Protokol kesehatan yang sedang terus dijalankan di Indonesia mau tidak mau membuat sebuah perkumpulan sebisa mungkin dihindari. Pun jika ada kepentingan mendesak untuk pertemuan, maka pembatasan jumlah peserta, jaga jarak, dan protokol kesehatan lainnya menjadi hal yang mutlak diupayakan.Â
Namun nyatanya masih banyak terjadi pelanggaran mengenai kumpulan massa. Termasuk yang masih terus hangat diperbincangkan mengenai kumpulan massa dari berbagai kegiatan yang diadakan Habib Rizieq Shihab.Â
Dalam hal ini, FPI (Front Pembela Islam) sempat menyampaikan pembelaanya dengan membandingkan dengan massa pengantar pendaftaran Gibran di KPU Solo yang dianggap tidak adil ketika kegiatan Massa Habib Rizieq dipermasalahkan.Â
Sebenarnya ada beberapa tokoh juga yang sempat melakukan pembelaan terkait massa Habib Rizieq dengan membandingkan  dengan agenda pilkada serentak yang juga dianggap berpotensi membuat kerumunan.Â
Untuk lebih fair, pembelaan membandingkan kerumunan massa dengan pilkada serentak juga sudah dilontarkan beberapa tokoh politik dalam rangkaian demonstrasi menolak omnibuslaw beberapa waktu lalu. Jadi terkait kerumunan massa Habib Rizieq bukanlah yang pertama.
Pertanyaannya, sesuaikah ketika kita membandingkan kerumunan massa entah ketika demonstrasi ataupun kegiatan lain dengan Pilkada serentak?Â
Ketika berbicara Pilkada, kita harus tahu dulu setidaknya secara garis besar mengenai rangkaian agenda. Ada pendaftaran calon, masa kampanye, dan puncak pemilihan.Â
Baik ketika pendaftaran calon maupun masa kampanye, pemerintah melalui KPU, Bawaslu dan Gugus tugas Covid-19 sudah mewanti-wanti dan melarang berbagai bentuk kerumunan atau pengumpulan massa.Â
Sedangkan ketika puncak pemilu nanti, KPU juga sudah membuat tata cara pemilihan dengan mengikuti protokol kesehatan. Mulai dari disediakan sarung tangan hingga tinta yang biasanya dicelupkan menjadi diteteskan untuk menghindari kontaminasi dengan orang lain.
Intinya, pemerintah sebenarnya sudah mengantisipasi dan mempersiapkan agar pilkada serentak dapat tetap berjalan dalam kondisi pandemi dengan protokol kesehatan yang dipersiapkan. Karena keberlangsungan pemerintahan yang sehat harus terus berjalan, apalagi dalam kondisi pandemi dimana pemerintah baik pusat maupun daerah harus bekerja ekstra keras.Â
Lalu ketika berbicara rangkaian pilkada serentak, apakah dalam perjalanannya sampai hari ini prokes itu terus dipatuhi? Harus diakui nyatanya tidak, masih ditemukan pelanggaran pelanggaran dalam masa mulai pendaftaran sampai masa kampanye sekarang ini. Untuk puncak pemilihan belum tahu karena belum berjalan.Â
Dari berbagai pelanggaran yang terjadi selama rangkaian pilkada, apakah semua sudah diproses secara baik, benar, dan adil? Penulis rasa memang belum, harus diakui. Tetapi setidaknya ada usaha untuk mencapai hal itu.Â
Dengan fakta adanya pelanggaran selama agenda pilkada dan juga proses penegakan hukum atau disiplinnya yang dirasa belum maksimal, jadi wajar dong ya kalau dijadikan perbandingan dengan kerumunan massa karena agenda lain?Â
Atau jikalau kegiatan pengumpulan massa lain dilarang sedangkan agenda pilkada tetap berjalan berarti tidak adil dong ya?Â
Tunggu dulu, pakai logika darimana pernyataan seperti itu? Tidakkah kita perlu berpikir dengan akal sehat dan logika yang benar?Â
Penulis mulai jawabannya dengan dua pertanyaan logika sederhana. Andai ketika berkendara kawan kita menerobos lampu merah, apa berarti kita dibenarkan menerobos lampu merah? Itukah arti keadilan? Berarti kalau kawan kita tertangkap, kita harus menyerahkan diri juga ya? Kan adil, sama-sama tertangkap.Â
Masalahnya ketika seseorang mengimani logika pertama, akankah dia otomatis akan mengimani logika kedua? Penulis yakin pasti tidak, kalau kawan kita tertangkap dan kita bisa lolos, ya syukur. Kan gitu pasti ya, atau malahan mengupayakan agar lolos. Jadi dimana keadilannya?Â
Faktanya, logika seperti ini sering dipakai masyarakat kita, bahkan juga oleh tokoh-tokoh besar demi pembelaan dari tindakannya sendiri atau tindakan kelompok yang dia dukung. Dalam kasus pengumpulan massa, pelanggaran protokol kesehatan dibandingkan dengan pelanggaran yang lain.Â
Kapan tertib sosial akan tercapai jika seseorang merasa punya hak untuk melanggar hanya karena melihat orang lain melanggar?Â
Kecelakaan lalu lintas tak akan berkurang jika setiap orang merasa punya hak melanggar lampu merah hanya karena melihat orang lain melanggar hal yang sama dan tidak ditangkap.
Jika logika itu tetap dirawat dalam masyarakat, maka peraturan hanyalah omong kosong. Kenapa omong kosong? Karena satu saja ada yang melanggar, maka saya boleh dong melanggar. Dan pernyataan ini berhak keluar dari semua orang, akhirnya aturan tak berfungsi.Â
Entah darimana asal mula cara berpikir ini berkembang, tetapi ketika hal seperti ini dipopulerkan oleh tokoh-tokoh nasional yang dilihat oleh banyak lapisan masyarakat, sungguh tak elok rasanya. Tidak jadi edukasi politik dan sosial yang benar.Â
Pelanggaran tetaplah pelanggaran. Walau banyak orang melakukan, harusnya yang lain tetap berusaha untuk tidak melanggar, bukan malah merasa mendapat pembenaran untuk ikut melanggar.Â
Kerumunan tetaplah kerumunan, mau karena  penjemputan tokoh yang pulang, maupun karena  perjuangan menyuarakan pendapat dalam demonstrasi, ataupun kampanye tetaplah tidak elok untuk dilakukan di kondisi pandemi.Â
Ketika banyak usaha ditutup, pemasukan hilang, tetapi diluar sana orang mencari pembenaran untuk mengadakan kumpulan massa. Jika memang ada yang tidak mendapat tindakan tegas, ya jangan malah ikut ikutan.Â
Kalau begini terus ya bener kata dokter Tirta, "Indonesia Terserah". Terserah maunya sendiri-sendiri, terserah kebenarannya sendiri-sendiri.
Pilkada tetap diadakan karena ada kepentingan semua masyarakat yang mesti dijaga melalui penggantian pemimpin daerah yang memang sudah habis masa jabatannya. Penulis rasa pemerintah sudah melakukan pertimbangan yang sangat dilematis.Â
Lagipula dalam tanggal pencoblosan nantinya, permasalahan antrian yang terjadi. Jadi tentu akan lebih mudah diatur dan diantisipasi mungkin dengan pemberian jadwal misalnya. Lalu apa sama dengan demonstrasi besar-besaran yang lalu? Penjemputan Habib Rizieq kemarin? Atau yg lebih baru acara akad nikah itu? Kok dibandingkan.Â
Apa iya demonstrasi, penjemputan kemarin, akad nikah kemarin bisa dibuat dengan massa berderet mengular satu baris? Atau dengan dijadwal pada jam-jam yang berbeda antar peserta? Atau dibagi-bagi dan dipisah ditempat lain? Sebagai informasi, jumlah TPS pilkada serentak nantinya lebih banyak demi mengurangi jumlah pemilih per TPS.
Mungkin jika pilkada ditunda, kedepannya orang akan mencari alasan-alasan serupa untuk kembali menunda pemilu dan memperpanjang masa kekuasaannya di kursi pejabat daerah. Bisa jadi sampai pilpres kedepan juga sama, presiden dan partai berkuasa mencari pembenaran  untuk memperpanjang masa jabatan. Kan logika masyarakat kita seperti itu.Â
Presiden dan pemerintah membuat keputusan beresiko dengan tetap menyelenggarakan pilkada serentak sesuai jadwal. Harusnya dengan kebijakan itu, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengupayakan penerapan protokol kesehatan dengan penuh.Â
Kalau masih ada pelanggaran protokol kesehatan selama agenda pilkada serentak, mari bersama-sama diantisipasi, ditindak, dan dievaluasi agar tidak terulang. Bukan malah merasa mendapat pembenaran untuk membuat kerumunan massa yang lain.
Akhirnya hanya alasan dan usaha pembenaran saja ketika membandingkan kumpulan massa dengan tetap diadakannya pilkada. Nyatanya kumpulan masa tetaplah tidak elok dimasa pandemi.Â
Bagaimana kalau mereka yang membuat kumpulan massa masih tetap merasa benar dan membanding-bandingkan dengan kejadian yang lainnya? semoga aparat berani menindak tegas tanpa merasa bakal melakukan kriminalisasi kepada siapapun. Kalau tidak berani? Yasudah, Indonesia terserah.Â
Salam damai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H