Mohon tunggu...
Resha RizkyFauzi
Resha RizkyFauzi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi - Broadcasting Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi (Universitas Ahmad Dahlan)

Hidup memang suatu pilihan yang harus kita pilih dan kita jalani :)

Selanjutnya

Tutup

Film

Representasi Stereotype Jawa dalam Film 'Yowis Ben'

16 Januari 2022   23:42 Diperbarui: 16 Januari 2022   23:48 2195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film “Yowis Ben” merupakan film drama komedi Indonesia yang dirilis pada 22 Februari 2018. Film ini dibintangi oleh Bayu Skak, Brandon Salim, Cut Meyriska, Joshua Suherman, serta Tutus Thomson. Disutradarai oleh Fajar Nugros dan Bayu Skak, film ini 80% menggunakan bahasa Jawa. Film “Yowis Ben” ini juga merupakan perwakilan salah satu masyarakat Jawa Timur yang menceritakan tentang keberhasilannya dalam mencapai angan, cinta dan mampu bersaing dengan orang - orang modern. Karakter sentral yang menjadi faktor penggerak Yowis Ben adalah siswa SMA asli Jawa Timur bertampang pas - pasan dengan kondisi finansial pas - pasan pula bernama Bayu.

Bayu bukanlah siswa tenar karena bakat atau pencapaian akademiknya di sekolah. Bayu cukup dikenal oleh rekan - rekannya karena dia membantu menjajakan pecel buatan ibunya sehingga memiliki panggilan “Pecel Boy”. Statusnya sebagai siswa jelata ini jelas membuatnya kesusahan untuk menambat hati para perempuan, terlebih lagi Bayu secara fisik mengincar siswi yang cantik dan populer. Saat Bayu jatuh hati kepada Susan yang merupakan primadona sekolah, dia memutuskan untuk melakukan perubahan dalam dirinya demi meningkatkan strata sosial.

           

Sobbur dalam Jurnal E-Komunikasi Vol. 1, No.1 (2013) menyatakan bahwa Film sebagai salah satu jenis media massa yang menjadi saluran aneka gagasan konsep, dan mencuatkan efek dari penayangannya.  Ketika seseorang melihat sebuah film, secara tidak langsung mereka secara otomatis akan menangkap persepsi dan mereka membangun sendiri theater of mind dalam pikiran masing - masing. Seorang pembuat film mempersentasikan ide - ide dan mengkonversikan dalam sistem tanda dan lambang untuk mencapai respons yang diharapkan.

Menurut Pettman (Arviani, 2007), Berbicara mengenai representasi, terlebih representasi mengenai identitas sebuah budaya atau etnis minoritas yang selama ini “tersisih” dan kurang mendapat ruang di media mainstream maka perspektif yang digunakan dalam menggambarkan “mereka” penting untuk dicermati, representasi memang merupakan sebuah isu yang kompleks, tetapi di dalamnya terdapat beberapa makna konteks yang relevan.

Bayu bersama dengan sahabatnya, Doni yang tengah berusaha mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya, Bayu berinisiatif membentuk band. Dari hasil menyebar pamflet seadanya, dua sahabat ini berhasil merekrut pemukul bedug masjid yang diam - diam memiliki bakat terselubung sebagai drummer, Yayan. Turut bergabung bersama murid pindahan yang digilai karena tampangnya, Nando.

Kemudian mengusung nama Yowis Ben yang tercetus dari musyawarah berujung pertikaian, band ini mengusung satu misi : pembuktian diri. Suatu misi yang ternyata mudah saja untuk dicapai sampai kemudian cobaan menghadang dalam wujud seorang perempuan yang seketika mengancam keutuhan band.

Tema mengenai butuh pengakuan, pencarian jati diri, dan mengejar cinta adalah tema yang paling sering muncul dalam film remaja. Jadi, penonton yang rajin menonton film remaja bertema serupa pasti sudah bisa menebak kisah Yowis Ben dari awal hingga akhir. Kisah ini pun dengan sangat rapi dan baik diceritakan lewat skenario buatan Bagus Bramanti. Ceritanya masih juga dibumbui pesan-pesan moral, mulai jangan bolos sekolah, rajin ibadah, hingga toleransi antar umat beragama dan antar kelas sosial. Dilihat dari segi jalannya cerita Yowis Ben sebenarnya bukan jalan cerita baru dalam sebuah film. Awal ceritanya mengenai seorang pemuda yang membentuk band demi menaklukkan hati seorang pemudi yang telah beberapa kali kita jumpai dalam film sejenis, termasuk Suckseed (2011) dan Sing Street (2016). Yang lantas memberi keasyikkan tersendiri dalam menyaksikannya.

Yowis Ben adalah asupan humor yang kental, tembang-tembang renyah di telinga dan penuturannya yang enerjik. Sedari menit pembuka, film yang mengejawantahkan skrip rekaan Bagus Bramanti dan Gea Rexy ini memang telah tancap gas. Perkenalan kepada sosok Bayu ditempuh dengan cara ngelaba yang sekaligus bertujuan untuk membiasakan penonton kepada tone yang diterapkan oleh film. Bisa dibilang, sepanjang Yowis Ben mengalun di separuh awal durasi, canda tawa adalah menu utamanya. Canda tawanya bersumber dari humor - humor receh unfaedah yang penulis yakini merupakan santapan sehari - hari dan bagi sebagian penonton.

Adanya faktor kedekatan ini memiliki peranan penting terhadap bagaimana humor - humor yang dilontarkan bisa terdengar sangat lucu. Keputusan oleh pembuat film untuk tetap mempertahankan dialog dalam Bahasa Jawa dengan dialek Jawa Malang harus diakui bukan saja berani tetapi juga tepat digunakan. Jika dialognya ditranslate ke Bahasa Indonesia, kelucuan yang ditimbulkan mungkin tidak asik seperti ini dan malah bisa jadi berakhir aneh, karena memang tidak semua leluconnya cocok diucapkan dalam Bahasa Indonesia.

 

Dalam film ini jawa merepresentasikan dengan stereotype bahwa jawa adalah orang - orang yang lugu, kampungan, medhok dan lebih sederhana. Jawa adalah suku yang kampungan dengan kesederhanaan sehingga pada film ini menurut orang yang memiliki pandangan berbeda beranggapan terlalu di hinakan. Padahal Jawa dalam film ini banyak membuktikan kekuatan dengan kesederhanaannya mampu mendirikan Band dengan nama Yowis Band, meskipun dalam keadaan sederhananya tidak mudah untuk putus asa dan mematahkan stereotype bahwa jawa adalah orang-orang yang lugu, kampungan, medhok dan lebih sederhana.

Film ini mendapatkan rating dari masyarakat yang cukup baik, terutama masyarakat yang bukan merupakan suku Jawa mendukung dengan adanya film tersebut sebagai motivasi untuk tidak mudah menyerah dalam keadaan sulit sekalipun dengan kesederhanaan dan penulis sendiri menikmati film ini, namun kurang setuju apabila masyarakat jawa dipandang lugu, kampungan serta sederhana dengan identitas yang ditampilkan pada film ini, sehingga menyudutkan suku jawa sebagai kampungan. Walaupun memang dalam cerita selalu dipandang rendah, walaupun pada akhirnya pembuktiannya sangat kuat dalam film ini untuk bangkit dari direndahkan tersebut menjadi suatu pujian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun