Pengetatan dan pembatasan kembali aktivitas masyarakat ditengah masih terus merebaknya covid di Indonesia sudah di putuskan oleh pemerintah.Â
Setidaknya, pengetatan itu mencangkup wilayah di Jawa Bali dimana kepadatan penduduk di wilayah ini memang sudah sangat tinggi, sehingga resiko penularan pun juga tinggi.
Keputusan pengetatan pembatasan ini diteken untuk diterapkan mulai tanggal 11 Januari sampai 25 Januari mendatang, dan pastinya akan dievaluasi untuk tindak lanjutnya.Â
Keputusan pemerintah pusat ditindaklanjuti oleh pemda untuk membuat aturan teknis menyesuaikan kebutuhan masing-masing daerah.
Sebenarnya, sempat ada wacana lockdown atau pembatasan total. Tetapi para pengamat menilai bahwa lockdown sudah terlambat diterapkan di Indonesia karena virus sendiri sudah terlanjur menyebar. Berbeda cerita bila lockdown dilakukan saat virus belum masuk Indonesia dan ditujukan untuk mengantisipasi agar virus tak masuk.
Peraturan pembatasan kembali dibuat karena sampai pada detik ini, kasus positif covid masih terus meningkat dan belum ada tanda-tanda melandai apalagi menurun. Meski pemerintah sudah hampir siap dengan vaksinasi, bukan berarti kasus penyebaran virus menjadi tidak penting untuk diurus.
Ketika kita mencoba mencari tahu apa yang menjadi penyebab kasus covid masih terus merebak, maka yakinlah setiap jawabannya akan mengarah kepada kesadaran masyarakat.
Setiap aturan, kebijakan, bahkan sanksi yang diterapkan pemerintah dan aparat tak akan berhasil dan berdampak tanpa ada kerjasama dari masyarakat.Â
Seketat apapun pemerintah mengawasi, masih banyak ruang setiap individu di masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan yang mungkin juga berpotensi terjadinya penularan.
Penulis tidak sedang membela pemerintah untuk tidak memiliki tanggung jawab dalam mengurangi kasus penyebaran virus, namun nyatanya peran masyarakatlah yang terpenting. Penulis juga bagian dari masyarakat yang melihat, mengamati, dan merasakan sendiri bagaimana peran kita sebagai masyarakat begitu penting dalam bertambah atau berkurangnya penyebaran virus.
Seringkali masyarakat melakukan inisiatif pelonggaran-pelonggaran protokol kesehatan sendiri berdasar penilaian subyektif. Saya dan anda yang membaca tulisan ini mungkin juga melakukan hal yang sama, dalam kondisi tertentu kita membuat penilaian bahwa dalam kondisi itu protokol kesehatan tak jalan pun tak masalah.
Penulis ambil contoh di dalam keluarga. Yakinlah bahwa setiap orang pasti setuju tak perlu ada protokol kesehatan ketika beraktivitas di dalam rumah dengan keluarga inti. Masa iya dengan suami atau istri, atau dengan anak setiap kali berbicara harus pakai masker, atau setiap kali menyentuh satu sama lain harus dilanjutkan dengan cuci tangan terus menerus, atau setiap bertemu harus berjarak sekian meter.
Tetapi lepasnya protokol kesehatan didalam rumah dengan keluarga harus diimbangi dengan konsekuensi menjaga diri dan menjaga protokol kesehatan ketika ada diluar, ketika bertemu dengan siapapun diluar anggota keluarga. Pada titik inilah seringkali lengah.
Kadangkala ketika bertemu dengan rekan kerja yang setiap hari berjumpa, atau bertemu dengan teman dekat, kita sedikit berkompromi Dengan protokol kesehatan. Karena merasa sudah kenal dekat, atau tahu kebiasaan mereka, yakin jika mereka sehat maka memutuskan melepas masker demi komunikasi lebih lancar, atau tak menjaga jarak.
Padahal kedekatan relasi tak pernah menghilangkan resiko penularan muncul. Kita tak pernah tahu kawan kita sehat atau tidak, atau bahkan telah terinfeksi tetapi dalam kategori tanpa gejala dimana dia sendiri tak tahu jika dirinya tertular. Kita juga tak tahu kawan kita sebelumnya juga berkompromi dalam protokol kesehatan ketika bertemu dengan siapa.
