu membuat para pemukim bantaran ini merasa tak ada salah dengan apa yang mereka lakukan. Begitu pula semakin banyak penduduk pendatang yang ikut-ikutan membangun rumah mereka di kawasan  bantaran sungai.

Pemerintah DKI Jakarta pada akhirnya mulai menyadari bahwa keberadaan pemukiman di bantaran sungai yang sebenarnya secara status hukum juga ilegal menjadi penyebab juga masalah banjir masih belum bisa diatasi.

Akhirnya mulailah ada upaya relokasi pemukiman bantaran. Bahkan program ini cukup populer di jaman kepemimpinan Joko Widodo sebagai gubernur DKI Jakarta meski di sisi lain banyak tentang muncul, terutama dari warga terdampak. Program relokasi ini sejalan dengan program pembuatan rusun sebagai lokasi tujuan relokasi warga bantaran ini.

Begitu juga ketika dilanjutkan oleh Basuki Tjahaja Purnama saat Jokowi maju sebagai presiden. Dengan ciri khas BTP yang tegas, pemda DKI terus membersihkan bantaran diikuti normalisasi sungai, pembuatan tanggul serta taman dan fasilitas pendukung di sisi sungai.

Hasil dari program (normalisasi dan relokasi) ini dikatakan cukup efektif dalam mengurangi banjir di Jakarta sebagai ibukota negara ini.

Meski banjir juga dipengaruhi curah hujan yang setiap tahun bisa berubah-ubah, upaya itu dianggap sebagai langkah tepat yang harus terus dilakukan sampai semua sungai di Jakarta berhasil dinormalisasi dan steril dari pemukiman.

Lagipula, dengan sterilnya daerah bantaran sungai dari pemukiman menurut penulis juga sekaligus menangani (mengurangi) masalah sampah sungai. Penulis yakin sebagian dari pembuang sampah itu juga warga bantaran. Karena belakang rumah sungai jadi sampah tinggal lempar saja.

Tetapi kemudian semuanya berubah dengan adanya pilkada DKI 2017. Anies Baswedan yang melawan BTP memilih janji kampanye terkait penanganan banjir yang berlawanan dengan program Normalisasi serta relokasi selama ini. Pastinya dengan harapan mengambil simpati warga bantaran yang jumlahnya tak bisa dibilang sedikit.

Anies juga menyampaikan pernyataan dan teori soal air hujan yang seharusnya tak dialirkan ke laut tetapi diresapkan ke tanah, bahkan kalau penulis tak salah dengan mendasari teori itu dari ajaran agama tertentu.

Strategi berhasil, beliau (Anies Baswedan) duduk di kursi DKI 1. Sampai awal tahun ini curah hujan diprediksi sangat tinggi dan peringatan rawan banjir di berbagai daerah dikeluarkan BMKG.

Akhirnya program penanganan banjir beliau diuji. Hasilnya? Banjir masih ada. Meski pemda DKI mengatakan secara jumlah jauh berkurang dibanding dulu, nyatanya banjir kali ini menjadi isu yg sangat besar.

Beberapa pengamat menunjukkan meski memang banjir sudah berkurang dibanding dulu, ternyata beberapa tahun terakhir progres tak terlalu signifikan, bahkan cenderung dikatakan jalan di tempat.

Daerah resapan air yg jadi sasaran utama Anies jumlahnya dikatakan juga tak signifikan, bahkan usahanya juga berujung pada pembuangan air banjir ke sungai yang pada akhirnya juga bermuara ke Laut melalui pompa-pompa banjir.

Padahal banjir ini sendiri juga berasal dari sungai yang meluap karena kapasitas sungai maupun kondisi tanggul yang tak mampu mengakomodasi debit air banjir kiriman yg begitu tinggi.

Kondisi banjir saat ini membuat opsi normalisasi dan relokasi kembali dikumandangkan. Sampai akhirnya, ketua pansus banjir DPRD DKI Jakarta yg juga dari fraksi PAN (salah satu partai pendukung Anies waktu itu) bahkan menyatakan bahwa Anies terbelenggu oleh janji politiknya sendiri sehingga penanganan banjir tak maksimal.

Anies Baswedan sudah terlanjur berjanji "melindungi" warga dan pemukiman  bantaran sungai dari penggusuran (sebagai bahasa lain dari relokasi). Sedangkan kenyataanya (atau setidaknya menurut penilaian banyak pihak dan penulis sendiri) relokasi untuk normalisasi sungai dan bantaran diperlukan agar penanganan lebih efektif.

Kalau sampai beliau berubah sikap, mau dengan apapun bahasa halus yg bisa beliau lontarkan kepada warga juga tetap akan mengecewakan warga bantaran jika sampai mereka harus dipindah (atau digeser atau apapun istilahnya).

Padahal dalam soal relasi, kita tahu bahwa kekecewaan bisa berakhir lebih mengerikan dibanding penolakan. Karena kekecewaan berasal dari harapan atau kepercayaan yang dikhianati.

Relokasi pemukiman bantaran untuk normalisasi sungai dan bantaran masih jadi opsi yang menjanjikan untuk mengatasi masalah klasik banjir di jakarta. Meski tentu bukan itu saja yang harus dilakukan.

Permasalahannya gubernur Anies terlanjur menutup opsi itu sejak janji kampanye beliau di 2017 lalu. Beliau menjual mahal opsi ini untuk suara pendukung di wilayah bantaran.

Pertanyaannya, kalau memang relokasi dan normalisasi ini sangat diperlukan dalam penanganan banjir di Jakarta, akankah Anies berani mengorbankan janjinya demi kebaikan warga Jakarta yang lebih banyak? Akankah Beliau berani "mengkhianati" sebagian pendukungnya demi semua warganya?

Apakah seorang Anies Baswedan berani mempertaruhkan harga diri demi membeli kembali opsi yang pernah beliau jual soal relokasi dan normalisasi?

Ataukah warga jakarta harus sabar menunggu gubernur baru yang tak memiliki hutang janji melindungi warga bantaran dari relokasi sembari bisa menikmati banjir dan berpikir positif saja bahwa hujan juga nikmat yang Tuhan berikan

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun