Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

COP29 : Transformasi "Skibidi" Sistem Pangan di Era Gastrocracy, Food Paradox, dan Neokolonialisme

13 November 2024   16:02 Diperbarui: 13 November 2024   16:02 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber pangan : freepik.com

Pendekatan neoliberal yang diadopsi oleh lembaga seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO seringkali bertentangan dengan tujuan FAO. Kebijakan penyesuaian struktural yang mereka terapkan mengarah pada liberalisasi pasar yang merugikan petani kecil. Ketergantungan pada bantuan pangan, seperti program "Food for Peace" Amerika Serikat, juga sering kali merusak pasar lokal, membuat petani semakin bergantung pada impor dan mengurangi insentif produksi lokal. Ini menimbulkan ketergantungan pangan jangka panjang dan melemahkan kemampuan negara berkembang untuk mencapai ketahanan pangan yang mandiri. 

Dengan demikian, diperlukan evaluasi ulang terhadap kebijakan bantuan luar negeri untuk memastikan keberlanjutan dan efektivitas dalam mengatasi masalah kelaparan global. WTO memainkan peran penting dalam perdagangan global dengan fokus pada liberalisasi perdagangan, termasuk pembatasan subsidi ekspor dan dukungan domestik di sektor pertanian. Namun, kebijakan ini menimbulkan kritik karena cenderung menguntungkan negara-negara maju, memicu dumping, serta monopoli oleh perusahaan besar, dan merugikan petani kecil. Perjanjian seperti TRIPS mengatur paten atas sumber daya genetik, yang dianggap mengancam tradisi pertanian lokal. Privatisasi sektor pertanian sering mengarah pada konsolidasi lahan dan ketidaksetaraan ekonomi, mengancam ketahanan pangan dan keberagaman produksi pangan di negara berkembang. 

Rangkuman Episode 7 : 

Penyelidikan ini mengkritisi konsep ketahanan pangan yang didefinisikan oleh lembaga-lembaga global seperti PBB, WTO, Bank Dunia, dan IMF. Kebijakan mereka, meski dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan pangan, justru sering merugikan petani lokal secara ekonomi, budaya, dan pertanian. Ketahanan pangan dianggap sebagai bagian dari proyek pembangunan global yang didorong oleh industrialisasi, mengabaikan keterkaitan pangan dengan ekologi dan budaya lokal. Hal ini semakin diperburuk oleh pengaruh organisasi multilateral dan perusahaan agribisnis yang dominan, yang mendorong deregulasi dan harmonisasi standar perdagangan pangan, sering kali menguntungkan perusahaan besar melalui pengurangan tarif dan perlindungan hak kekayaan intelektual. Negosiasi global, seperti yang terlihat dalam putaran Doha WTO, menunjukkan pergeseran kontrol ketahanan pangan ke tangan perusahaan transnasional. 

Kebijakan WTO memungkinkan negara-negara Utara untuk terus mendominasi pasar global dengan produk pertanian murah. Model pembangunan yang ada saat ini fokus pada monetisasi ekonomi dan mengabaikan praktik pertanian tradisional serta pengetahuan lokal, yang menyebabkan ketidakadilan bagi komunitas pedesaan. Gerakan kedaulatan pangan muncul sebagai alternatif, menentang paradigma neoliberalisme yang mendominasi ketahanan pangan saat ini. Gerakan ini mengusulkan pendekatan yang menekankan hak petani lokal untuk mengelola sumber daya pertanian dan mendefinisikan sistem pangan mereka sendiri, sebagai upaya untuk menciptakan model ketahanan pangan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Rangkuman Episode 8 : 

Pemberontakan Zapatista di Meksiko pada 1994 terjadi sebagai respons terhadap marginalisasi masyarakat adat dan dampak buruk kebijakan ekonomi neoliberal, terutama setelah penerapan NAFTA. Pemberontakan ini dipimpin oleh Subcomandante Marcos dan menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan sosial, terutama bagi komunitas petani di Chiapas. 

Zapatista menuntut tanah, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, mencerminkan perjuangan mereka untuk kedaulatan pangan dan reformasi agraria. Di sisi lain, industri biofuel muncul sebagai alternatif energi yang dianggap ramah lingkungan, namun mendapat kritik karena meningkatkan kelangkaan pangan akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan tanaman bahan bakar. Peningkatan permintaan biofuel berdampak negatif terhadap petani kecil dan harga pangan global, memperburuk ketahanan pangan. Gerakan Pekerja Tanpa Tanah di Brasil, yang dimulai pada 1985, berjuang untuk reformasi agraria dan distribusi tanah yang adil. MST menduduki tanah tak terpakai dan membentuk koperasi produksi pertanian. Gerakan ini juga fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kesetaraan gender, menciptakan komunitas yang lebih adil dan mandiri. Baik Zapatista maupun MST mengadvokasi hak-hak petani dan perempuan, menekankan pentingnya kedaulatan pangan dan perlawanan terhadap kebijakan neoliberal yang merugikan masyarakat miskin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun