Mohon tunggu...
Repa Kustipia
Repa Kustipia Mohon Tunggu... Ahli Gizi - Gastronomist (Gastronome)

Membahas Gastronomi di @gastrotourism_academy Berhenti Menjadi Ahli Gizi (Nutritionist Registered) di tahun 2021. Bertransformasi Menjadi Antropolog Pangan dan Mengisi Materi Antropologi Pangan di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology Selengkapnya kunjungi tautan : https://linktr.ee/repakustipia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

COP29 : Transformasi "Skibidi" Sistem Pangan di Era Gastrocracy, Food Paradox, dan Neokolonialisme

13 November 2024   16:02 Diperbarui: 13 November 2024   16:02 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan Neokolonialisme pangan terjadi karena negara maju punya korporasi besar yang membuka cabang diberbagai negara yang mengubah sistem pangan nasional dan lokalnya, tak jarang mengeksploitasi negara berkembang dengan jaminan promosi : nanti pangannya murah kalau diproduksi dengan alat ini, nanti ketahanan pangan akan mantap (coba sesekali tanyakan ini kedaulatan pangannya bagaimana, Tuan dan Puan ?). Hal inilah yang membuat ketidakadilan struktural yang menciptakan ketimpangan sosial, ekonomi, budaya, politik dalam sistem pangan, bahkan fenomena inilah yang akan memahalkan pangan lokal yang jadi budaya menjadi hidangan dan santapan kelas atas/elitis atas nama lokalitas dengan cara komodifikasi budaya pangan (upaya perampasan nilai-nilai budaya pangan yang dikorporatisasikan/dibuat seolah-olah harganya mahal karena kelangkaan dengan mengikuti skema industri). 

Tidak heran, jika COP29 dari forum elitis menjadi forum yang miris yang tidak jauh dari seminar biasa saja berlisensi internasional, Indonesia kalau mau berani keluar saja dari misi-misi pangan global dan kembangkan lagi kekuatan pertanian yang diawali dengan stakeholder yang jujur dan berintegritas dan kolaboratif dengan semua golongan masyarakat. Calon negara maju di tahun 2045 tidak dibentuk dan tidak dihuni oleh masyarakat-masyarakat lapar penanggung ketimpangan kompleks.

Kapan berdaulat pangan ? 100 hari kepemimpinan baru bisa ya berbenah ? ditunggu gebrakannya, Stakeholders ! 

Beberapa podcast studi kasus rezim dan politik pangan global tentang renungan masa depan pangan dari data-data investigasi para antropolog dan jurnalis pangan bisa disimak disini dari youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology, hal ini berkorelasi dengan misi-misi forum ekologi, pangan, krisis iklim yang sering hanya menjadi metafora dan latah diadopsi negara berkembang tanpa filtrasi dan kesepakatan harapan masyarakat lokalnya (alias bangsanya sendiri). 

Podcast tentang bagaimana rezim dan politik pangan global mempengaruhi transformasi sistem pangan di berbagai dunia : 

Rangkuman Episode 5 : 

Krisis pangan global semakin memburuk dengan lebih dari 840 juta orang kekurangan gizi pada tahun 2004. Organisasi internasional seperti PBB, FAO, IFAD, Bank Dunia, dan IMF memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini melalui berbagai kebijakan yang mendorong produksi, distribusi, dan akses pangan. Bank Dunia mendukung pasar bebas untuk efisiensi, sedangkan FAO dan IFAD menekankan regulasi yang melindungi kelompok miskin. IFAD fokus pada pengembangan pertanian pedesaan dan pemberdayaan petani kecil, sedangkan FAO menekankan pentingnya reformasi pertanian dan distribusi pangan yang adil. IMF, Bank Dunia, dan WTO mempengaruhi ketahanan pangan melalui kebijakan ekonomi dan liberalisasi perdagangan. Namun, strategi globalisasi sering mengabaikan keragaman budaya lokal dan cenderung memprioritaskan integrasi ekonomi global. Ketergantungan negara berkembang pada kebijakan ekonomi ini telah memperdalam krisis pangan dan utang, khususnya sejak krisis pada 1970-an hingga 1980-an, tanpa mengatasi akar masalah kemiskinan secara efektif. 

UNTUK NEGERIKU INDONESIA : Meskipun lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF memiliki visi besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan mengurangi kemiskinan,pendekatan mereka sering kali lebih fokus pada integrasi pasar global dan kebijakan ekonomi yang lebih luas daripada kebutuhan spesifik petani kecil atau ketahanan pangan lokal. Strategi yang diusulkan, seperti liberalisasi perdagangan dan pengurangan subsidi domestik, dapat memperburuk ketergantungan negara-negara berkembang pada impor pangan dan menambah beban utang, yang pada akhirnya memperburuk ketahanan pangan mereka. Sistem Pangan Indonesia harus mampu memberi makan seluruh masyarakatnya. 

Rangkuman Episode 6 : 

Bank Dunia, WTO, dan IMF memahami ketahanan pangan sebagai bagian dari pertumbuhan ekonomi global, dengan kebijakan yang berorientasi pada liberalisasi pasar, privatisasi, dan deregulasi. Mereka berasumsi bahwa persaingan, efisiensi, dan profitabilitas dapat mengatasi kelaparan dan kemiskinan. Organisasi seperti FAO dan IFAD mendukung reformasi pertanian dan pembangunan pedesaan, tetapi pendekatan mereka tetap berbasis ekonomi pasar. Mikrofinansial, seperti yang diterapkan IFAD, bertujuan memberdayakan masyarakat miskin dengan menyediakan kredit kecil untuk usaha. Namun, strategi ini sering terjebak dalam dinamika pasar, menciptakan ketergantungan pada korporasi besar dan mengabaikan aspek budaya produksi pangan. Gerakan kedaulatan pangan menyoroti pentingnya memandang pangan bukan hanya sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai hak asasi manusia yang berkaitan dengan nilai budaya dan tradisi lokal. Pendekatan ini menantang pandangan neoliberal tentang ketahanan pangan yang dominan di lembaga multilateral. 

FAO berperan penting dalam reformasi pertanian dengan tujuan mencapai ketahanan pangan global. FAO mendefinisikan ketahanan pangan sebagai akses yang konsisten bagi semua orang terhadap pangan yang cukup untuk hidup sehat. Ini mencakup tiga aspek utama: ketersediaan pangan, akses ekonomi terhadap pangan, dan keandalan keduanya. Namun, pendekatan FAO sering dikritik karena lebih menekankan aspek ekonomi daripada nilai budaya. FAO percaya peningkatan produktivitas pertanian, terutama di sektor pedesaan, adalah kunci mengurangi kemiskinan. FAO juga berfokus pada dua jalur utama: meningkatkan investasi pertanian dan menyediakan jaring pengaman bagi kelompok rentan saat menghadapi perdagangan global. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun