Di Indonesia sendiri Start-up sektor pertanian dan pangan masih tidak memberikan dampak positif yang masif (mengapa harus masif ? karena percepatan pertumbuhan ekonomi yang menjadi hal ambisius dari Start-up ini secara cepat dan ekspansif/luas). Banyak pemberitaan keberhasilan, ya namanya Start-up pendanaan 1 Milyar memangnya murni dihabiskan untuk operasional ? ya dipotong untuk pendirinya dulu dong sebagai honor, belum lagi bagi-bagi jatah untuk C-Level. Hingga pada akhirnya untuk operasional bersisa ratusan juta bahkan bisa saja hanya 200 jutaan rupiah dari total dana eksternal 1 Milyar. Miris kan ?Â
Kemunculan Start-up sektor pertanian dan pangan pun seperti latah sosial dimana hal ini dibahas pada teori fenomena budaya sosial organisasi, teori antropologi yang sering membahas tentang : latah sosial dan imitasi sosial dalam konsumsi budaya organisasi disebut dengan Teori Sosial Budaya (Cultural Social Theory)Â dimana secara sosiologi terlihat bahwa individu atau kelompok sering tenggelam dalam tren-tren dunia baik itu bisnis, inovasi, teknologi, musik, investasi, marketing dll bahkan tak tanggung-tanggung mengikuti secara asal/iseng dalam mengadaptasi budaya biasanya lebih banyak mengadopsi konteks dunia bisnis dimana yang paling latah sosial adalah Perusahaan rintisan ini yang populer disebut dengan Start-up.Â
Latah sosial yang diliputi imitasi sosial ini biasanya terlihat gejalanya pada para pendiri Start-up atau C-Level inti biasanya CEO dimana imitasi sosial ini sering menjadi formula pasaran seperti karena sebutannya CEO maka yang ingin diperlihatkan ke publik ya mereka itu sukses dan prestisius serta kalangan kelas atas karena kesuksesan, hal ini pun merembet pada budaya Start-upnya dimana konsumsi budaya ini akan merepotkan individu atau kelompok karena berlebihan dalam mengiklankan layanan dan produknya sebagai simbol-simbol sosial tertentu, misalkan "ayo gunakan layanan ini,maka disebut sebagai pelanggan silver, gold dan sebutan-sebutan yang menggambarkan konsumennya akan loyal pada layanan/produknya". Hal ini lama-lama membosankan sehingga performa Start-up ini menjadi biasa saja dan kalah saing, terlebih untuk konsumen di Indonesia ini selalu dibandingkan dengan harga.Â
Latah sosial dalam Teori Sosial Budaya ini melihat tren bisnis Start-up yang sama sekali tidak mendalam memahami bahkan tidak siap pada layanan dan produknya namun terlalu dipaksakan bahkan prototipenya saja sulit dilacak, padahal aslinya layanan dan produk yang diciptakan Start-up mudah dijumpai, lantas mengapa selalu menghadirkan produk baru atau layanan baru mengapa tidak mentransformasikan barang/layanan yang sudah ada.Â
Misalnya konteks Start-up perikanan (yang dijual adalah mesin pakan ikan yang terintegrasi dengan ponsel pintar), hal ini justru tidak efisien jika dikembangkan di pelosok karena tidak ada elektrifikasi dan ponselnya masih bukan ponsel pintar atau poliponik yang tidak terintegrasi dengan internet, mengapa tidak gunakan saja alarm manual klasik yang bisa membunyikan jika waktunya untuk tebar pakan, ini justru lebih murah, walau praktiknya tradisional namun solutif dan tidak banyak biaya.Â
Pun dengan Start-up penyedia pangan organik, kebanyakan mahal ongkirnya, sudah gitu harus download/unduh aplikasi di ponsel pintar juga (ponsel pintar kan harus terhubung dengan internet dan beli kuota itu bebannya ada biaya tambahan yang harus mengaktifkan fungsi aplikasinya di ponsel pintar ini), padahal dengan menampung nomor-nomor whatsapp para penjual pangan organik cukup menggunakan grup facebook atau whatsapp per wilayah, kemudian maksimalkan 1 nomor pemesanan yang terintegrasi pada layanan antar sangat murah dan efektif bahkan lebih cepat terdata pesanannya, tidak perlu menghabiskan uang untuk membuat websitenyalah, aplikasinyalah, bahkan afiliatornya (apa bedanya dengan reseller kalau fungsinya menjual kembali barang dan layanan ?).Â
Disinilah kebangkrutan Start-up akan mulai terhilat, terlalu banyak beautifikasi pada ornamen-ornamen bisnisnya namun melupakan esensi dan fungsi solusi yang ditawarkan. Hal ini dalam antropologi ekonomi disebut dengan gagalnya aspirasi sosial yang tertangkap oleh para pebisnis, sehingga inovasinya ya sia-sia. Dan akhirnya ambisiusnya semakin membara dengan meningkatkan jiwa mengemis ke investor. Padahal layanan dan produknya ya belum layak dan berisiko terhantam kompetitor mass production yang jauh lebih murah dan efisien.Â
The Logic of Practice karya Pierre Bourdieu (Sosiolog - Antropolog) yang menjelaskan tentang habitus (sistem, norma, kebiasaan) yang terbentuk dalam kehidupan seseorang/kelompok yang akhirnya mempengaruhi : pemikiran, ucapan, tindakan hingga perilaku, walaupun ada faktor eksternal misalnya lingkungan, namun habitus muncul karena faktor internal juga yang lama kelamaan terbentuk dari pengalaman sosial dari waktu ke waktu. Nah,hal ini berhubungan dengan fenomena Start-up dan pendiri-pendiri Start-up karena adanya habitus yang disalahartikan dalam representasi ke publik akhirnya terjatuh sendiri akibat citra diri yang sering melangit atau terlalu tinggi padahal secara internal ya tidak ada sejarah pretisius tersebut, hal itu tentu bisa dicapai, namun ada prosesnya dan tidak instan. Hal inilah yang menjadi belenggu utama untuk para pendiri Start-up yang tercitrakan istimewa, apalagi jika eksposur berlebihan dan tidak bisa kontrol diri.Â
Studi Kasus Kebangkrutan Start-up Sektor Pertanian & Pangan
Dari perspektif dan analisis antropologi ekonomi pangan akan menampilkan kebangkrutan Start-up sektor pertanian dan pangan yang akan dijadikan studi kasus.Â
Pertama adalah Start-up Farmigo (Amerika, didirikan pada tahun 2009, CEO Benzi Ronen dan CTO Yossi Pik) yang merupakan pasar petani daring/online yang menghubungkan : konsumen - tempat bekerja konsumen - sekolah anak-anak konsumen - kompleks elit seperti apartemen dan pusat kegiatan masyarakat yang terhubung dengan para petani lokal. Lokasi operasionalnya hanya ada di tiga lokasi saja. Karena melihat antusiasme dan idenya unik, maka Start-up ini pun mendapat pendanaan dari Investor seperti Sherbrooke Capital , RSF Social Finance dan Benchmark Capital.Â
Permasalahan dimulai dari :Â
- Farmigo hanya berfokus pada distribusi pangan langsung dari petani ke konsumen via online platform yang memang layanannya hanya pengantaran produk pertanian segar.Â
- Model bisnisnya kurang cocok, yang akhirnya menyebabkan Farmigo mengalami kesulitan finansial untuk operasional hingga akhirnya Farmigo diakuisisi oleh GrubMarket (tahun 2021). Istilah akuisisi dalam bisnis yaitu proses dimana perusahaan/Start-up lain membelinya untuk memperluas pasar, menggabungkan layanan teknologi, atau meningkatkan aliran dana untuk memperkuat finansial dan opersional perusahaan/Start-up yang sudah sekarat.Â
- Farmigo walaupun menggunakan teknologi digital, namun tetap saja kembali manual-konvensional dimana pasar daring yang ditawarkan sering tidak sejalan dengan idealisme petani lokal sebagai penyuplai pangan segarnya (ya mereka terbiasa dengan penjualan di tempat dan konsumen berdatangan, tidak usah melalui pengiriman via kurir/jasa antar dimana keuntungannya kadang tidak jelas dari pasar daring ini). Hal ini pun membuat Farmigo tidak bisa merawat hubungan sosial dengan komunitas petani lokal.Â
- Harga Logistik Mahal, tentu jika farmigo hanya menawarkan layanan pasar daringnya saja, lantas semua logistik sarana dan prasarana diatur oleh siapa ? tentu kembali ke produsen, bikin ribet pedagang saja. Adapun jika disediakan Farmigo, berarti ada biaya tambahan untuk biaya kirim/ongkir. Konsumen jika mahal tidak akan tertarik bukannya solutif, malah konsumtif. Lebih baik belanja ke pasar tradisional saja yang bisa ditawar, lebih murah, dan sama segarnya.
