Diawal-awal pandemi, isu-isu lingkungan dan planet masih menarik perhatian bahkan menciptakan empati kepedualiannya pada hal-hal yang "keukeuh" menjelaskan dan mengkampanyekan bumi ini hanya ada satu dan harus hijau dengan tagline favorit para SJW (Social Justice Warrior) Lingkungan/Ekologi yang hanya berpartisipasi mengkampanyekan saja dan menyuarakan dengan berbagai tagar postingan "There is no planet B" yang menjelaskan singkat tidak ada planet lain selain planet bumi untuk berkehidupan hal demikian cukup positif namun tidak mengubah regulasi global dari para elitis yang membuat dan mengesahkan tujuan globalnya yang ada beberapa negara yang akan dirugikan secara ekologis bahkan sosialis yang jika diterjemahkan pada Rencana Pemerintahan akan sangat berbeda dengan tujuan (itu belum termasuk kasus korupsi dana donatur yang diselewengkan para pejabat publik di sektor ekologi sebutlah sektor pangan yang selalu disoroti dampaknya di COP ini terlebih di tahun 2024 ada COP29 dimana inilah ketiga kalinya ada Paviliun Sistem Pangan, banyaknya konferensi-konferensi dunia yang dianggap prestisius, megah, mewah, dan ekslusif dimana hanya orang-orang tertentu saja yang bisa mengakses dan hadir di konferensi tersebut seperti COP 29 yang diadakan di Baku, Ajerbaizan (Negara persimpangan Eropa dan berbatasan dengan Asia Barat).Â
Tulisan sebelumnya tentang COP27 berjudul "COP27 : Bagaimana Nasib Ekologi Manusia dan Ekologi Pangan" masih senada dengan kondisi selama pandemi covid-19 yang meluluhlantahkan berbagai sektor secara kompleks dan berimbas pada multisektoral dengan beragam problema yang belum selesai serta menambah polemik baru dengan kondisi politik pangan saat ini di Indonesia, Asia Tenggara, Benua Asia hingga Negara Eropa dan Amerika yang tersangkut kasus perang politik dan krisis kemanusiaan dan COP28 pun sudah dilaksanakan lagi di tahun berikutnya, artikel mengenai Cop28 : Mandegnya Transformasi Sistem Pangan, Saatnya Indonesia Rehat dari World System Theory.Â
Hal ini mengisyaratkan dari mahalnya harga pangan dari mulai permasalahan pembatasan pangan pokok yang dipolitisasi oleh penimbunan, dibuat ekslusif dengan keterbatasan pasar, dan inovasi imajinatif dari pangan masa depan yang intinya hanya menaikan ongkos nominal pembelian dengan dalih "barang premium" yang sepertinya yakin sekali menjamin keamanan pangan setiap konsumen yang membelinya, pas dicek "pangan impor" yang lolos tidak bayar perpajakan dan bea cukai pun dibanggakan sebagai simbol kemampuan alat cerna dalam status ekonomi pangan, bahwa "yang kebeli makanan ini adalah orang kalangan atas/elitis/orang yang banyak uang". Namun fenomena ini tidak bertahan lama, realita mencambuk itu semua dengan fakta ekonomi melemah dari berbagai golongan, termasuk yang sering disebut "sultan" ketika problematik dan toksis, nominal yang terkumpul menyusut digunakan untuk penyambung kehidupan dan semua berkumpul di komunitas wirausaha hanya untuk memperbaiki aliran keuangan untuk membayar semua kebutuhan primer, sekunder dan tersier yang hampir semua regulasinya tidak ada keberpihakan pada semua golongan (inklusif).Â
Tiba pada COP29 : Transformasi "Skibidi" Sistem Pangan di Era Gastrocracy, Food Paradox, dan Neokolonialisme
Apa yang sebenarnya terjadi pada forum elitis nan miris ini ?Â
Hal ini bisa ditelusuri dari dinamika sistem pangan di Indonesia yang sedang kejang-kejang seakan sudah tidak ada kedaulatan pangan dimulai dari lahan, berapa banyak konflik agraria yang lengah terekam oleh mata lensa media memantau kepentingan publik seperti konflik food estate di Indonesia Timur yang menolak ruang hidupnya diintervensi tanpa adanya kesepakatan keseluruhan dan perencanaan dalam mufakat bersama hingga semua masyarakat memberi restu, setidaknya ada izin dari pihak tokoh adat yang dihormati dan beragam perwakilan budaya yang mampu menerjemahkan kondisi historis ekologi pangannya untuk keberlanjutan hidupnya, jika ada luka-luka politis, apakah hal tersebut tidak kontradiktif dengan tujuan pembangunan keberlanjutan yang ada 17 poin itu yang sering dimegahkan dengan billboard dan background acara-acara : pengesahan, seminar, webinar, dan forum-forum yang didahului dengan sambutan kepada Yth - Yth dengan deretan nama dan gelarnya hingga menghabiskan waktu 30 menit hanya menyapa hadirin terundang, dilanjutkan dengan menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang situasinya sedang Maju Tak Gentar diluar acara.Â
Janji-janji dan pesan-pesan pada COP27 dan COP28 tidak bisa terlaksana dan di COP29 ini tujuan dan targetnya masih tidak berbeda dengan pesan-pesan global yang tidak memihak pada keadaan sistem pangan negara-negara berkembang yang kaya akan budaya, setidaknya adalah Indonesia yang sering diseret-seret sistem pangannya harus inovatif, harus canggih, namun elit global pangan tidak merasakan bagaimana nikmatnya berkumpul dan berbudaya seperti gambaran umumya dari ke-38 provinsi yang ada di Indonesia yang tidak mudah dihilangkan begitu saja atas nama relevan dengan kemajuan modern yang kiblatnya negara maju dengan kekuatan finansialnya yang tak terbatas, Ini Indonesia yang bahkan modal sosial gotong royongnya itu yang tidak semua negara sekompak masyarakat Indonesia, kelebihan orang-orang Indonesia sering dibantai dari perspektif alat berat dan alat teknologi komunikasi bukan dari kekuatan kemanusiaan, budaya, dan kecerdasan sosialnya. Keunikan sistem pangan dan gastronomi Indonesia sering tidak sejalan dengan visi-misi global yang jika dipaksakan dampaknya : tradisi budayanya akan luntur, hilang, tergantikan, dan akhirnya terlupakan. Ketika kondisi ekologi mengharuskan kembali pada tatanan budaya yang sudah baik, masyarakatnya akan gelagapan karena dijauhkan demi mencapai visi dan misi global. Bukankah kontur ekologis lokasi di Indonesia itu beragam, unik, serta multikultur yang harusnya dijadikan contoh-contoh baik oleh elit pangan global bahwa :Â
1. Di Sumatera, ada praktik pertanian yang harusnya bisa mensejahterakan masyarakatnya seperti perkebunan karet, kelapa sawit, kopi dan padi bahkan dari pangan air yang sumber proteinnya dibutuhkan untuk konsumsi yang sehat dimana hal ini bisa  menopang kehidupan masyarakatnya, bukan malah diambil komoditasnya yang level grade-A (level terbaik - kualitas ekspor) yang menikmatinya masyarakat negara maju, kemana gagasan pemerintah yang peduli pada keberlanjutan poin-poin pembangunan keberlanjutan poin 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi) ? poin 10 (Mengurangi Ketimpangan) , poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) ? dan poin 17 (Kemitraan untuk Mencapai Tujuan)  ? Jika masih terjadi ketimpangan seperti : kelaparan di Sumatera, banyaknya orang miskin, kelompok rawan (ibu hamil, bayi, balita, anak-anak, lansia, dan disabilitas) terabaikan, maka hanya omong kosong capaian target global itu yang hanya indah menjadi konsep acara rapat-rapat saja untuk didokumentasikan sebagai press release namun tidak berdampak sama sekali untuk kebermanfaatan.Â
2. Di Jawa dan Bali, komoditas pangan dari keberagaman dan pengembangan hortikultura yang tidak hanya padi bahkan komoditas pangan lainnya termasuk "wild food" atau pangan liar masih bisa ditemukan, secara historis pangan dan pertanian dari zaman kolonial Belanda rantai pasok : kopi, teh, rempah-rempah, tebu (cikal bakal perusahaan gula), dan ekosistem hutan masih potensial untuk dikembangkan, namun hal keberagaman ini akan terkonversi karena misi global pembangunan dan kemajuan infrastruktur, untuk apa infrastruktur itu jika masih dibebankan pada masyarakat sebagai rakyat dari negara merdeka lewat pembayaran pajak pelayanan, pembayaran harga-harga fasilitas publik yang hampir tidak terjangkau, keribetan dan keributan bantuan pangan tunai yang sering salah sasaran dan menciptakan pengangguran yang akhirnya tetap sulit makan, lupa mengunyah makanan nikmat dan mengenaskannya termarjinalisasikan karena banyaknya kasus korupsi pangan dari pusat nasional hingga lokal yang mengganggu stabilitas harga pangan, ingat kembali kasus koruptor ketahanan pangan dibebaskan di Semarang ? , apakah hal ini sebanding dengan kondisi masyarakat yang sering kesulitan untuk memikirkan dan membelanjakan uang-uangnya dalam sistem pangan ini terlebih untuk menyetok pangan saja banyak yang tidak mampu, namun para pejabatnya masih sempat memamerkan kemolekan harta bendawi dengan beragam previledge-nya, bagaimana jika uang-uang tersebut ada hak-hak masyarakat yang harusnya didistribusikan karena tidak transparan.Â
3. Di Indonesia Timur, ada komoditas jagung seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang harusnya komoditas tersebut yang menjadi kekuatan rantai pasok hingga jagung NTTlah yang bisa menjadi pasokan tambahan untuk keberagaman alternatif pangan pokok dengan memberdayakan putra-putri terbaik di agroindustri jagung hingga orang-orang Indonesia Timur lainnya mengembangkan komoditas pangan aslinya dan sejahtera dan jika terus didukung, maka lihatlah kejayaan pangan di Indonesia Timur dengan kecerdasan pengetahuan lokalnya yang akan melebihi capaian target 17 poin pembangunan berkelanjutan, begitu juga banyaknya tradisi masyarakat hukum adat yang sudah sejahtera dengan singergi ekologinya yang tidak perlu diubah namun cukup dikembangkan dari sisi fasilitas, dukungan suprastruktur untuk pembinaan, pemberdayaan, pemantauan hingga sejahtera dengan capaian lokalnya, hal inilah kekuatan tersembunyi dari Indonesia yang membuat negara-negara maju sebenarnya.Â
Mereka ingin berlagak membantu negara berkembang dengan penawaran : pinjaman mikrofinansial yang bentukannya memang ekuitas (utang-piutang, tentu dengan bunga yang akan menjerat, jika tidak sanggup membayarnya, maka siap-siap untuk eksploitasi), bantuan teknologi yang salah kirim (ya untuk apa mengirimkan banyak traktor namun akses bahan bakarnya seperti solar menghabiskan uang-uang para petani, apa tidak lebih baik kirim saja kerbau-kerbau berkualitas dimana hal tersebut sudah menjadi budaya menggembala dan menyuburkan lahan dan sesuai dengan kapabilitas Sumber Daya Manusia (SDM)-nya secara turun-temurun. Lantas canggihnya dimana ? mengapa negara-negara maju sering ikut campur dalam mengurusi sistem pangan negara-negara berkembang yang sudah sampai tahap maju, sejahtera, dan tidak kekurangan sedikitpun secara fundamental, apa misi mereka selanjutnya ?Â
Transformasi "Skibidi" Sistem Pangan di Era Gastrocracy
Apa itu Skibidi ? "Skibidi" adalah istilah gaul Gen Z (generasi kelahiran 1997 - 2012) yang seliweran di dunia maya seperti : tiktok, youtubeshort, dan media sosial lainnya yang menyatakan bahwa skibidi itu artinya : aneh, jelek, tidak bagus, buruk, bahkan hancur dan tidak jelas. Rupanya kata "Skibidi" cocok untuk menggambarkan situasi COP29 pada Paviliun Sistem Pangan.Â