Baru setahun pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi berjalan, dua menterinya ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dalam waktu yang berdekatan. Salah satunya karena hal ini pula muncul isu dan dorongan untuk melakukan reshuffle kabinet.Â
Pada dasarnya, reshuffle kabinet merupakan hal prerogatif seorang Presiden, begitu juga dengan waktunya. Kapanpun dan kepada menteri siapapun Presiden berhak mengganti.Â
Tetapi karena sistem politik di negara ini dimana partai politik berperan sebagai keberhasilan seseorang menjabat sebagai Presiden, maka pasti diperlukan loby-loby politik dari seorang Presiden ketika akan melakukan reshuffle kabinet.Â
Permasalahannya apakah saat ini integritas pembantu Presiden dipertanyakan ketika dua orang diantaranya telah disangkakan korupsi, apakah reshuffle kabinet begitu diperlukan?Â
Bagi penulis, sebenarnya reshuffle kabinet belum diperlukan. Itu jawaban singkat dan cepatnya. Alih-alih melakukan reshuffle, lebih tepat untuk segera mencari pengganti untuk kekosongan jabatan menteri saja daripada reshuffle. Tentu ada alasan yang mendasari penulis berargumentasi bahwa reshuffle kabinet belum diperlukan.Â
Dorongan reshuffle pada dasarnya berangkat dari pandangan para pengamat dan mungkin juga masyarakat mengenai integritas para menteri saat ini dimana dua orang diantaranya telah terjerat korupsi dalam masa kerja yang baru satu tahun ini. Ditambah lagi pandangan bahwa kinerja beberapa menteri saat ini dibawah ekspektasi.Â
Mengenai integritas, baik dilakukan reshuffle atau tidak, penulis rasa tak menghilangkan kemungkinan kembali terjadinya tindak korupsi. Kenyataannya integritas hanya bisa dibuktikan seiring berjalannya waktu. Bahkan saat ini sumpah jabatan pun tidak menghilangkan kemungkinan terjeratnya seseorang terhadap tindakan korup.Â
Bahkan dengan diangkatnya orang-orang baru ataupun orang lama yang menurut banyak orang paling tepat sekalipun tidak ada jaminan 100% akan bebas dari tindak korup. Jadi apa jaminannya jika reshuffle akan membawa perubahan terkait integritas?Â
Ada alasan mengenai kinerja beberapa menteri yang tak sesuai dengan ekspektasi, sehingga kekosongan dua posisi menteri saat ini bisa menjadi momentum yang tepat untuk melakukan reshuffle menteri-menteri berkinerja buruk.
Penulis juga setuju mengenai ada beberapa menteri dengan kinerja yang kurang memuaskan, tetapi tak tahukah bahwa saat ini Indonesia sedang ada dalam kondisi khusus terkait adanya bencana pandemi yang bahkan menyerang sebagian besar negara di dunia.Â
Kondisi pandemi ini jelas banyak mempengaruhi kondisi sosial politik dan ekonomi negara yang berdampak pada harus berubahnya kebijakan-kebijakan yang sebelumnya telah direncanakan.
Kita harus menyadari bahwa APBN dan rencana kerja sewaktu para menteri ini diangkat dan mulai bekerja dibangun atas dasar kondisi negara dalam keadaan normal. Perubahan kebijakan secara mendadak dan darurat tentu saja memiliki potensi yang lebih besar untuk gagal.Â
Kebijakan yang telah direncanakan matang saja masih bisa gagal, apalagi yang harus dirubah secara mendadak. Apalagi untuk beberapa kementerian yang harus menghadapi perubahan ekstrem sekaligus tugas sangat berat akibat jadi garis depan dikondisi pendemi ini.Â
Sebagai contoh kementerian kesehatan. Mungkin banyak pengamat dan masyarakat yang menilai kinerjanya buruk menghadapi pandemi saat ini. Tetapi tak tahukah kita mengenai rumitnya penanganan terhadap hal yang tak bisa dilihat kasat mata ini.Â
Belum adanya obat yang benar-benar tepat dan vaksin membuat pencegahan menjadi garda utama penanganan.Â
Permasalahanya untuk mengajak seluruh masyarakat Indonesia dengan jumlah 260 juta jiwa lebih dengan segala "kebhinekaannya" untuk sadar terhadap protokol kesehatan untuk pencegahan bukanlah perkara mudah. Apalagi ada pihak-pihak yang seenaknya sendiri, bahkan tak sedikit pula yang tidak percaya dengan adanya pandemi ini.Â
Pada dasarnya maksud penulis apakah penilaian tentang kinerja itu sudah dibuat secara fair melihat kondisi khusus ini, atau jangan-jangan masih didasari pada kondisi normal.Â
Tak pernahkah setiap orang yang mendorong untuk reshuffle itu mencoba melihat dari sisi para menteri yang yang dipusingkan dengan kondisi yang tak menentu ini diawal masa jabatan.Â
Seperti seorang pelari yang harus mencari tempo dari awal diam mencapai momentum lari paling efisien, begitu juga awal masa jabatan seharusnya menjadi kesempatan untuk menyesuaikan tempo. Kenyataanya para menteri harus langsung dituntut berlari kencang mulai langkah pertama. Jelas kalau itu pelari bisa terkena serangan jantung.Â
Terlalu banyak perubahan pada susunan menteri juga kemungkinan besar akan kembali mengacaukan tempo yang saat ini sudah dicapai.Â
Dalam kondisi pandemi dimana negara sedang dalam masa resesi dan darurat kesehatan masih jadi fokus utama, efisiensi dan efektivitas kerja para menteri harus dijaga dan terus ditingkatkan.Â
Jika harus kembali ke tempo awal atau harus kembali menyesuaikan tempo yang sebelumnya telah terbangun, malah pada akhirnya membawa dampak negatif pada program kerja dan bisa saja kembali dianggap tidak efektif.Â
Kalau sudah begitu tuntutan reshuffle malah tak akan ada habisnya. Bukan karena tokoh yang tak sesuai, tetapi karena rusaknya tempo kerja pemerintah akibat pergantian-pergantian yang dipaksakan.Â
Dengan argumentasi-argumentasi diatas penulis melihat reshuffle kabinet belum diperlukan. Dibanding reshuffle kabinet yang belum tentu menghasilkan sosok dalam posisi yang tepat ditambah penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan, lebih baik untuk mengisi saja kekosongan menteri saat ini sehingga tidak ada menteri yang harus merangkap lebih dari satu kementerian.Â
Biarlah menteri yang saat ini ada untuk tetap melanjutkan tugas-tugasnya. Dorongan efisiensi dan efektivitas kinerja serta masukan untuk para menteri ini yang malah diperlukan daripada dorongan untuk melakukan reshuffle pada masa-masa krisis seperti saat ini.
Setidaknya setengah periode nanti boleh lah menjadi waktu yang tepat untuk melakukan evaluasi dan perubahan terhadap para pembantu Presiden yang tetap tak menunjukkan perbaikan kinerja.Â
Sedangkan untuk saat ini, yang diperlukan adalah kerjasama semua pihak baik pemerintah, dewan perwakilan rakyat sebagai kontrol langsung pemerintah, para pengamat dengan segala keahlian dan kebijaksanaanya serta seluruh masyarakat untuk bahu-membahu menciptakan situasi yang kondusif untuk keluar dari resesi termasuk keluar dari jeratan pandemi ini.Â
Tanpa ada kesadaran dan peran serta dari seluruh masyarakat dan pemangku kepentingan di negara ini, sejenius apapun menteri dan sekharismatik apapun pemimpin negara tak akan pernah bisa mengubah bangsa ini sendirian.Â
Salam damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H