- Biaya penanganan pangan segar, tentu hal ini akan memerlukan tempat, wadah, bungkusan untuk pengemasan agar kualitas pangan tetap segar ketika sampai ke konsumen. Alangkah pusingnya bukan ? mau memberikan solusi mahal mahal, makanya kadang tidak realistis karena kalau makin mahal, harusnya hentikan segera model bisnisnya dan mulailah mencari alternatif dengan memaksimalkan potensi terdekat dengan survei lapangan yang betul-betul dibutuhkan oleh konsumen terdekat.
- Kompetisi Pasar Pangan dan Platform Daring bermunculan, ya namanya usaha, pasti ada kompetitor, maka Start-up harusnya bisa jadi alternatif bukan malah menambah problem baik untuk konsumen bahkan untuk Start-upnya sendiri. Daya saing perusahaan/industri agribisnis itu partai besar, ya Start-up punya modal apa ? hanya modal aplikasi dan website saja ? ya itu bisnis jasa bukan bisnis pangan segar, tentu kalah oleh perusahaan besar. Jangankan kalah oleh perusahaan, bahkan oleh tukang sayur keliling pun akan kalah saing dari sisi layanan dan harga.Â
- Start-up terlalu idealis dan sering merasa ekslusif, ya hal ini menyebabkan pasarnya tidak bisa berekspansi, ya mau ekspansi bagaimana harga di daerah jangkauannya saja sudah tidak terjangkau, apalagi mau ekspansi. Farmigo juga kewalahan dengan skala bisnisnya sendiri dimana penyakit Start-up kalau sudah merasa tidak berdaya adalah : PERLU DANA CEPAT untuk TERUS BERTUMBUH & BERKEMBANG. Alias ketergantungan pada investor/dana eksternal dimana dana ini kan bukan dana dari hasil keuntungan penjualan layanan dan produknya Farmigo.Â
- Didirikan tahun 2009, isu tutup layanan tahun 2016. Cukup singkat perjalanan bisnisnya, bukan ? Hanya 7 tahun.Â
- Pendanaan yang tidak mudah lagi, ternyata walau sudah menjadi Start-up. Farmigo juga kesulitan mendapatkan dana investor karena dari pendanaan pertamanya dari para investor nyatanya tidak memperlihatkan keberlanjutan malah banyak problem dari mulai mahalnya dana logistik.Â
- Akhirnya tahun 2021 sudah diakuisisi, dan hasilnya model bisnis dan jangkauan farmigo diperluas karena GrubMarket punya kekuatan finansial yang cukup kuat, jadi melihat Farmigo itu hanya bisnis skala kecil saja.
Antropologi Ekonomi Pangan : Substantivisme & Dekadensi Kejatuhan Start-up Sektor Pertanian dan PanganÂ
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!