Perkembangan perfilman dunia saat ini khususnya Hollywood, memiliki banyak kemajuan dapat terlihat dari ide-ide cerita yang ditampilkan dan juga penggunaan efek visual 3D misalnya Inception (2010), Transformers (2007) dan Avatar (2009). Untuk usaha dalam membangun film Indonesia semacam itu sudah ada. Namun, belum sampai ke tingkat industri yang mapan, ada beberapa yang kendala utama yang dihadapi dalam perkembangan film Indonesia adalah permodalan. Selain itu, juga dukungan dari teknologi film (mulai dari pengadaan peralatan film sampai dengan penyediaan laboratorium modern untuk tempat pemrosesan sebuah film) dan permasalahan mengenai kekurangan tenaga pembuat yang benar-benar terampil, hingga ke soal-soal peredaran film yang bersaing keras dengan produksi film impor. Kendala lain yang sering muncul adalah soal iklim kreativitas atau kebebasan berkreasi bagi para pembuat film (Sumarno, 1996: 20).
Film Indonesia juga tidak tertinggal dalam pengembangan ide cerita, meskipun kenyataannya, dalam segi teknologi masih tertinggal dari film-film Hollywood. Perkembangan perfilman di Indonesia juga banyak memiliki ide cerita yang menarik, antara lain film yang bergenre horor dan pernah menduduki puncak perfilman Indonesia melalui penampilan artis Suzanna. misalnya film Sundel Bolong (1981) dan Ajian Ratu Laut Kidul (1991). Selain itu juga ada film yang menghadirkan tema komedi yang berjudul Mana Bisa Tahan (1990), Lupa Aturan Main (1990) dan dibintangi grup pelawak yang terkenal bernama Warkop DKI dengan personil tiga orang pelawak yaitu Dono, Kasino dan Indro. Namun seiring perkembangan perfilman Indonesia sekarang muncul juga berbagai ide cerita yang menarik untuk disaksikan oleh penonton, misalnya saja saat ini banyak sutradara yang mengangkat film-filmnya dari adaptasi novel karya anak bangsa, sebagai contoh: Perahu kertas (2012), Rectoverso (2013), dan Madre (2013) dari ketiga judul tersebut diangkat dari novel karya Dewi Lestari, selain itu juga Laskar Pelangi (2005), Edensor (2013) yang merupakan karya Andrea Hirata.
Untuk memperdalam film Indonesia, diperlukan pemahaman mengenai film Indonesia secara umum. Pemahaman tentang film Indonesia sudah berlangsung panjang. Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi tahun 1995 menjelaskan bahwa film mempunyai fungsi yang amat mulia, karena film dan televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma baktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila. Apabila fungsi tersebut bekerja secara normal, seharusnya identitas kultural bangsa Indonesia akan hadir dalam setiap film yang dibuat orang Indonesia, misalnya wajah Indonesia hadir dalam film yang baik, seperti menampilkan hal-hal yang berkaitan dengan penggalan-penggalan tertentu seperti suku, agama, atau kelas sosial. Artinya, identitas kultural sebuah bangsa atau masyarakat seharusnya dimunculkan di layar lebar dan layar kaca tersebut. Secara umum dikatakan bahwa film Indonesia adalah film yang memiliki unsur identitas kultural bangsa Indonesia sendiri di dalam film itu, sehingga secara tidak langsung mendorong para penonton untuk memperoleh gambaran yang lebih jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya (Imanjaya, 2006: 27-31). Selain itu, dalam salah satu Ketetapan MPR jelas ditandaskan bahwa film tersebut bukan semata-mata barang dagangan, melainkan juga mempunyai fungsi sebagai alat pendidikan dan penerangan (Siagian, 2006: 82). Misalnya saja anak bangsa membuat film yang di dalamnya harus memiliki nilai-nilai kebudayaan Indonesia, nilai-nilai tersebut dapat berupa seni bela diri asli Indonesia (pencak silat) sehingga masyarakat luar negeri mengenali kebudayaan Indonesia melalui film, maupun juga dari segi kekayaan alam Indonesia.
Pemerintah rupanya juga turut berusaha menjaga identitas kultural bangsa Indonesia, melalui beberapa kebijakan kebudayaan, pemerintah memperlihatkan posisinya yang berhadapan dengan pasar, maksudnya pemerintah sangat promotif dalam rangka mempromosikan film dalam negeri sehingga secara tidak langsung memberikan dukungan secara ekonomi. Tetapi sisi lainnya campur tangan pemerintah memberikan kesempatan pada arus film asing untuk masuk ke Indonesia, misalnya jatah waktu tayang (screen time quota) merupakan kebijakan yang mengharuskan bioskop untuk menyediakan waktu dan jam tayang bagi film nasional. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang bersifat promotif agar film nasional bukan sekedar mampu bersaing dengan film asing, melainkan agar mendapat kepastian tempat di pasar. Terlepas dari kualitas film nasional tersebut, yang berarti sebuah kebijakan yang bersifat promotif dalam hal jatah waktu tayang ini, merupakan kebijakan yang menghendaki agar film nasional tidak perlu bersaing secara terbuka dengan film asing di dalam negeri lantaran tempatnya dalam distribusi dan eksebisi sudah dijamin oleh negara, selain itu pemerintah juga membuat rencana pembiayaan produksi film. Ini merupakan tanda kebijakan yang sangat promotif yang di lakukan pemerintah Indonesia. Kebijakan tersebut terkait dengan pendanaan produksi oleh pemerintah yang dihubungkan dengan produksi film-film yang dianggaap bermutu yang berarti film yang memiliki pendidikan kultural (Sasono, 2011: 80-104).
Meskipun pemerintah telah berjuang untuk memberikan ruang secara tidak langsung untuk menghadirkan film-film Indonesia yang memiliki identitas kultural, namun dalam perjalanannya film Indonesia mengalami beberapa kendala untuk berupaya menghadirkan identitas kultural lokal, khususnya dalam film Indonesia kendala tersebut yang pertama adalah komersialisme film Indonesia yang dewasa ini dibuat oleh produser yang semata-mata sebagai alat hiburan. Seiring perjalanan waktu cerita film-film Indonesia tidak datang dari pengarang-pengarang yang ahli dalam pembuatan film namun, sekarang film Indonesia dikuasai oleh orang-orang yang tujuannya hanya membuat sebuah film tersebut diterima oleh masyarakat sehingga mendapat keuntungan semata. Bagian kedua adalah sistem bintang, untuk sistem bintang ini terlahir karena adanya pengaruh kuasa orang yang memiliki tujuan komersil saja, dan bukan hasil pemikiran para ahli film. Sistem bintang ini juga menjadi suatu hambatan dalam pembuatan film-film yang berkualitas, karena sistem bintang ini secara tidak langsung membuat sutradara harus berusaha menyesuaikan cerita dengan karakter bintangnya, misalnya saja sebuah film harus berakhir dengan cerita yang menyedihkan, namun karakter pemain atau bintangnya adalah bintang yang memiliki karakter yang menyenangkan, maka sutradara miliki dua pilihan pertama adalah tidak menggunakan bintang atau pemain tersebut dan hal tersebut merupakan melanggar dari keinginan produser, dan kedua mengubah akhir dari jalan cerita. Inti permasalahan yang muncul dari sistem bintang ini, adalah mayoritas media massa mengangkat sisi bintang film hanya pada kehidupan pribadi sang pemain saja, untuk yang berkaitan dengan kritikan akting ataupun sebuah hasil karyanya kurang diperhatikan. Pada bagian ketiga adalah adanya budaya pengekor, dalam hal budaya pengekor ini beberapa film Indonesia berusaha menampilkan unsur-unsur kemewahan (rumah mewah, klub malam, mobil mewah) misalnya dalam film Street Society (2014) yang memperlihatkan mobil-mobil mewah, selain itu juga terlihat pada sisi aktor dan bahkan aktris atau pemeran sebuah film di Indonesia juga mengekor budaya luar negeri, jadi seakan-akan mereka berperan bukan seperti tokoh Indonesia, untuk contoh saat ini adalah film Crush (2014) dan dibintangi oleh grup girlband Cherrybelle, yang tampak mirip dengan girlband asal Korea Selatan. Untuk yang terakhir atau bagian keempat adalah budaya mencontek, ternyata budaya menyontek tidak belaku pada Ujian Nasional saja, namun film juga memiliki hal yang serupa budaya menyontek misalnya saja film Terang Boelan (1937), yang menyontek Jungle Princess (1936) (Imanjaya, 2006: 32-38).
Akhir-akhir ini fenomena perfilman Indonesia tidak hanya tertuju pada film horor, komedi, juga fokus pada pengangkatan novel ke layar lebar, namun ada beberapa film Indonesia yang mulai merambah dunia internasional, dengan contoh sebagai berikut: film yang berjudul Modus Anomali (2012), The Raid (2011), The Raid 2: Berandal (2014), Killers (2014), Dead Mine (2012), dan Java Heat (2013). Dari beberapa judul film yang telah disebutkan ternyata memiliki campur tangan sutradara asing di antaranya adalah film yang berjudul The Raid (2011), The Raid 2: Berandal (2014) yang disutradarai oleh Gareth Evans, Dead Mine (2012) hasil karya sutradara Steven Sheil, lalu Java Heat (2013) merupakan karya dari Conor Allyn dan khusus Killers(2014) disutradari oleh anak bangsa Timo Tjahjanto bersama Kimo Stamboel, namun yang menjadi produser dalam film ini gabungan antara Jepang dan Indonesia yaitu Yoshinori Chiba dengan Daniel Mananta.
Film yang berjudul Modus Anomali (2012) merupakan hasil karya dari sutradara Joko Anwar. Ada beberapa karya yang telah dihasilkan terlebih dahulu olehnya, antara lain Kala (2008), dan juga Pintu Terlarang (2009). Dalam film Modus Anomali (2012) ini memang tidak terlepas dari kuasa sutradara, karena sutradara merupakan orang yang mengatur laku di depan kamera dan mengarahkan akting serta dialog, sutradara juga berperan dalam mengontrol posisi kamera beserta gerak kamera, suara, dan pencahayaan (Sumarno, 1996: 34). Kuasa Joko Anwar sangat terasa pada film ini, karena membuat penonton menjadi tegang dan penuh rasa penasaran keadaan apa yang terjadi pada tokoh utama yang diperankan oleh Rio Dewanto. Joko Anwar termasuk ke dalam kategori sutradara yang memiliki sudut idealis kontemporer, yang maksudnya adalah berusaha menggabungkan idealisme dan kepentingan komersial (Cheng, 2011: 23). Sehingga dalam kasus film Modus Anomali ini, ia merupakan bukan film Indonesia, meskipun film tersebut dibintangi oleh beberapa artis yang terkenal dari Indonesia misalnya Rio Dewanto, Marsha Timothy, dan Surya Saputra. Namun, yang membuat film tersebut tidak termasuk ke dalam film Indonesia adalah karena menggunakan dialog bahasa Inggris, sehingga ia tidak mencerminkan kultur bangsa Indonesiayang seharusnya film tersebut menggunakan bahasa Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan film Indonesia apabila mampu untuk menghadirkan kultur dalam film itu sendiri misalnya menggunakan keseluruhan dalam produksi film menggunakan SDM (Sumber Daya Manusia) dan SDA (Sumber Daya Alam) asli dari Indonesia.
Untuk film Java Heat (2013) yang merupakan hasil dari sutradara Conor Allyn menceritakan tentang polisi dan teroris. Teroris tersebut berusaha untuk menculik putri keraton namun ia harus berhadapan pada tim anti-teroris yang biasa disebut dengan Densus 88 yang merupakan bentukan satuan polisi khusus yang menggunakan latar suasana kota Yogyakarta sebagai lokasi syutingnya. Film ini menghadirkan beberapa aktor dan aktris yang terkenal bahkan dari luar negeri yang pernah bermain film Twilight yaitu Kellan Lutz, juga ada artis dari dalam negeri yang tidak kalah bersinarnya dalam dunia perfilman Indonesia, yaitu Ario Bayu, VJ Mike dan Atiqah Hasiholan. Film ini juga memunculkan keanekaragaman budaya di Indonesia, misalnya saja ada unsur keraton yang ditampilkan selanjutnya ada unsur keagamaan juga coba untuk dihadirkan oleh sutradara yaitu agama Muslim dan Katolik. Dalam film yang berjudul Java Heat juga bukan film Indonesia, meskipun di dalamnya memasukkan unsur-unsur budaya khas Yogyakarta dengan memunculkan suasana keraton, juga sudut-sudut kota Yogyakarta tergambarkan degan jelas dan beberapa aktor yang bermain juga ada orang Indonesia yaitu VJ Mike, Ario Bayu bahkan Atiqah Hasiholan. Namun film ini dapat dikatakan bukan film Indonesia karena untuk pembuatan film ini melibatkan orang-orang asing, bisa terlihat dari aktor yang bermain juga pernah bermain dalam film Twilight dan juga sutradara yang terlibat untuk pembuatan film ini bukan orang Indonesia, karena syarat film Indonesia harus seluruh elemen dalam pembuatan film itu adalah orang Indonesia.
