Beberapa saat lalu, media sosial TikTok dihebohkan dengan sebuah video tentang POV penderita ADHD. Dalam video tersebut memberikan sudut pandang dari seseorang yang merupakan penderita ADHD. Video tersebut diunggah oleh pemilik akun tiktok @khairilsangakarapratama yang telah disukai lebih dari lima ratus ribu dan mendapatkan lebih dari 14.000 komentar. Namun, karena adanya video tersebut banyak sekali orang yang melakukan self diagnose terhadap dirinya. Banyak pengguna TikTok meninggalkan komentar dengan mengklaim dirinya sebagai penderita ADHD karena beberapa perilaku yang sama dalam unggahan tersebut.Â
Perilaku self diagnose ini tentu merupakan hal yang buruk karena tidak semua informasi yang diterima dari internet merupakan hal yang sudah pasti benar. Dari kasus di atas, untuk mendapatkan gambaran lebih jelas lagi mengenai ADHD, mari kita bahas lebih lanjut mengenai kriteria diagnosis, gejala, dan intervensinya.Â
Indikasi  ADHD   Â
Dilihat dari perilaku pemilik video yang diunggah pada akun TikTok @khairilsangakarapratama hanya menunjukkan perilaku tidak bisa diam, sedangkan pada gangguan ADHD sendiri ditandai dengan tiga gejala utama. Gangguan ADHD sendiri adalah gangguan dengan gerakan yang dilakukan dengan  tidak sadar (involunter) secara berlebihan dan kurangnya perhatian anak pada suatu hal. ADHD sendiri merupakan gangguan yang ditandai oleh perilaku kurangnya perhatian (inattention), hiperaktif, dan impulsif. Seseorang yang terkena gangguan ini akan sulit mempertahankan dan mengendalikan gerakan fisik. Dalam PPDGJ III Gangguan ADHD termasuk pada rumpun gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada masa kanak dan remaja.Â
Gangguan ADHD ini biasanya muncul pada usia 3 tahun namun, gejalanya akan lebih jelas terlihat ketika anak memasuki usia sekolah (6-7 tahun). Ada tiga gejala utama dari gangguan ADHD ini sendiri. Pertama kesulitan pemusatan perhatian (inattention) seperti sulit untuk berkonsentrasi, kesulitan mempertahankan perhatian pada satu aktivitas, dan tidak teliti. Kedua hiperaktivitas, hiperaktivitas ini ditandai dengan tingkat aktivitas fisik yang lebih tinggi, sulit untuk duduk dengan tenang dan diam, dan terlihat sangat aktif.Â
Ketiga impulsivitas, gejala impulsivitas ini seperti sulit untuk menunda keinginan, kesulitan untuk menunggu giliran, dan sering mengganggu anak yang lain. Gejala-gejala ini harus berlangsung minimal selama 6 bulan dan sudah terlihat sebelum anak berusia 7 tahun. Gangguan ADHD tidak bisa sembarang disamakan dengan perilaku lebih aktif dari biasanya dan kurang fokus karena terdapat kriteria diagnosis lain yang harus diperhatikan. Dalam kurun waktu tertentu pula, ADHD perlu diperhatikan secara khusus. Tidak menutup kemungkinan pula, dalam mendiagnosis muncul beberapa gejala gangguan yang sama. Oleh karena itu, self diagnose tidak dapat dilakukan dengan sembarangan dan dengan aspek yang tidak berdasar.Â
Diagnosis Pembanding
Dalam diagnosisnya, ADHD mempunyai persamaan diagnosis dengan gangguan lain, salah satunya adalah Disruptive Mood Dysregulation Disorder. Dalam DSM V disebutkan bahwa adanya tumpang tindih gejala dalam kasus gangguan mental. Dalam beberapa kasus, seseorang bisa memenuhi kriteria lebih dari satu diagnosis. Gangguan Disruptive Mood Dysregulation Disorder dapat muncul secara bersamaan dengan gangguan ADHD. ADHD dan Disruptive Mood Dysregulation Disorder merupakan gangguan yang berbeda, namun dalam diagnosisnya mempunyai gejala yang sama. Beberapa gejala yang sama yaitu:
Kesulitan mempertahankan atau memusatkan perhatian. Dalam hal ini ADHD hampir sama dengan Disruptive Mood Dysregulation Disorder di mana dalam melakukan kegiatannya akan dipengaruhi oleh suasana hati. Jika seseorang mempunyai suasana hati yang buruk, maka akan berpengaruh juga pada proses belajar dan kemampuan sosialnya.
