Mohon tunggu...
narendra arimurti
narendra arimurti Mohon Tunggu... -

Kebenaran adalah milik Tuhan YME.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Wajah Film Indonesia ?

3 Februari 2015   23:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:53 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5.

Killers (2014)

Terlihat secara jelas pada tabel di atas menggambarkan beberapa film yang beredar di Indonesia melibatkan produser, sutradara dan bahkan pemain asing dalam pembuatan sebuah filmnya, misalnya saja Java Heat (2013), Dead Mine (2012) yang menggunakan produse asing untuk menghasilkan film. Selain itu, ada juga yang memiliki gabungan produser khususnya pada pembuatan film Killers (2014) melibatkan produser luar negeri maupun dari dalam negeri dan dari kelima film tersebut hanya dua film yang melibatkan produser dari Indonesia yaitu, The Raid (2011), dan Modus Anomali (2012).

Selanjutnya pada tabel di atas juga menggambarkan sutradara dari luar negeri yang dalam pembuatan sebuah film, terlihat ada tiga film yang menggunakan sutradara asing untuk menghasilkan film, antara lain Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011). Namun ada juga yang menggunakan hasil karya anak bangsa dan ada untuk menghasilkan sebuah film, dan terlihat pada tabel ada dua film yaitu Modus Anomali (2012), dan Killers (2014).

Tabel di atas juga mencoba memberikan petunjuk berkaitan dengan penggunaan pemain luar negeri dan dalam negeri dalam menghasilkan sebuah filmnya. Tabel di atas memperlihatkan ada tiga film yang menggunakan pemain asing (luar negeri) dan dalam negeri untuk membuat film, ketiga film tersebut adalah Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan Killers (2014). Tetapi juga ada yang diperlihatkan pada tabel di atas, memberikan informasi dua film yang menggunakan mayoritas dalam pembuatan filmnya hanya fokus dengan pemain dari dalam negeri yaitu The Raid (2011), dan Modus Anomali (2012).

Pada tabel di atas juga memberikan pentunjuk secara tidak langsung bahwa, kelima film tersebut masih ada campur tangan dari unsur-unsur orang asing dalam pembuatan sebuah film. Kecuali pada film Modus Anomali (2012), hampir semua unsur pembangun filmnya menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berasal dari Indonesia, antara lain mulai dari produser, lalu sutradaranya, sampai penggunaan pemain-pemain yang berasal dari Indonesia namun yang menghalangi atau kendala Modus Anomali (2012) menjadi film Indonesia adalah penggunaan bahasa Inggris dalam film tersebut. Selain itu keempat film yang lainnya juga ada pengaruh dari campur tangan orang luar negeri film tersebut adalah Killers (2014), Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011). Dan dari kelima film tersebut yaitu Modus Anomali (2012), Killers (2014), Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011) tidak dapat dikatakan film Indonesia karena untuk unsur-unsur pembuatannya, masih ada campur tangan orang asing.

Film Indonesia berkaitan erat dengan film nasional, film nasional ini merupakan hasil gagasan dan konsep film yang diproduksi secara lokal dan bergerak sesuai dengan sejarah dan kondisi sosial-budaya Indonesia. Untuk film nasional ada tiga gagasan yang perlu diperhatikan antara lain, yang pertama adalah film nasional harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia, untuk yang kedua film nasional kehadirannya harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya Bangsa Indonesia berhasil merobohkan dominasi kolonialisme, dan yang terakhir atau ketiga film nasional harus mampu mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia dalam pembangunan Watak dan Kebangsaan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah Character and Nation building (Cheng, 2011:14). Tetapi ada beberapa film yang berhasil mengangkat identitas kultural bangsa Indonesia, beberapa film tersebut adalah karya Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Doa dan Lewat Djam Malam, selanjutnya Asrul Sani yang berjudul Bulan di Atas Kuburan serta Para Perintis Kemerdekaan, lalu karya dari Sjuman Djaya berjudul Si Doel Anak Modern dan Si Doel Anak Sekolahan, yang lainnya adalah Nyak Abbas Akub yang memiliki judul Cintaku di Rumah Susun dan Inem Pelayan Seksi, selanjutnya karya dari M.T Risjaf yaitu dengan Naga Bonar, karya Chairul Umam yang berjudul Kejarlah Daku Kau Kutangkap, serta Ramadan dan Ramona dan yang terakhir adalah Riri Riza yaitu Eliana, Eliana.

Sinema dapat berperan, dan bahkan dapat menjadi bagian dalam mengkonstruksi dan menunjukkan identitas nasional karena sinema paling mudah untuk diterima masyarakat serta berbagai umur untuk menyaksikannya, selain itu ada hal yang terpenting untuk diperhatikan sinem dapat berperan dam juga menjadi bagian dalam mengkonstruksi bahkan menunjukkan identitas nasional, apabila adanya campur tangan pemerintah yang serius dalam upaya menujukkan identitas nasional, serta juga perlu adanya kesadaran dari para produser untuk tidak hanya mencari keuntungan, dalam untuk pembuatan sebuah film. Mencari keuntungan ini berkaitan dengan maslaah komersialisme karena komersialisme ini berujung pada produk-produk yang menjual mimpi, hidup mewah, juga berkaitan dengan erotisme, dan juga kekerasan yang sayangnya bukan mimpi rakyat Indonesia pada umumnya. Ada hal yang lain perlu perhatian agar sinema mampu mengkonstruksi dan menunjukkan identitas nasional adalah dari sisi kreativitas yang perlu dikembangkan dalam pembuatan sebuah film sehingga penonton dapat menjadi cerdas sehingga memahami dengan “identitas nasionalnya”. Sebenarnya dalam film mutakir juga beberapa sineas berupaya untuk berjuang dalam mencari identitas kultural dalam film Indonesia generasi baru misalnya saja, Eliana, Eliana (2002) yang disutradari Riri Riza, Bendera (2002) merupakan hasil karya Nan Achnas, Arisan! (2003) hasil dari sutradara Nia Dinata dan Mengerjar Matahari (2004) karya dari Rudi Soedjarwo. Pada intinya adalah peranan seluruh warga Indonesia, tidak hanya pemerintah, pelaku ekonomi dan serta pula sineas untuk membangun identitas nasional (kerja sama), karena dengan adanya identitas nasional merupakan jati diri bangsa.

Sumber

Cheng, Khoo Gaik dan Barker, Thomas. 2011. Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita. Jakarta: Salemba Humanika.

Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z About Indonesian Film. Bandung: Mizan Media Utama.

Sasono, Erik, dkk. 2001. Menjegal Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film.

Siagian, Gayus. 2006. Menilai Film. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun