Pelanggaran tetaplah pelanggaran. Walau banyak orang melakukan, harusnya yang lain tetap berusaha untuk tidak melanggar, bukan malah merasa mendapat pembenaran untuk ikut melanggar.Â
Kerumunan tetaplah kerumunan, mau karena  penjemputan tokoh yang pulang, maupun karena  perjuangan menyuarakan pendapat dalam demonstrasi, ataupun kampanye tetaplah tidak elok untuk dilakukan di kondisi pandemi.Â
Ketika banyak usaha ditutup, pemasukan hilang, tetapi diluar sana orang mencari pembenaran untuk mengadakan kumpulan massa. Jika memang ada yang tidak mendapat tindakan tegas, ya jangan malah ikut ikutan.Â
Kalau begini terus ya bener kata dokter Tirta, "Indonesia Terserah". Terserah maunya sendiri-sendiri, terserah kebenarannya sendiri-sendiri.
Pilkada tetap diadakan karena ada kepentingan semua masyarakat yang mesti dijaga melalui penggantian pemimpin daerah yang memang sudah habis masa jabatannya. Penulis rasa pemerintah sudah melakukan pertimbangan yang sangat dilematis.Â
Lagipula dalam tanggal pencoblosan nantinya, permasalahan antrian yang terjadi. Jadi tentu akan lebih mudah diatur dan diantisipasi mungkin dengan pemberian jadwal misalnya. Lalu apa sama dengan demonstrasi besar-besaran yang lalu? Penjemputan Habib Rizieq kemarin? Atau yg lebih baru acara akad nikah itu? Kok dibandingkan.Â
Apa iya demonstrasi, penjemputan kemarin, akad nikah kemarin bisa dibuat dengan massa berderet mengular satu baris? Atau dengan dijadwal pada jam-jam yang berbeda antar peserta? Atau dibagi-bagi dan dipisah ditempat lain? Sebagai informasi, jumlah TPS pilkada serentak nantinya lebih banyak demi mengurangi jumlah pemilih per TPS.
Mungkin jika pilkada ditunda, kedepannya orang akan mencari alasan-alasan serupa untuk kembali menunda pemilu dan memperpanjang masa kekuasaannya di kursi pejabat daerah. Bisa jadi sampai pilpres kedepan juga sama, presiden dan partai berkuasa mencari pembenaran  untuk memperpanjang masa jabatan. Kan logika masyarakat kita seperti itu.Â
Presiden dan pemerintah membuat keputusan beresiko dengan tetap menyelenggarakan pilkada serentak sesuai jadwal. Harusnya dengan kebijakan itu, seluruh lapisan masyarakat bersama-sama mengupayakan penerapan protokol kesehatan dengan penuh.Â
Kalau masih ada pelanggaran protokol kesehatan selama agenda pilkada serentak, mari bersama-sama diantisipasi, ditindak, dan dievaluasi agar tidak terulang. Bukan malah merasa mendapat pembenaran untuk membuat kerumunan massa yang lain.
Akhirnya hanya alasan dan usaha pembenaran saja ketika membandingkan kumpulan massa dengan tetap diadakannya pilkada. Nyatanya kumpulan masa tetaplah tidak elok dimasa pandemi.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!