Pada akhirnya, dari kompromi-kompromi inilah penyebaran virus itu terus semakin masif. Mungkin kita aman ketika bertemu dengan orang asing dengan segala protokol kesehatan yang kita terapkan, tetapi malah rawan ketika berjumpa dengan relasi-relasi dekat karena kompromi yang kita lakukan hanya berdasar kita yakin dan percaya mereka juga baik-baik saja seperti saya.
Ketika kemudian seseorang tertular virus diluar rumah dari kawan dekat karena berkompromi saat bertemu, dia akan membawa virus itu pulang ke rumah.Â
Nah lebih parah lagi penularan akan terjadi di keluarga, karena tentunya relasi dengan keluarga jauh lebih intim dibanding dengan rekan atau kawan. Jauh lebih intim juga berarti resiko penularan lebih besar.
Dalam kasus nyata yang terjadi di lingkungan sekitar penulis juga sama. Beberapa kenalan penulis terinveksi dari kawan dekat mereka dimana ketika mereka bertemu biasanya protokol kesehatan tak begitu penting.
Ada yang dari anak menularkan ke orang tua, mungkin karena anaknya tak berhati-hati ketika di luar rumah. Bahkan ada beberapa kawan penulis harus dikarantina karena berolahraga bersama di dalam ruangan dan ternyata ada salah satu dari mereka yang dinyatakan positif covid. Usaha menjaga kebugaran tubuh bersama-sama orang dekat pun malah berakhir harus karantina.
Dengan segala contoh kasus diatas, penyebaran virus dari relasi terdekat bukan lagi hanya sebuah teori. Setidaknya itu yang penulis rasakan dan alami sendiri. Nyatanya semakin dekat relasi, semakin rawan kita tertular karena seringkali kita lebih berkompromi soal protokol kesehatan.
Mungkin tak perlu di dalam rumah dengan istri atau anak menerapkan protokol kesehatan, tetapi itu berarti kita memiliki konsekuensi tak boleh berkompromi dengan protokol kesehatan ketika diluar, bahkan dengan sahabat sekalipun.Â
Lagipula penulis juga yakin protokol kesehatan tak akan mempengaruhi relasi dengan kawan, bukankah itu juga satu cara untuk saling menjaga.
Kesadaran kita semua masyarakat, baik saya dan anda  dan setiap orang dalam penerapan protokol kesehatan adalah titik krusial bagaimana kasus penyebaran bisa diatasi di negara ini.Â
Lebih jauh lagi, silahkan mencari data penyebaran covid. Mungkin 90% penularan berasal dari orang yang dikenal, baik itu keluarga, rekan kerja, kawan, bukan dari orang asing.
Mau sehebat apapun pemerintah membuat kebijakan, mau seketat apapun pemerintah membuat peraturan, saat masyarakatnya tak patuh dan melakukan kompromi disaat berada diluar pengawasan, maka kasus penularan tak akan pernah menurun, atau bahkan melandai.
Tulisan-tulisan mengenai kesadaran akan protokol kesehatan mungkin sudah sangat banyak, sudah bosan kita membaca, termasuk tulisan ini. Nyatanya sebanyak apapun, angka kasus penularan di masyarakat masih terus tinggi.
Artinya kesadaran masyarakat terus tetap harus diingatkan melalui berbagai cara termasuk dengan tulisan seperti ini. Kalau perlu tidak hanya sampai bosan dibaca, tetapi sampai setiap orang lelah untuk diingatkan dan kemudian menjalankan protokol kesehatan itu.
Kebohongan yang terus berulang saja suatu saat bisa menjadi kebenaran ketika setiap orang menjadi percaya, apalagi terus mengulang sesuatu yang memiliki tujuan baik.
Pertanyaan akhirnya bagi saya dan anda, apakah kita akan terus berkompromi terhadap protokol kesehatan meski saat bersama orang-orang yang kita rasa kita sudah kenal baik? Atau kita tetap patuh dengan tujuan untuk saling menjaga? Masa depan bangsa ini ada ditangan saya dan anda, bukan pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H