Gejala lain yang sama antara ADHD dan Disruptive Mood Dysregulation Disorder yaitu impulsivitas. Seseorang dengan ADHD akan cenderung melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu dan akhirnya mereka akan melakukan kesalahan. Hal ini sama dengan Disruptive Mood Dysregulation Disorder yang cenderung menunjukkan perilaku impulsif terutama ledakan amarah yang mendadak.
Dalam dua gangguan ini, terdapat unsur pembeda dan dapat dijadikan pembanding dalam melakukan diagnosis, yaitu:Â
- Pada gangguan ADHD, gejala utama yang diperlihatkan adalah kesulitan dalam memberikan perhatian, perilaku impulsif, dan hiperaktif, sedangkan pada gangguan Disruptive Mood Dysregulation Disorder gejala utama yang diperhatikan adalah regulasi emosi yang sering dan intens serta diikuti ketidakmampuan dalam mengatur emosi.Â
- Gejala pembanding lainnya dapat dilihat dari durasi dan konsistensinya. Seseorang dengan ADHD, gejala diagnosis harus berlangsung selama enam bulan atau lebih dan secara konsisten, sedangkan pada Disruptive Mood Dysregulation Disorder ledakan amarah terjadi secara sering dan konsisten selama satu tahun.Â
Gejala yang mirip dengan ADHDÂ Â Â
Gangguan ADHD sendiri memiliki gejala yang mirip dengan gangguan Bipolar. Gejala umum pada ADHD dan gangguan Bipolar meliputi kelebihan energi dan penurunan kebutuhan tidur. Gejala khas yang membedakan ADHD dengan gangguan Bipolar pada anak adalah adanya rasa gembira dan elasi mood pada gangguan Bipolar.
ADHD dan gangguan Bipolar pada masa kanak-kanak sulit dibedakan. Orang manik dengan gangguan bipolar ditandai dengan perasaan bahagia atau euforia yang tidak terkendali, berbicara dengan sangat cepat dan antusias, banyak ide namun  sulit berkonsentrasi dan  tiba-tiba memiliki pikiran yang terlalu kuat dan kepercayaan diri yang berlebihan, sedangkan gangguan ADHD ditandai oleh kecemasan yang berlebihan, terutama dalam situasi yang membutuhkan relatif membutuhkan ketenangan. Bergantung pada situasinya, hal ini dapat mencakup jika anak harus tetap duduk, berlari atau melompat-lompat di dalam ruangan, bangkit dari posisi duduk, berbicara terlalu banyak  dan bersuara keras, atau menjadi gelisah dan berputar-putar.
Lalu bagaimana penanganannya?
Penanganan untuk anak ADHD dapat dilakukan dengan Terapi Bermain. Terapi ini berfokus untuk melatih konsentrasi, salah satu caranya yaitu dengan bermain karena kegiatan ini dapat melatih otak sekaligus menyenangkan bagi anak. Contohnya, menyusun puzzle ataupun balok, tebak-tebakan kartu, dan menghubungkan titik-titik. Dengan adanya terapi bermain ini diharapkan anak akan memiliki pengendalian diri yang jauh lebih baik.Â
Obat-obatan juga dapat berperan untuk penanganan ADHD. Obat-obatan sendiri digunakan untuk meningkatkan kemampuan berkonsentrasi. Akan tetapi dalam pemakaian obat-obatan tetap harus diperhatikan karena memiliki efek samping, obat-obatan hanya dapat digunakan jika direkomendasikan oleh dokter dan lewat resep dokter.Â
Berdasarkan kasus self diagnose di atas, tentu terdapat beberapa bahaya yang dapat timbul. Adanya over diagnose dapat membuat seseorang menjadi takut dan khawatir bahwa dirinya memang sudah terkena gangguan tersebut. Over diagnose ini akan berdampak pada mental dan membuat seseorang stres dan membawa pada gangguan yang lebih berat lagi. Saat seseorang memiliki kekhawatiran yang tinggi, tidak jarang pula berdampak pada penanganan dan kesalahan diagnose lainnya. Saat seseorang tidak mendapatkan intervensi yang sesuai, hal ini tentu akan berdampak juga pada gangguan yang dialami. Oleh karena itu, pemberian diagnosis sebaiknya dengan pendampingan ahli atau psikolog agar tidak terjadi miss diagnose.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H