Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Analisis Antropologi Ekonomi Pangan : Substantivisme dan Dekadensi Kejatuhan Start-up (Perusahaan Rintisan) Sektor Pangan

26 Desember 2024   12:52 Diperbarui: 26 Desember 2024   12:52 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : canva.com

Marshall Sahlins (Antropolog Budaya dan Ekonomi) menjelaskan dengan sangat mudah dipahami tentang Dekadensi ini, dalam bukunya Stone Age Economics mengingatkan bahwa ketergantungan pada pasar bebas akan mengorbankan nilai-nilai sosial dan menghasilkan ketidakadilan merata untuk semua sektor bisa lambat laun bahkan secepat kilat sekalipun, hal ini karena godaan keuntungan yang masih dalam imajinasi dalam perhitungan ekonomi yang tidak pasti dan tuntutan ekspansi cepat untuk pelaporan sang penyuntik dana yang ingin merasakan cepat hasil investasinya (sebaliknya yang melakukannya misalnya Start-up tercekik-cekik) dalam hal ini kondisinya disebut dengan overpromising (kondisi dimana ide besar/gagasan inovatif menjadi komoditas yang diperjual-belikan dengan isu-isu keberlanjutan yang memiliki dampak sosial namun nyatanya ada paksaan prioritas investor yang di luar nalar sehingga timbul disonansi (pemicu kehancuran seluruh sistem). 

Terakhir, dekadensi ini merugikan konsumen pada setiap layanan dan produk yang ditawarkan seperti terlalu banyak komodifikasi berlebihan. Komodifikasi merupakan menaikan harga komoditas/layanan dari harga-harga normal sewajarnya karena dihubungkan dengan nilai-nilai sosial, budaya, emosional, dll sehingga barang/layanan terkesan jauh lebih baik daripada barang/layanan yang sama pada umumnya. 

Contoh : Serbuk minuman serai jahe dihargai 50 ribu rupiah untuk 3 saset karena serbuk ini bisa membuat rileks. Padahal serbuk seperti harga normalnya di kedai jamu yang sudah ada standar BPOMnya hanya dijual 1 sasetnya 5 ribu rupiah dan jika diseduh ditempat hanya 7 ribu rupiah. Serbuk minuman serai yang dihargai 50 ribu rupiah ini sering dikemas dengan kemasan berlebihan seakan-akan menjual nilai sosialnya daripada fungsi utama dari manfaat serbuk serai jahe pada esensinya.  Komodifikasi ini sering mendapat banyak mendapatkan kritik dari layanan konsumen karena terlalu menggunakan klaim-klaim berlebihan melebihi standar harga pada umumnya. Sepremium-premiumnya ketika kategori komoditasnya memang harganya tidak mahal, maka jika hal tersebut terjadi, artinya konsumen terkena tipuan sedangkan pengusaha/Start-up yang melakukannya jelas mempraktikkan komodifikasi layanan/produk, sehingga dari keberlanjutannya tidak lama, karena karakter pembeli tetap saja efisiensi pengeluaran, dimana keterjangkauan lebih utama. 

Menjadi kaya pada saat usia muda memanglah mudah, banyak jalur-jalur cepat via akselerator dan investor, namun tetap sehat, waras dan berkecukupan hingga usia tua adalah berkah tak ternilai (Repa Kustipia - Konsumen setia barang-barang dan layanan terjangkau namun berkualitas).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun