Pada November 2017 yang lalu, sayaa diundang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai finalis dalam lomba membaTIK (membuat bahan ajar berbasis TIK) ke kota yang sudah saya pilih sebelumnya, Yogyakarta.Â
Saya bertemu dengan rekan-rekan sesama guru yang semuanya berasal dari daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Saya satu-satunya perwakilan dari Sumatera Selatan bahkan Pulau Sumatera.Â
Terus apa hubungannya dengan kampung pempek Palembang? Hmm... Teman sekamar saya ketika berada di hotel adalah guru sejarah di sebuah SMK di Salatiga yang juga merangkap sebagai guru berketerampilan ganda yaitu guru tata boga. Singkat cerita, dia ingin sekali mencicipi pempek dan teman-temannya terutama tekwan atau model.
Niatnya benar-benar saya bantu wujudkan ketika sampai di rumah, charger notebook saya ternyata terbawa dalam ranselnya. Jadilah beberapa harisetelah charger tersebut dikirim ke alamat saya, saya langsung menuju kampung pempek Palembang di daerah 26 Â Ilir.
Hampir di setiap sudut kota Palembang, ada banyak toko, warung dan kafe bahkan bakery yang menjual pempek. Setelah saya kirimkan beberapa toko pempek ke teman saya itu, dia memutuskan untuk menitip pempek di kampung pempek 26 ilir. Di tempat ini bisa disebut sebagai kumpulan warung aneka jenis pempek, harganya pun relatif murah dan tentu saja enak. Satu piece pempek rata-rata dihargai seribu rupiah saja.Â
Yang warna hijau itu kue tradisional, srikayo, dengan ketan putih di bawahnya dan tidak lengkap rasanya jika tidak ada es kacang merah khas Palembang juga.
Sayangnya di warung pempek ini, pempeknya tidak bisa dikirim dalam waktu lebih dari dua puluh empat jam. Kecewa sih tapi kemudian teman saya minta dibelikan getas dan kemplang saja sebagai gantinya.