Film yang berjudul Dead Mine (2012), merupakan film horor yang berlatar cerita sejarah. Dari sisi pemain juga memiliki keunikan tersendiri karena menggabungkan beberapa artis dari Asia Tenggara dan artis yang berasal dari Indonesia juga turut serta dalam pembuatan film ini misalnya saja, aktor yang pernah bermain dalam Sitkom Suami-Suami Takut Istri yang menjadi Bang Tigor, selain itu Ario Bayu, Joe Taslim dan Mike Lewis khusus Ario Bayu dengan Joe Taslim untuk urusan berakting sudah tidak diragukan lagi. Dead Mine ini mengkisahkan tentang ilmuan dan sekelompok tentara bayaran, yang mencoba mencari harta karun peninggalan zaman penjajahan Jepang dan pada akhir ceritanya seluruh tokoh meninggal ditangan makhluk yang digambarkan dalam film itu menggunakan pakaian pasukan Jepang zaman kerajaan. Film Dead Mine (2012), juga bukan film Indonesia karena sutradara pembuat film tersebut tidak berasal dari Indonesia dan bahkan beberapa pemain filmnya bukan asli orang Indonesia karena beberapa pemainnya gabungan dari Asia Tenggara.
Untuk film yang berjudul The Raid (2011), adalah hasil sutradara asing yang bernama Gareth Evans dan film ini ternyata berhasil menarik perhatian perfilman dari luar negeri. The Raid merupakan film aksi yang penuh adegan kekerasan dengan latar cerita tentang satuan polisi ingin masuk ke suatu gedung bertingkat, di dalam gedung tersebut dikuasai oleh berbagai penjahat dengan tingkat kejahatan yang bermacam-macam dan yang menjadi penguasa utama tempat tersebut seorang penjahat kelas “kakap”. Film tersebut dibintangi oleh beberapa artis pendang baru Joe Taslim, Ario Bayu dan beberapa artis yang sudah memiliki jam terbang. Dalam film The Raid ini menampilkan adegan penuh aksi yang menegangkan para penontonnya, karena peristiwa pemukulan, dan tembak-menembak. Film ini khususnya dalam aksi pukul-memukul menggunakan beladiri yaitu silat yang merupakan ciri khas dari negara Indonesia, dan bahkan hampir seluruh isi tersebut menggunakan adegan pertarungan jarak dekat. Meskipun film ini mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat dalam negeri saja, namun masyrakat luar negeri juga tertarik untuk menonton film yang penuh adegan aksi ini. Berkaitan dengan The Raid ini, ia merupakan hasil karya sutradara asing, dan sutradara tersebut berusaha menghadirkan adegan pertarungan dengan aksi-aksi beladiri kelas atas, yang menggunakan bela diri asli Indonesia yaitu silat dan juga menampilkan beberapa pemain asli dari Indonesia . Walaupun sudah menggunakan seni beladiri yang berasal dari negara Indoensia, serta menggunakan pemain atau aktor-aktor Indonesia, tidak mampu film The Raid disebut film Indonesia karena yang menjadi sutradara adalah orang asing yang bernama Gareth Evans, meskipun film tersebut menampilkan seni beladiri asal Indonesia tetap saja tidak mampu untuk dikatakan film Indonesia karena film Indonesia harus mampu menghadirkan identitas kultural bangsa.
Ada juga film terbaru yang merupakan kerja sama antara Jepang dan Indonesia yaitu yang berjudul Killers (2014) yang disutradari oleh dua sineas dari Indonesia yaitu Timo Tjahjanto bersama Kimo Stamboel. Film ini secara tidak langsung menceritakan kehidupan para Yakuza (merupakan suatu perkumpulan anggota khusus semacam mafia) di Jepang yang gemar atau senang menyiksa orang lalu direkam, selanjutnya menceritakan serta kehidupan orang jurnalis yang hidup di kota Jakarta. Film ini dibintangi oleh beberapa artis papan atas Indonesia antara lain Oka Antara, dan juga Luna Maya, namun juga ada beberapa pemain yang lainnya berasal dari Jepang sendiri untuk latar tempat yang digunakan adalah kota Jepang dan Jakarta. Terlihat sekilas, film Killers ini merupakan gabungan antara kerja sama antara Jepang dengan Indonesia yang melibatkan beberapa unsur antara lain dari produser dari Jepang dan juga Indonesia. Tetapi hal yang menarik dari hal ini adalah sutradara yang membuat film Killers ini adalah orang Indonesia asli yang bernama Timo Tjahjanto bersama Kimo Stamboel. Untuk film Killers ini tidak bisa dikatakan termasuk ke dalam film Indonesia, ada beberapa faktor yang mempengaruhi bahwa tidak termasuk ke dalam film Indonesia antara lain Produser merupakan kerja sama antara orang Jepang dengan Indonesia, selain itu aktor-aktor yang terlibat tidak hanya dari orang Indonesia tetapi juga melibatkan pemain asing yang berasal dari negara Jepang. Dan di bawah ini akan menampilkan tabel yang berkaitan dengan fenomena film-film yang beredar di Indonesia yang menggunakan usnur-unsur dalam pembuatan filmnya menggunakan bahasa asing dan bahkan sutradara asing, dan berikut ini tabelnya,
Tabel Film Yang Menggunakan Unsur Dalam Maupun Luar Negeri
(Produser, Sutradara, dan Pemain)
No.
Judul Film
Produser
Sutradara
Pemain
Luar Negeri
Dalam Negeri
Luar Negeri
Dalam Negeri
Luar Negeri
Dalam Negeri
1.
Modus Anomali (2012)
√
√
√
2.
Java Heat (2013)
√
√
√
√
3.
Dead Mine
(2012)
√
√
√
√
4.
The Raid
(2011)
√
√
√
5.
Killers (2014)
√
√
√
√
√
Terlihat secara jelas pada tabel di atas menggambarkan beberapa film yang beredar di Indonesia melibatkan produser, sutradara dan bahkan pemain asing dalam pembuatan sebuah filmnya, misalnya saja Java Heat (2013), Dead Mine (2012) yang menggunakan produse asing untuk menghasilkan film. Selain itu, ada juga yang memiliki gabungan produser khususnya pada pembuatan film Killers (2014) melibatkan produser luar negeri maupun dari dalam negeri dan dari kelima film tersebut hanya dua film yang melibatkan produser dari Indonesia yaitu, The Raid (2011), dan Modus Anomali (2012).
Selanjutnya pada tabel di atas juga menggambarkan sutradara dari luar negeri yang dalam pembuatan sebuah film, terlihat ada tiga film yang menggunakan sutradara asing untuk menghasilkan film, antara lain Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011). Namun ada juga yang menggunakan hasil karya anak bangsa dan ada untuk menghasilkan sebuah film, dan terlihat pada tabel ada dua film yaitu Modus Anomali (2012), dan Killers (2014).
Tabel di atas juga mencoba memberikan petunjuk berkaitan dengan penggunaan pemain luar negeri dan dalam negeri dalam menghasilkan sebuah filmnya. Tabel di atas memperlihatkan ada tiga film yang menggunakan pemain asing (luar negeri) dan dalam negeri untuk membuat film, ketiga film tersebut adalah Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan Killers (2014). Tetapi juga ada yang diperlihatkan pada tabel di atas, memberikan informasi dua film yang menggunakan mayoritas dalam pembuatan filmnya hanya fokus dengan pemain dari dalam negeri yaitu The Raid (2011), dan Modus Anomali (2012).
Pada tabel di atas juga memberikan pentunjuk secara tidak langsung bahwa, kelima film tersebut masih ada campur tangan dari unsur-unsur orang asing dalam pembuatan sebuah film. Kecuali pada film Modus Anomali (2012), hampir semua unsur pembangun filmnya menggunakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berasal dari Indonesia, antara lain mulai dari produser, lalu sutradaranya, sampai penggunaan pemain-pemain yang berasal dari Indonesia namun yang menghalangi atau kendala Modus Anomali (2012) menjadi film Indonesia adalah penggunaan bahasa Inggris dalam film tersebut. Selain itu keempat film yang lainnya juga ada pengaruh dari campur tangan orang luar negeri film tersebut adalah Killers (2014), Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011). Dan dari kelima film tersebut yaitu Modus Anomali (2012), Killers (2014), Java Heat (2013), Dead Mine (2012), dan The Raid (2011) tidak dapat dikatakan film Indonesia karena untuk unsur-unsur pembuatannya, masih ada campur tangan orang asing.
Film Indonesia berkaitan erat dengan film nasional, film nasional ini merupakan hasil gagasan dan konsep film yang diproduksi secara lokal dan bergerak sesuai dengan sejarah dan kondisi sosial-budaya Indonesia. Untuk film nasional ada tiga gagasan yang perlu diperhatikan antara lain, yang pertama adalah film nasional harus merupakan produk kebudayaan Bangsa Indonesia, untuk yang kedua film nasional kehadirannya harus dapat menggantikan dominasi film asing, seperti halnya Bangsa Indonesia berhasil merobohkan dominasi kolonialisme, dan yang terakhir atau ketiga film nasional harus mampu mengabdi kepada Bangsa dan Negara Indonesia dalam pembangunan Watak dan Kebangsaan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah Character and Nation building (Cheng, 2011:14). Tetapi ada beberapa film yang berhasil mengangkat identitas kultural bangsa Indonesia, beberapa film tersebut adalah karya Usmar Ismail yang berjudul Darah dan Doa dan Lewat Djam Malam, selanjutnya Asrul Sani yang berjudul Bulan di Atas Kuburan serta Para Perintis Kemerdekaan, lalu karya dari Sjuman Djaya berjudul Si Doel Anak Modern dan Si Doel Anak Sekolahan, yang lainnya adalah Nyak Abbas Akub yang memiliki judul Cintaku di Rumah Susun dan Inem Pelayan Seksi, selanjutnya karya dari M.T Risjaf yaitu dengan Naga Bonar, karya Chairul Umam yang berjudul Kejarlah Daku Kau Kutangkap, serta Ramadan dan Ramona dan yang terakhir adalah Riri Riza yaitu Eliana, Eliana.
Sinema dapat berperan, dan bahkan dapat menjadi bagian dalam mengkonstruksi dan menunjukkan identitas nasional karena sinema paling mudah untuk diterima masyarakat serta berbagai umur untuk menyaksikannya, selain itu ada hal yang terpenting untuk diperhatikan sinem dapat berperan dam juga menjadi bagian dalam mengkonstruksi bahkan menunjukkan identitas nasional, apabila adanya campur tangan pemerintah yang serius dalam upaya menujukkan identitas nasional, serta juga perlu adanya kesadaran dari para produser untuk tidak hanya mencari keuntungan, dalam untuk pembuatan sebuah film. Mencari keuntungan ini berkaitan dengan maslaah komersialisme karena komersialisme ini berujung pada produk-produk yang menjual mimpi, hidup mewah, juga berkaitan dengan erotisme, dan juga kekerasan yang sayangnya bukan mimpi rakyat Indonesia pada umumnya. Ada hal yang lain perlu perhatian agar sinema mampu mengkonstruksi dan menunjukkan identitas nasional adalah dari sisi kreativitas yang perlu dikembangkan dalam pembuatan sebuah film sehingga penonton dapat menjadi cerdas sehingga memahami dengan “identitas nasionalnya”. Sebenarnya dalam film mutakir juga beberapa sineas berupaya untuk berjuang dalam mencari identitas kultural dalam film Indonesia generasi baru misalnya saja, Eliana, Eliana (2002) yang disutradari Riri Riza, Bendera (2002) merupakan hasil karya Nan Achnas, Arisan! (2003) hasil dari sutradara Nia Dinata dan Mengerjar Matahari (2004) karya dari Rudi Soedjarwo. Pada intinya adalah peranan seluruh warga Indonesia, tidak hanya pemerintah, pelaku ekonomi dan serta pula sineas untuk membangun identitas nasional (kerja sama), karena dengan adanya identitas nasional merupakan jati diri bangsa.
Sumber
Cheng, Khoo Gaik dan Barker, Thomas. 2011. Mau Dibawa ke Mana Sinema Kita. Jakarta: Salemba Humanika.
Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z About Indonesian Film. Bandung: Mizan Media Utama.
Sasono, Erik, dkk. 2001. Menjegal Film Indonesia. Jakarta: Rumah Film.
Siagian, Gayus. 2006. Menilai Film. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Grasindo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H