Mohon tunggu...
Resi Aji Mada
Resi Aji Mada Mohon Tunggu... Lainnya - Tulisan pribadi

Pernah menjalani pendidikan bidang studi Administrasi Negara di perguruan tinggi negeri di kota Surakarta. Pemerhati isu-isu sosial, politik, dan pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Anies Diejek Mega, HRS Diejek Kabid Humas Polda Metro Jaya

13 Desember 2020   16:00 Diperbarui: 13 Desember 2020   16:02 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin di Jakarta sempat dihebohkan temuan soal ujian sekolah di salah satu sekolah yang menggunakan nama gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan. Meski tidak menyebut nama lengkap, tetapi banyak pihak dengan mudah meyakini siapa yang dimaksud. 

Ada dua soal yang menyebut nama Anies. Satu soal menggambarkan kinerja Anies yang menolong rakyat yang mengalami kesusahan dan sama sekali tidak menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. 

Sedangkan satu soal lainnya menyebut Anies yang diejek Mega. Ini dianggap merujuk pada pidato Megawati yang mengkritik kinerja Anies sebagai gubernur beberapa waktu yang lalu. 

Kenapa kemudian ini menjadi heboh, penulis melihat ada unsur politis dibalik dua soal ini. Setidaknya penulis meyakini jika sang pembuat soal adalah pendukung atau pengagum sosok Anies Baswedan. 

Dua soal ujian ini menempatkan Anies pada sosok protagonis. Soal yang satu ingin menunjukkan begitu amanahnya Anies menjadi gubernur dan yang satu lagi ingin menunjukkan Anies yang menjadi korban cemoohan orang lain. Dua duanya bisa dianggap untuk menarik simpati dan dukungan anak didik kepada sang gubernur. 

Meski sebenarnya tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan, tetapi dua soal ini dianggap tidak etis untuk keluar dalam dunia pendidikan. Sah saja seseorang mengagumi orang lain, tetapi ini sudah berurusan mengenai profesionalitas. Dikabarkan jika dinas pendidikan setempat bergerak dan memberikan teguran kepada pembuat soal. 

Tetapi tentu kejadian itu tak lebih menghebohkan dibanding penyerahan diri Habib Rizieq Shihab ke Polda Metro Jaya. HRS mendatangi Polda dalam statusnya yang sudah ditetapkan tersangka oleh penyidik Polda Metro Jaya beberapa hari sebelumnya. 

Setelah sebelumnya mangkir dalam 2 kali panggilan saat masih berstatus saksi ditambah dengan kejadian tewasnya 6 orang tim keamanan HRS, kini akhirnya beliau sendiri datang ke Polda Metro Jaya. 

Didampingi dengan kuasa hukumnya, kedatangan ini diklaim dari pihak HRS sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum dari seorang HRS. Tetapi penulis tidak melihat anggapan yang sama di masyarakat, ini akibat 2 kali mangkir dari panggilan yang HRS sendiri lakukan sehingga banyak pihak sudah menganggap tidak ada kepatuhan terhadap hukum. 

Rupanya, pihak Polda Metro Jaya juga tak sependapat dengan klaim dari pihak HRS. Sehari sebelumnya, tim kuasa hukum HRS sempat mendatangi Polda untuk meminta surat pemanggilan. Tetapi karena statusnya yang naik sebagai tersangka, tidak ada lagi surat pemanggilan. Yang ada adalah perintah penangkapan. 

Melalui Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, kedatangan atau lebih tepatnya penyerahan diri dari Habib Rizieq Shihab dianggap bentuk ketakutan akan penangkapan paksa. Penulis melihat pernyataan itu sebagai bentuk sindiran kepada HRS karena datang saat berstatus tersangka dan akan dilakukan tindak penangkapan. 

FPI sudah barang tentu tidak sependapat. Dalam sebuah kesempatan mereka menampik penyerahan diri HRS dikarenakan ketakutan. Mereka berargumentasi bila memang HRS ketakutan, beliau tidak akan datang dan malah akan menghindari. 

Penulis sih mendapati ini hanya respon yang sebenarnya tak sesuai. Kombes Yusri Yunus berbicara mengenai operasi penangkapan sedangkan pihak FPI merespon mengenai proses hukum lebih lanjutnya. 

Lagipula ketika telah ditetapkan sebagai tersangka, kalaupun menghindar pasti akan dicari oleh aparat kepolisian. Artinya tidak ada pilihan lain bagi HRS selain untuk datang ke Polda cepat atau lambat, dengan cara baik maupun paksa. Dan HRS memilih cara baik. 

Setidaknya dengan menyerahkan diri, namanya tak begitu tercoreng lewat operasi penangkapan paksa layaknya buronan kriminal. Tapi eh tapi, nyatanya bahasa yang digunakan kabid humas Polda Metro Jaya tetap saja mencoreng nama baik HRS. Bukan dalam hal negatif dalam hukum lho. 

Sosok yang selama ini mungkin dianggap sebagai orang paling berani bagi para pengikutnya dan selalu menjadi panutan bahkan ketika bersifat meresahkan masyarakat nyatanya berakhir dengan dianggap penakut oleh aparat kepolisian dan akhirnya juga oleh banyak pihak di masyarakat.

Andai saja HRS datang waktu pemanggilan pertama sebagai saksi, mungkin ceritanya akan berbeda. Bahkan tak menutup kemungkinan pula beliau bebas dari status tersangka apabila bisa menjelaskan ke penyidik dengan jujur dan bila kemudian penyidik tidak mendapati tindakannya yang melanggar hukum. Setidaknya tak akan ada narasi "penakut".

Tetapi mengharapkan HRS tidak melanggar hukum dari kasus beberapa kerumunan waktu lalu sepertinya hampir mustahil. Setidaknya beberapa fakta ini membuatnya tak bisa mengelak. 

Pertama, kerumunan itu sudah menjadi perhatian nasional yang disaksikan oleh banyak masyarakat dan media, termasuk juga bentuk-bentuk pelanggaran yang muncul. Jadi sangat sulit untuk mengelak ketika seluruh negara menjadi saksi. Mungkin pula itu yang membuat aparat mau tak mau harus memproses. 

Kedua, fakta bahwa acara-acara itu milik dan atas kepentingan HRS. Walaupun ada panitia acara, tak bisa dipungkiri tanggung jawab terbesar ada di tangannya. Dia yang memiliki kewenangan penuh untuk melanjutkan atau membatalkan acara sebelum akhirnya pelanggaran-pelanggaran itu terjadi. 

Ketiga, bentuk-bentuk argumentasi dari pihak HRS dan FPI yang menyinggung kejadian-kejadian pelanggaran serupa di tempat lain yang dianggap dibiarkan sebenarnya merupakan bentuk pengakuan tak langsung dari HRS dan FPI bahwa ada pelanggaran sama yang terjadi pada acara mereka sendiri. Kalau diri sendiri sudah mengakui, kenapa sempat mengelak dan menghindar juga kan? 

Pada akhirnya HRS telah diperiksa sebagai tersangka oleh penyidik dengan cara penyerahan diri, tak sampai ada operasi penangkapan. Beliau harus mempertanggungjawabkan setiap kewenangan dan perbuatannya sesuai hukum yang berlaku di negara ini, bukan lagi sesuai apa yang diyakini dirinya sendiri sebagai sebuah kebenaran. 

Belasan jam diperiksa dan dicecar dengan berbagai pertanyaan, pada akhirnya polisi memutuskan untuk melakukan penahanan setidaknya selama 20 hari kedepan. Tim kuasa hukum pun langsung bersiap-siap untuk menempuh jalur pra peradilan. Jalur yang kadangkala meloloskan terduga dan tersangka tindak pidana, termasuk juga korupsi. 

Kini masyarakat menunggu apakah pra peradilan akan menggugurkan status tersangka HRS atau akan berlanjut kepada proses pelanggaran yang telah disangkakan pihak penyidik. Keputusan pada akhirnya ada di tangan hakim. 

Melihat dinamika di masyarakat melalui komentar-komentar media sosial, penangkapan HRS dan penetapan status tersangka dianggap angin segar dan keberanian aparat dalam penegakan hukum.

Apabila HRS nantinya memenangkan pra peradilan, mungkin banyak pihak di masyarakat yang telah diresahkan akan merasa kecewa. Tetapi di negara hukum, keputusan hukum harus dihargai dan dihormati apapun hasilnya. 

Bagi Anies baswedan, diejek oleh lawan politik dan kelompok masyarakat yang memang sejak awal tak mendukung rasanya sudah jadi makanan sehari-hari. Tindakan dan keputusan yang kadangkala tidak sesuai dengan begitu berisi dan besar perkataannya sendiri mungkin jadi alasan kenapa hal itu terus terjadi. Tetapi kebesaran hati, kesabaran, dan ketenangan Anies rasa-rasanya bolehlah diapresiasi. 

Sedangkan bagi HRS dan pengikutnya, kritikan dan ejekan dianggap laiknya virus yang harus terus ditangkal dan dilawan. Keyakinan mereka bahwa segala tindakan dan keyakinan mereka akan satu hal adalah yang paling benar bisa jadi alasan mereka tak memiliki kebesaran hati dan kesabaran laiknya Anies. 

Bahkan ketika harus menyerang balik lawan, membuat cerita berbeda, ataupun menyinggung hal lain yang tak ada kaitannya, bahkan memakai jurus "pokoknya" tetap halal untuk dipakai asal bisa memenangkan argumentasi. 

Baik Anies maupun HRS memiliki masalahnya masing-masing. Tetapi cerita-cerita dan kejadian-kejadian yang melibatkan mereka bisa jadi panggung "hiburan" atas dunia politik di negeri ini. Yah meski tetap saja menjengkelkan. 

Mereka memperlihatkan bahwa Negeri ini adalah negeri yang besar dengan berbagai sudut pandang dan cara berpikir yang beragam. Seharusnya kekuatan ini bisa dimanfaatkan dengan baik untuk kemajuan bangsa, asalkan semua pihak mau bekerjasama dengan satu tujuan yang sama, menyingkirkan sejenak kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. 

Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun