Dalam ujian semester tahun ajaran lalu di sekolah sebelumnya, saya mendapat jatah mengawas yang kebetulan beberapa mata pelajaran ilmu sosial. Anak-anak SMK yang saya awasi tersebut mengeluhkan soal-soal yang diujikan dalam kertas soal.Â
Tadinya saya pikir itu hanya alasan; mereka malas belajar dan menghafal. Ada yang mencoba membuka HP, buku catatan bahkan LKS yang sengaja tidak mereka kumpulkan. Selalu saja saya sita 'dokumen-dokumen' penting tersebut termasuk HP sebagai bukti kepada guru yang bersangkutan. Tapi saya tidak tega untuk menuliskan nama-nama yang berbuat curang dalam berita acara. Apa yang saya lakukan hanya untuk membuat mereka jera.Â
Ternyata melihat beberapa anak yang tertangkap tangan, teman-temannya yang lain malah kecewa dan kesal bukan jera seperti yang saya rasakan ketika saya berada di posisi mereka dulu. Mereka kesal tidak punya sumber jawaban untuk dicontek.Â
Usut punya usut, mereka memang tidak belajar. Pertama, buku LKS yang mestinya sudah mereka hafalkan sampai ke titik komanya baru dibagikan sebelum masuk ke ruang ujian. Jadi, bagaimana mereka akan belajar?
Saya katakan gurunya pasti memberikan kisi-kisi soal di buku catatan kalaupun tidak ada LKS. Salah seorang siswi yang saya tahu paling rajin dan memang menjadi juara kelas, meminjamkan saya buku catatannya yang sudah dikumpul.
Saya cari jawaban soal ulangan tersebut di dalamnya, catatan yang diberikan pun tidak lengkap. Saya periksa buku catatan anak-anak yang lain, malah tidak selengkap punya siswi tadi.
Ketiga, soal-soal yang diberikan semuanya teori-teori ada pula yang meminta menyebutkan dan menjelaskan teori dari ahli yang saya kira tidak populer dan bahkan juga disuruh menulis pembukaan UUD 1945 yang sebelumnya sudah pernah dihafal untuk ulangan lisan. Saya tidak yakin guru yang bersangkutan hafal semua teori yang dimintanya dalam soal. Dan, satu lembar kertas tentu saja tidak akan cukup menuliskan semua jawaban esai, jika mampu terjawab semua.Â
Bapak, Ibu Guru yang Terhormat, ada baiknya ketika kita membuat soal ulangan terlebih lagi ujian semester, kita juga menyadari bukan hanya mata pelajaran kita yang penting, menjadi satu-satunya mata pelajaran yang diujikan dan harus dihafalkan sampai ke titik komanya.Â
Anak-anak didik kita ini harus pula menghafal mata pelajaran lain yang bahkan mereka sendiri belum tentu paham dan belum tentu pula akan ditanyakan kembali ketika mereka bermasyarakat. Poin pentingnya adalah how to bring the theory into practice.
Jangan pula memberikan soal yang teorinya saja tidak ada jawabannya dalam buku atau dalam catatan yang kita berikan. Kita tentu lebih senang jika mereka dapat menjawab semua soal yang diberikan terlebih lagi dengan cara yang jujur. Bukankah begitu tujuan diselenggarakannya ujian?
Saya jadi teringat dengan soal ujian yang pernah viral di media sosial tahun 2015 yang lalu, dibuat oleh Ibu Fatma Susanti, S.Pd, seorang guru di Aceh.
Padahal tipe soal seperti itu tidak akan memberikan kesempatan pada siswa untuk menjawab dengan uraian yang sama persis dengan temannya yang lain. Mereka juga diarahkan untuk berpikir kritis, menganalisa, berpendapat, dan menuliskannya secara runut. Langkah-langkah ini sebenarnya adalah dasar-dasar membangun hipotesis, menulis karya ilmiah bahkan skripsi yang memang sangat diperlukan dalam membangun ketrampilan membaca dan menulis kita yang masih rendah. Â
Namun, sebelum mengujikan soal seperti contoh di atas, harus diikuti pula dengan kecakapan penyampaian materi dan cara mengajar yang baik. Sudah seharusnya kita mengajari anak didik bukan hanya teorinya saja tapi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat dan bernegara.Â
Kembali lagi pada pengalaman saya tadi. Pada sesi selanjutnya, soal dari mata pelajaran yang lain juga hampir sama saja polanya. Anak-anak ini tidak boleh protes dan jika protes atau mendapat nilai kecil, pasti dilabeli dengan kata malas atau kata-kata pesimis lainnya.Â
Mereka meminta saya untuk membiarkan mereka mencontek atau membuka mesin pencari di gadget masing-masing. Saya tetap bergeming. Saya pikir kalaupun nilai mereka jelek, guru yang bersangkutan akan tetap menuliskan nilai mereka sesuai standar KKM bahkan lebih tinggi lagi. Tapi, nilai-nilai kejujuran perlu ditanamkan bahkan dalam keadaan pelik sekalipun.Â
Pada akhirnya, saya yang malah mendapat teguran karena dianggap terlalu keras ketika mengawas. Pihak sekolah inginnya guru-guru pura-pura saja tidak melihat jika ada siswa yang melakukan kecurangan saat ujian berlangsung. Yah begitulah hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H